Jumat, 04 Maret 2011

7 (TUJUH) LANGKAH SUKSES DI BISNIS JARINGAN K-LINK 


1. Impian dan Komitmen
® Anda, 1-3 tahun dari sekarang
® Seperti apa rumah anda ?
® Seperti apa Mobil anda ?
® Bagaimana Waktu luang anda?
® Seperti Apa Lingkungan anda ?
® Bagaimana Pengembangan Pribadi anda dan Pengakuan ?
2. Konsumsi Produk
® Mencoba minimal 5 produk
® Merasakan manfaat dari produk
® Menambah bahan untuk disampaikan
® Orang lebih percaya dengan apa yang kita lakukan daripada dengan yang kita katakan
® Menimbulkan rasa ingin tahu
3. Daftar Nama
® Mencatat semua nama orang yang anda kenal
® Mencari alamat dan nomor telepon
® Selalu menambah isi dari daftar nama
® Jangan menghakimi
Prospekting
Persiapan:
® Siapkan Kartu nama
® Membuat target untuk menambah 2 – 5 nama/hari
Langkah-langkah:
® Memecahkan kebekuan
® Basa-basi
® Memberi kesan/pesan
® Tukar kartu nama
® Menghubungi prospek anda
4. Mengundang
® Sikap yang baik dan sopan
® Melakukan observasi
® Gunakan Telepon dan Bersifat buru-buru
® Sebutkan tempat dan waktu
® Konfirmasi ulang satu hari sebelumnya
5. Presentasi
® Presentasi Bisnis
® Presentasi Produk
Macam-macam presentasi:
® One on One Presentation
® Home Meeting
® Business Opportunity Preview
6. Tindak Lanjut
7. Buku, Kaset, Pertemuan
Buku:
® Berpikir dan Berjiwa Besar, David J. Schwartz
® Mencari Kawan dan Mempengaruhi orang lain, Dale Carnegie
Kaset/VCD:
® Kaset (4) dalam Foundation Pack, +Motivasi dan +Kisah Sukses Leader (Success Story)
Pertemuan :
® Hadir di setiap pertemuan K-System

Solusi Mengubah hidup Yang lebih Baik

Impian Anda ???...

APA MIMPI ANDA, TUJUAN DAN ambisi?

    
* Untuk mendapatkan penghasilan tambahan.
    
Sendiri * mobil impian Anda dan rumah.
    
* Memiliki gaya hidup pilihan Anda.
    
* Perjalanan di seluruh dunia.
    
* Untuk memiliki kehidupan keluarga yang sehat dan bahagia.
    
* Untuk memungkinkan anak-anak Anda untuk menerima pendidikan tinggi.
    
* Untuk mencapai kesuksesan dan pengakuan.
    
* Untuk menjadi mandiri secara finansial.
PUNYA MIMPI ANDA, TUJUAN DAN ambisi COME TRUE?Apakah Anda merasa Anda cukup memadai untuk menghadapi dunia sekarang ini sangat kompetitif? Dalam lingkungan yang sangat kompetitif, apakah Anda memiliki ...

    
* Kualifikasi pendidikan yang memadai?
    
* Pengalaman yang memadai?
    
* Modal yang memadai?
    
* Latar belakang yang kuat?
    
* The kemampuan yang diperlukan?






Jika tidak! Bagaimana Anda bersaing dan berhasil?

    
* Apakah impian Anda menjadi kenyataan?
    
* Apakah Anda ingin mengubah nasib Anda?
    
* Berpikir memberikan diri Anda kesempatan lain?
EMPAT PILIHAN DALAM HIDUP

   
1. Kelompok Kerja
          
* Mereka yang melakukan pekerjaan padat karya tanpa prospek mengubah garis mereka bekerja.
          
* Apakah kemajuan kesempatan terbatas.

   2. Kelompok Kantor
          * Bekerja 9:00-05:00.
          
* Wage earner dengan gaya hidup biasa.
          
* Nasib dikendalikan oleh orang lain.
          
* Fixed gaji dengan kenaikan terbatas.
   
3. Pengusaha Tradisional Grup
          
* Mewajibkan empat faktor: Modal, Kemampuan, Pengalaman, Diri.
          
* Berat investasi baik dalam uang dan waktu dengan tidak menjamin kesuksesan.
          
* Tidak dapat mampu untuk gagal.

   
4. Jaringan Dynamic Group
          
* Dengan investasi waktu Anda, Anda lebih dapat meningkatkan penghasilan Anda.
          
* Semakin sukses Anda, kebebasan yang Anda miliki.
          
* Membangun bisnis Anda dan hubungan manusia.
          
* Nikmati rasa pencapaian, kepuasan dan kebahagiaan dalam bisnis.
SELAMAT! Anda telah membuat pilihan cerdas.
Perusahaan akan bertanggung jawab untuk modal, produk, administrasi, pelatihan pengeluaran, dan resiko.
Anda hanya menginvestasikan waktu dan komitmen.
LABA akan dibagi sama rataKeunikan BISNIS JARINGAN PEMASARAN.

    
* Global penjualan sampai dengan US $ 82 miliar.
    
* Pada tahun 1996, 24,5 juta orang terlibat dalam Bisnis Network Marketing.
    
* Bisnis Network Marketing telah terbukti menjadi bisnis global selama 50 tahun terakhir.
    
* Ekonom meramalkan bahwa Bisnis Network Marketing akan menjadi mainstream pemasaran di abad 21MENGAPA JARINGAN PEMASARAN PALING secara luas DITERIMA?

    
* Bisnis Anda Sendiri
    
* Masa Depan Anda terletak di tangan Anda Sendiri
    
* Pribadi Prestasi
    
* Unlimited Penghasilan
    
* Diwariskan Bisnis
    
* Mencapai Impian Anda Sebelumnya
    
* Hasil Investasi Kecil Besar
    
* Tidak ada Risiko Investasi
    
* Manage Your Own Time

Pati Ka Ata Mata, Ritual di Puncak Kelimutu


 
KOMPAS/SAMUEL OKTORA
Sejumlah mosalaki pu-u (tetua adat) memberikan persembahan di dakutatae (batu tempat sesaji) dalam acara adat Pati Ka Ata Mata, yakni memberi makan kepada orang yang sudah meninggal, di kawasan Danau Triwarna Kelimutu, di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.


Suatu pagi, cuaca mendung dan diguyur hujan gerimis. Namun, ketika matahari mulai meninggi, cuaca berubah cerah dan semarak, apalagi dihiasi rerumpunan arngoni (Vaccinium varingiaefolium), tumbuhan endemik yang tumbuh subur di sekitar puncak Gunung Kelimutu.

Tanaman arngoni yang telah berbuah segar dan masak juga seakan menyambut hangat kehadiran para mosalaki pu’u (tetua adat) hari itu yang memenuhi areal helipad di zona inti kawasan Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.

Sambil menunggu ritual dimulai, para mosalaki pun memanfaatkan waktu dengan melihat-lihat keindahan panorama tiga kawah danau dengan air berbeda warna, tiada duanya di dunia.

Kawasan Taman Nasional Kelimutu secara administratif berada dalam wilayah 5 kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru, Kelimutu, Ndona Timur, Ndona, dan Detusoko.

Para mosalaki juga tak bosan-bosannya menatap rumpun arngoni yang telah masak buahnya, kecil berwarna hitam. Mereka pun begitu hati-hati ketika hendak menyentuhnya karena buah arngoni juga diyakini sebagai makanan para dewa atau arwah leluhur di Danau Kelimutu.

Sekitar pukul 11.00 Wita, ritual baru dimulai. Hari itu untuk pertama kalinya di puncak Danau Kelimutu, dengan ketinggian 1.777 meter di atas permukaan laut, digelar Pati Ka Ata Mata, upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal.

Wisatawan domestik maupun mancanegara pun tumpah ruah di area helipad. Mereka tak ingin ketinggalan mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Begitu pula masyarakat sekitar dan juga kalangan media.

Prosesi ritual diawali sembilan mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional diberi sesaji untuk dibawa ke dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji. Sesaji yang dipersembahkan berupa nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur.

Sembilan mosalaki pu’u itu secara bersama menuju tugu batu dan bersama-sama pula meletakkan sesaji di tugu tersebut, yang artinya dari sembilan mosalaki itu kedudukannya tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.

”Ritual adat ini diikuti oleh seluruh komunitas adat di kawasan Lio. Sekaligus ritual ini merupakan aset seni budaya daerah dan juga nasional yang patut dilestarikan. Ritual ini juga dapat mempersatukan suku-suku Lio,” kata mosalaki Detusoko, Emanuel K Ndopo.

Wilayah Kabupaten Ende terdiri dari dua suku asli, yakni Ende dan Lio. Kawasan suku Ende dominan di bagian barat ke selatan, sedangkan suku Lio dari Kota Ende ke timur hingga utara.

Makan leluhur
Setelah pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para mosalaki, kemudian para pengunjung, oleh mosalaki, ditawari pula untuk turut menikmati sesaji sebagai tanda bersukaria bersama dengan para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan gawi, tari bersama para mosalaki tersebut dengan mengelilingi tugu batu.

”Peristiwa ini suatu kejutan bagi saya. Saya juga sangat beruntung karena saya tidak mengetahui sama sekali akan digelar ritual adat yang pertama kalinya di sini. Semula saya bermaksud berekreasi saja,” kata Philippe Cazaux, wisatawan asal Perancis, yang juga berprofesi sebagai guru di negaranya.

Sejumlah mosalaki mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur - selain untuk menolak bala, juga agar wilayah Ende dijauhkan dari bencana serta disuburkan alamnya yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Pasalnya, tahun 1996 seorang turis laki-laki asal Belanda tewas di Danau Kelimutu. Tahun 2004 warga Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, bunuh diri di danau tersebut. Pada akhir 2008 juga ditemukan tewas seorang warga Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, di danau warna hijau muda atau danau tempat arwah anak muda (Tiwu Nua Muri Koo Fai). Semua jenazah korban tetap tinggal di dalam danau karena sulitnya medan sehingga jenazah tidak dapat dievakuasi.

Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan puncak Danau Kelimutu merupakan tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (pere konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.

Tiga kawah
Di puncak Gunung Kelimutu terdapat tiga kawah danau, selain Tiwu Nua Muri Koo Fai, adalah Tiwu Ata Polo yang kini berwarna hijau tua (sebelum Desember 2008 masih berwarna cokelat kehitaman), yang diyakini sebagai tempat berkumpul orang jahat. Danau ketiga, Tiwu Ata Mbupu, berwarna tua hijau kehitam-hitaman yang merupakan tempat berkumpulnya arwah orang tua.

Itu sebabnya masyarakat setempat menilai begitu sakral dan keramat areal puncak Gunung Kelimutu. Mereka juga tidak berani berbuat yang aneh- aneh atau sembrono di situ. Letak Danau Kelimutu sekitar 55 kilometer arah timur Kota Ende.

”Kegiatan ini digelar oleh Pemerintah Kabupaten Ende sebagai bentuk pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun, pemberian makan kepada leluhur hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung, atau suku. Kini digelar upacara adat di puncak Kelimutu yang melibatkan suku-suku Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin tiap tahun sekali dan tradisi ini juga menjadi agenda pariwisata Ende,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Anna Anny Labina.

Fransiskus Lasa, Staf Ahli Bupati Ende Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, mengemukakan, ritual Pati Ka Ata Mata diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk meningkatkan pendapatan mereka dari sektor pariwisata.

Setiap suku selesai
Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Soebiantoro menyatakan, diharapkan Pati Ka Ata Mata diadakan setelah semua acara adat serupa di setiap suku selesai digelar sehingga upacara adat di Danau Kelimutu itu benar-benar sebagai rangkaian ritual puncak atau akhir.

Sementara itu, ketika melakukan kunjungan kerja ke Ende pada 10-16 Agustus, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Bakri mengharapkan ritual tersebut turut meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama di sekitar Danau Kelimutu. Hal itu perlu difasilitasi secara serius oleh dinas kebudayaan dan pariwisata setempat.

”Mereka harus melakukan komunikasi yang baik dengan para pengusaha biro perjalanan dan wisata serta hotel-hotel sehingga agenda tahunan ritual adat ini bisa turut dipromosikan ke luar. Warga sekitar kawasan juga perlu dibina sehingga mereka benar-benar dapat menerima, menyambut, dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan,” kata Bakri.

Dia juga menyinggung keberadaan kebun hortikultura milik warga di sekitar kawasan Danau Kelimutu yang dapat dimanfaatkan sehingga wisatawan mancanegara selain melihat-lihat Danau Kelimutu juga dapat diarahkan untuk menikmati aneka buah dan sayuran milik warga.

”Kesenian setempat juga harus digalakkan, apakah itu seni tari maupun seni musik yang akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mengapa kesenian di Jawa atau Bali hingga kini tidak mati? Sebab, kesenian di kawasan itu dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakatnya,” kata Bakri.

Upacara adat yang digelar memang masih banyak terdapat kekurangan, salah satunya ketidaktepatan waktu pelaksanaan. Jadwal semula pukul 08.00, ketika masyarakat maupun wisatawan antusias memadati lokasi pada pagi itu, ternyata ritual baru digelar pukul 11.00.

Yang disayangkan pula, ritual di puncak gunung itu relatif singkat. Semestinya rangkaian upacara adat mulai dari pemotongan hewan kurban, memasak, hingga persiapan sesaji dapat dikemas menjadi satu rangkaian wisata budaya menarik yang dapat diikuti masyarakat luas.

Selain itu, segala atribut yang berhubungan dengan pakaian adat tradisional yang dikenakan mosalaki dalam ritual itu, seperti destar, sarung, dan baju dari kain tenun ikat tradisional, semestinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan menjualnya kepada wisatawan. Pihak Taman Nasional Kelimutu atau Pemkab Ende dapat memfasilitasi dengan menyediakan tempat penjualannya.

Kelimutu, Dijaga Kicau Burung Arwah

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY Danau Kelimutu di pagi hari, awal April 2010.

Oleh: Samuel Oktora dan Khairul Anwar
Hampir seabad silam, tepatnya 95 tahun lalu, peneliti asal Belanda bernama BCChMM van Suchtelen sudah sangat takjub dengan fenomena perubahan-perubahan warna air di tiga kawah Kelimutu di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu.
Kawah Tiwu Ata Polo sering menunjukkan warna merah darah, Kawah Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau zamrud, dan Kawah Tiwu Ata Mbupu berwarna putih. Karena itu, Kelimutu juga sering disebut Danau Triwarna. Namun, sesekali warna ketiganya bisa pula menjadi seragam.
Saat berkunjung pada pertengahan Juli 2010, Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau muda kebiruan, Tiwu Ata Polo berwarna hijau, dan Tiwu Ata Mbupu berwarna hijau lumut kehitaman.
Kalangan ilmuwan dan peneliti memberikan informasi, kandungan kimia berupa garam, besi, sulfat, mineral lain, serta tekanan gas aktivitas vulkanik, maupun sinar matahari menjadi faktor penyebab perubahan warna air danau pada Gunung Kelimutu (1.690 meter) itu.
”Aktivitas kegempaan juga dapat mengubah warna kawah danau. Fenomena geologis ini memang sungguh unik dan hanya terjadi di Danau Kelimutu di Indonesia. Di negara lain, antara lain Italia dan Selandia Baru, kalaupun ada, perubahan warna airnya tidak signifikan dan tidak beraneka warna,” kata peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bandung, Eko Soebowo, Rabu (18/8/2010).
Pesona Kelimutu bukan itu saja. Di kawasan seluas 5.356,5 hektar itu juga mudah ditemukan aneka jenis flora dan satwa liar langka. Burung garugiwa (Pachycephala nudigula) merupakan salah satunya. Burung berkepala warna hitam, sedangkan badan, sayap, hingga ekor berwarna hijau kekuningan ini merupakan spesies endemik di sana yang tidak terdapat di tempat lain.
Saat menuju puncak kawah Danau Kelimutu, sekitar pukul 08.00 Wita, terdengar aneka suara unik burung garugiwa jantan. Semarak kicauan burung yang keras dan nyaring, bersahutan, menghiasi pagi di Danau Kelimutu, bagaikan sambutan selamat datang yang ramah, bahkan turut menghangatkan suasana.
Burung garugiwa biasa berkicau mulai pukul 06.00 hingga 10.00 saja. Kicauan burung ini berbeda-beda sesuai ketinggian. Pada kawasan 1.400 meter di atas permukaan laut, ada sekitar 12 kicauan. Menurut penduduk setempat, pada ketinggian lebih dari 1.400 meter di atas permukaan laut, terdapat burung- burung yang memiliki sekitar 17 kicauan.
”Karena itu, masyarakat di sini ada yang menyebutnya burung arwah. Selain sulit ditangkap, burung itu juga hanya muncul saat tertentu,” kata Muhammad Sendi, pedagang kopi di sekitar tugu pemantauan Danau Kelimutu.
Radar alam
Bagi masyarakat setempat, perubahan warna air kawah Danau Kelimutu juga diibaratkan sebagai radar, pertanda awal akan terjadinya peristiwa negeri ini. Mereka meyakini, gempa bumi yang terjadi di Tasikmalaya, Jawa Barat, dan Sumatera Barat, bahkan merebaknya skandal Bank Century pun, didahului oleh berubahnya warna air kawah.
Masyarakat etnik Lio di daerah itu meyakini kawasan Kelimutu sebagai tempat yang sangat sakral, yakni kampung arwah leluhur mereka. Ini sesuai dengan nama Kelimutu yang terdiri dari kata ”keli” yang berarti ”gunung” dan kata ”mutu” yang bermakna ”berkumpul”. Itu sebabnya, mereka yang berkunjung ke daerah itu tak berani omong sembarangan atau takabur.
Pada pintu gerbang (Pere Konde) tertulis, danau ini dijaga Konde Ratu, sang penguasa. Danau Tiwu Ata Polo adalah ”markas” arwah orang jahat, Danau Tiwu Nua Muri Koo Fai menjadi ”istana” arwah kawula muda, sedangkan Danau Tiwu Ata Mbupu merupakan ”singgasana” arwah kaum sepuh yang bijaksana.
Penyanyi dan pemusik Ende, Eman Bata Dede, warga Kelurahan Onekore, Kecamatan Ende Tengah, pun sangat meyakini kepercayaan itu.
Keajaiban alam Danau Kelimutu, begitu pula mitos yang diejawantahkan secara nyata lewat berbagai ritual magis, memberikan pesona luar biasa. Belum lagi di Kelimutu juga terdapat arboretum, hutan mini seluas 4,5 hektar, tempat tumbuhnya berbagai jenis pohon yang mewakili potensi biodiversitas Taman Nasional Kelimutu. Di sana terdapat aneka flora yang jumlahnya 78 jenis pohon, yang berkelompok dalam 36 suku.
Di antara flora itu ada yang endemik Kelimutu, yakni uta onga (Begonia kelimutuensis) dan turuwara (Rhododendron renschianum), di samping tanaman arngoni (Vaccinium varingiaefolium) yang berbunga kecil berwarna putih dan buahnya berwarna hitam jika matang—yang oleh masyarakat setempat biasa disebut makanan para dewa. Juga kawanan kera ekor panjang (Macaca fascicularis) yang memerlukan bantuan pawang untuk menyaksikannya.
Yang tak kalah menarik, medan yang dilalui di sepanjang jalan dari kota Ende sampai Danau Kelimutu: berkelok-kelok, naik turun bukit tinggi, dengan lebar jalan hanya 4 meter. Di sisi kanan-kiri jalan tersebut adalah tebing. Siapa pun yang mengunjungi Danau Kelimutu akan memperoleh sensasi tersendiri.
Sayangnya, Danau Kelimutu belum dipromosikan secara optimal. Padahal, banyak orang ingin menikmati pesona alam Indonesia yang fenomenal tersebut.

Rabu, 05 Januari 2011

Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa

Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa  

Flores Ecotourism » Berita

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Ny Elisabeth Dembi Tangar (45) menenun kain Kali Uda. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi di Sumba, Nusa Tenggara Timur, karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian. Pembuatan kain tenun ikat tradisional ini menggunakan pewarna alami.
Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.
Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.
Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.
Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.
Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.
Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.
”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.
Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.
Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.
Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.
Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.
Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.
Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.
Tenun Kali Uda
Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.
Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).
Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.
Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.
Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.
Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.
Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.
”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.
Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka.(SEM/RUL/ANS/KOR)
Sumber berita: Kompas Cetak

  Geru giwa- Giliran Mutu Penghuninya


DOKUMENTASI BALAI TAMAN NASIONAL KELIMUTU, ENDE
Burung garugiwa jantan (Pachycephala nudigula) berkicau meperdengarkan suaranya yang unik di kawasan arboretum Danau Triwarna Kelimutu, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Burung ini oleh masyarakat setempat dikenal sebagai burung arwah.

Pesona Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, dengan keajaiban alamnya yang luar biasa itu, ternyata belum memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ekonomi warga setempat yang umumnya bermata pencarian sebagai petani itu pas-pasan, bahkan cenderung minus. 
Mereka masih mengandalkan sistem bertani hortikultura, padi ladang, beternak, ataupun berkebun secara tradisional. Mereka belum berhasil mengembangkan ekonomi alternatif melalui pengembangan sektor pariwisata yang terpadu.
Padahal, pariwisata sudah menjadi andalan utama dalam menghasilkan devisa di sejumlah negara. Thailand, Singapura, dan Filipina, misalnya, sangat bergantung pada devisa yang didapatkan dari pariwisata.
Perekonomian Bali pun jauh melesat dibandingkan dengan Nusa Tenggara Barat dan NTT karena dimotori industri pariwisata. Soalnya, pada era global ini, menurut I Wayan Ardika dalam bukunya, Pusaka Budaya dan Pariwisata (2007), muncul kecenderungan masyarakat internasional untuk memahami kebudayaan lain di luar budayanya.
Indonesia juga memiliki potensi wisata budaya paling menarik ketimbang negara lain di Asia Tenggara. Kawasan NTT, khususnya Flores dan Ende, juga memiliki potensi tersebut.
Membaca tren tersebut, pihak pengelola Taman Nasional (TN) Kelimutu dan Pemerintah Kabupaten Ende sesungguhnya sejak tahun 2008 sudah menggulirkan program Pengembangan Kebun Wisata yang Berbasis Lingkungan di Kawasan Taman Nasional Kelimutu, yakni konsep agrowisata yang memadukan wisata alam, pertanian, dan seni budaya.
Taman Nasional Kelimutu juga sudah menganggarkan sekitar Rp 3 miliar untuk program tersebut, yang direncanakan berjalan dalam waktu empat tahun. Tahap awal, kegiatan difokuskan di tiga desa di Kecamatan Kelimutu, yakni Desa Pemo, Koanara, dan Woloara yang berpenduduk sekitar 3.000 jiwa. Tiga desa itu berbatasan langsung atau sebagai desa penyangga Taman Nasional Kelimutu. Namun, sampai saat ini aplikasi program tersebut masih tersendat-sendat oleh berbagai faktor.
”Konsepnya sudah matang, pemetaan pun sudah dilakukan. Namun, ternyata di lapangan masih banyak kendala serius. Kami harus membenahi dan menyiapkan SDM (sumber daya manusia)-nya supaya benar-benar siap,” kata Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Subiantoro di Ende.
Anggaran Rp 3 miliar yang diusulkan tahun 2008 akhirnya baru terealisasi 15 persen (sekitar Rp 300 juta) hingga tahun 2010, di antaranya sekitar Rp 56 juta digunakan untuk pengadaan bibit tanaman semusim (hortikultura) dan tanaman keras guna pengembangan agroforestry seluas 8 hektar di Desa Pemo.

Menggali Mutiara Adat Di Desa Pemo, Kelimutu

Desember 6, 2010
Kota Ende, Suara Flores–Keindahan alam dikawasan wisata Kelimutu diKabupaten Ende-Flores pagi itu bagaikan sedang pulas tertidur. Tak ada satu pun kendaraan yang mengusik ketentraman para penghuni belantara, kecuali dua buah unit sepeda motor yang kami kendarai. Bersama kontributor RCTI, kami melalui jalan berbatu, walaupun beberapa meter jalan dibuat dari rabat beton karena medannya cukup menentang, kami menembusi kabut pagi, menuruni lembah menuju keselatan. Setelah sejam dalam perjalanan dari cabang Kawasan wisata danau Kelimutu tampaklah perkampungan penduduk dilereng-lereng gunung tampak pula perkebunan warga yang dikelilingi hutan kopi yang sedap dipandang mata. Dikejauhan tampak pula sebuah kampung besar Woloara. Tujuan kami sebenarnya adalah sebuah kampung disebelah Woloara namanya “Pemo”. Kabarnya disana akan diselenggarakan upacara pesta adat Tolak Bala (Joka Ju) selama lima hari.
Derap langkah sepuluh pria, dengan berpakaian Adat Luka Lesu, Senai (Kain destar dan Selendang) para Mosalaki Pu’u, Mosalaki Ria Bewa, Mosalaki Ulu Eko, Mosalaki Turu Tengu Kana Wara, Mosalaki Tuke Sani Ria Bewa, dan Mosalaki Ine Tana Embu Watu, melaksanakan ritual adat yakni Joka Ju (Tolak Bala) menolak Roh-roh jahat dari kampung “Pemo” agar seluruh masyarakat adat “Pemo” bekerja dengan Hasil berlimpah, upacara pesta adat ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Oktober. Rangkaian upacara tersebut melalui beberapa tahapan seperti mengambil hati Babi dalam keadaan hidup-hidup untuk dilihat (meramal) tentang keadaan atau peristiwa yang akan terjadi dikampung mereka, bahkan peristiwa atau kejadian yang akan dialami bangsa dan Negara kita seperti gejolak politik dan bencana alam, ujar Mosalaki Pu’u (Kepala Adat) Gaspar Gasa kepada wartawan suara Flores dan konstributor RCTI, saat meliputi upacara pesta adat tersebut, kamis 21 Oktober 2010.
Dikatakannya dari hati babi yang diperlihatkan dapat diramalkan bahwa kampung adat Pemo atau masyarakat Pemo dalam bercocok tanam dan bertani akan mendapat rejeki dan memperoleh hasil yang berlimpah dan semua kehidupan dimasyarakat berjalan lancar, sedangkan untuk bangsa dan Negara kita diramalkan akan terjadi gejolak politik yang hebat dan bencana alam besar, karena dari hati babi yang diperlihatkan terdapat luka besar ditengah-tengah hati babi tersebut, ujar Kepala Adat Gaspar Gasa, kepada seluruh komunitas masyarakat Adat Pemo dan Juga kepada wartawan , Kamis, 21 Oktober 2010 lalu di Pemo. Sementara itu, Siprianus Se’a , putra asli Pemo disela-sela upacara Ritual Adat kepada wartawan suara Flores dan konstributor RCTI mengatakan Ramalan yang diramalkan oleh mosalaki (tua adat) biasanya benar-benar terjadi dan sudah terbukti pada tahun-tahun sebelumnya baik ramalan untuk keadaan bangsa dan Negara kita, ujarnya. Maka dari itu untuk mengetahui keadaan atau kejadian yang akan dialami nanti, komunitas masyarakat adat pemo selalu melaksanakan upacara ritual adat setiap tahunnya, sehingga adat harus tetap dijaga dan dilestarikan, ujar Siprianus Se’a.
Ramalan Terbukti
Memang benar dan tidak dapat dipungkiri oleh siapapun ternyata, mosalak (Tua Adat) dari daerah yang sangat termarjinalkan (Kampung Pemo) mampu membuktikan ramalan mereka untuk bangsa dan Negara kita, bahwa apa yang mereka ramalkan pada kamis, 21 Oktober 2010, dihadapan seluruh warga masyarakat adat Pemo dan wartawan, bahwa akan terjadi gejolak politik yang hebat, dan bencana alam besar, benar-benar terjadi dan terbukti pada selasa, 26 Oktober 2010 dengan meletusnya gunung Merapi dan bencana alam di Wasior dan Mentawai, ramalan yang benar-benar diluar dugaan serta akal dan pikiran manusia.
Dunia modern yang menjanjikan kemudahan sering membuat anak manusia terlena, lupa akan tradisi dan budaya tradisionalnya, segala sesuatu sepertinya menjadi sangat mudah karena memang teknologi mempermudah segala hikayat manusia. Tetapi, Pemo bersama pemimpin komunitas masyarakat adat, para mosalaki (tua adat), Kepala Desa Efrinus Jendi Panda, Ketua BPD Xaverius Peme Rada, dan juga komponis adat Bapak Siprianus Se’a, tidak tega membuat adat hilang dari keseharian masyarakat, Joka Ju (Tolak Bala) contohnya. Selain acara-acara dan ritus-ritus adat, Are Wati, Manu Eko, Moke Boti (beras, ayam dan tuak) adalah sarana sakral dalam melestarikan adat. Dalam pesta adat Joka Ju (Tolak Bala), Ana Kalo Fai Walu (komunitas masyarakat adat) sebagai penggarap lahan, wajib mboko satu tu gha tubu, (beras, ayam dan tuak) diantar kerumah adat, kemudian upacara Joka Ju (Tolak Bala) baru dilaksanakan, sehingga harapan mosalaki dan Ana kalo Fai Walu (tua adat bersama komunitas masyarakat adatnya) tentang Tedo Tembu Wesa Wela (tanam tumbuh, hamburpun jadi) dapat tercapai.
Joka Ju (Tolak Bala) kata Siprianus Se’a adalah Apresiasi pertanggungjawaban manusia dalam menggandakan talenta kehidupan yang dimaknai dengan “mboko satu tu gha tubu, wi ana kalo fai walu tedo. Tembu wesa wela…..” yang dapat diartikan, kami mempersembahkan kepadamu Allah dan leluhur kami, apa yang telah kami hasilkan, agar Allah dan leluhur menambahkan kami benih yang akan mendatangkan hasil berlimpah.
Joka Ju (tolak bala) adalah moment konservasi makna sakralitas, spiritualitas dan moralitas dalam diri orang-orang Pemo, sebagaimana termuat dalam tuturan tentang sejarah asal-usul Pemo, dan syair-syair bermakna ajaran yang dilantunkan berulang-ulang dalam gawi (tandak) bersama antara ana kalo fai dan mosalaki (komunitas masyarakat adat dan tua adat) Pemo.
Perjalanan pulang kami sepertinya ditangisi langit. Gerimispun turun perlahan, bagaikan menangisi lunturnya adat dalam kehidupan manusia modern. Pemo hilang dalam kabut tipis dibelakang kami. Tetapi kenangan keakraban penduduknya dengan tradisi dan adat membuat kami berjanji akan kembali. Wajah dan senyum polos warga Pemo tak terusik diawal goresan berita ini. Dibelakang saya, Pa Edy, Kontributor RCTI tampak berseri-seri dan tenggelam dalam nostalgia adat Pemo. Pemo telah membuat kehidupan kami semakin berwarna-warni. Ibarat kain sarung yang kami kenakan saat meliputi upacara pesta adat yang harmonis.