Rabu, 05 Januari 2011

Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa

Tenun NTT Bukan Tenunan Biasa  

Flores Ecotourism » Berita

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Ny Elisabeth Dembi Tangar (45) menenun kain Kali Uda. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi di Sumba, Nusa Tenggara Timur, karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian. Pembuatan kain tenun ikat tradisional ini menggunakan pewarna alami.
Kerajinan tenun Nusa Tenggara Timur merupakan aset budaya luar biasa. Selain beragam motifnya, proses pembuatannya pun tak sembarangan, yaitu melalui proses ritual (doa sakral). Kain tenun NTT bukan sekadar kain biasa, melainkan juga memiliki jiwa.
Ketika melewati kampung tua As Manulea di Kecamatan Sasita Mean, Kabupaten Belu, NTT, misalnya, tim Kompas bertemu dengan para perajin yang membuat kain tenun dari benang yang mereka pintal sendiri.
Pada era 1990-an, kegiatan memintal masih terlihat di mana-mana, terutama saat para wanita pergi-pulang dari pasar. Sambil berjalan kaki, dengan junjungan di kepala, mereka memintal benang dari kapas. Kini, kegiatan memintal benang seperti itu sudah langka ditemui di NTT karena tergusur benang industri.
Perempuan As Manulea itu, Lenci Abuk (38), tekun memintal benang dari abas (kapas lokal). Di samping dia, Natalia Kole (52), bersama seorang wanita sebaya dibantu seorang pria, membenahi seperangkat alat tenun kuno yang disebut bninsa.
Menurut Rosalina Lotu, seorang penenun, tais atau bĂȘte (selendang untuk pria) dari benang lokal harganya mahal, paling murah Rp 5 juta per lembar. ”Saya menanam kapas di pekarangan. Hasilnya sangat terbatas. Kalau menenun dengan benang dari kebun sendiri, harus menunggu bertahun-tahun hingga cukup untuk selembar kain,” katanya.
Di Ende, ada jenis kain tenun yang tidak bisa sembarangan dipakai. Kain itu hanya dibuat oleh kalangan tertentu, seperti keluarga tetua adat (mosalaki). Menurut Kepala Museum Tenun Ikat di Ende, Ali Abubakar Pae, pembuatan kain tenun ini umumnya dilakukan secara rahasia dan disertai ritual khusus.
”Umumnya masyarakat Ende di pesisir selatan memanjatkan doa khusus itu pada malam hari di dalam rumah,” kata Ali.
Ali mengibaratkan menenun seperti membuat keris di Jawa. Kekuatan supranatural dari roh-roh leluhur akan menjiwai kain tenun.
Ada ungkapan dalam bahasa Sikka, Ami nulung lobe. Naha utang wawa buku ubeng. Naha utang merah blanu, blekot (Kami tidak memakai sarung murahan, harus sarung dari dasar tempat simpan, harus sarung yang merah, mantap, dan bermutu).
Ungkapan itu mengandung pengertian, sarung yang dikenakan seorang perempuan menunjukkan kepribadian pemakainya. Sarung yang dipakai bukan sarung biasa. Ini menunjukkan pemakainya bukan sembarangan, melainkan orang berwibawa, bermutu, dan berkepribadian baik.
Selain prosesnya panjang dan rumit, motif tenun NTT unik dan beragam. Hampir semua daerah di NTT memiliki kerajinan tenun. Johanna Maria Pattinaja (73), istri almarhum Frans Seda, telah mengumpulkan sekitar 1.000 kain tenun ikat NTT, dari Pulau Timor, Sumba, sampai Flores.
Penelitian Romo Bosco Terwinju Pr (72) dari Keuskupan Agung Ende memperkuat hal itu. Untuk satu wilayah di Pulau Flores misalnya Sikka, ia mengoleksi sekitar 50 jenis kain tenun ikat. ”Motif kain tenun di NTT sangat banyak, berbeda-beda antarkabupaten,” katanya.
Hasil penelitian Romo Bosco di Pulau Flores, ada dua kategori tenun, jenis ikat tradisional dan sulam songket. Tenun ikat menyebar dari Flores bagian tengah, dari Kabupaten Ende hingga Kabupaten Flores Timur sampai Lembata. Adapun tenun sulam songket banyak dibuat dari Kabupaten Nagekeo sampai Kabupaten Manggarai Barat.
Warna kain tenun ikat dihasilkan dari pewarnaan kain, baik dengan bahan alam (mengkudu atau nila) maupun bahan kimia. Warna kain tenun sulam dihasilkan dari proses penyulaman benang beraneka warna.
Menurut Romo Bosco, motif kain tenun di Flores berdasarkan catatan sejarah merupakan turunan dari motif Patola, India, seperti gajah, bunga atau burung, yang kemudian berkembang dengan beragam variasi.
Tenun Kali Uda
Salah satu tenun NTT yang terkenal berasal dari Kali Uda di Pulau Sumba. Desa ini terletak 120 kilometer selatan Waingapu, Sumba Timur. Kualitas tenunan Kali Uda dianggap tertinggi karena lentur, tidak luntur, ringan, dan dapat dibuat menjadi pakaian.
Warna dasar tenun Kali Uda adalah merah, putih, dan hitam. Ragam motif biasanya ayam, burung, kuda, kerbau, sapi, serta mamuli (perhiasan berbentuk rahim perempuan).
Selain menjadi mahar kawin yang bernilai tinggi di kalangan warga Sumba, tenun ikat Kali Uda diminati turis asing. Bahkan di Denpasar, Bali, ada toko khusus yang menjual tenun Kali Uda. ”Meski harganya mahal, turis Jepang belanja sampai ratusan lembar,” kata Jery Nola (29), seorang pria perajin.
Harga selembar kain Kali Uda berukuran 1,7 meter x 2,3 meter Rp 800.000-Rp 25 juta per lembar, tergantung motif, tingkat kesulitan menenun, pewarna, dan kualitas benang.
Sayangnya, menurut Kepala Desa Kali Uda, Umbu Yiwa Hanggi, belum ada organisasi yang memayungi tenun ikat Kali Uda. Padahal, 90 persen warga Kali Uda adalah penenun.
Perkembangan tenun NTT menghadapi tantangan yang tidak ringan. Desakan ekonomi yang semakin berat memaksa penenun meninggalkannya.
Di Kali Uda, misalnya, sampai hari ini belum ada pemasaran yang masif atas hasil kerajinan masyarakat itu. Gagal panen dan kemarau panjang yang sering melanda pantai selatan Sumba Timur memperberat kondisi mereka. Kalau dulu, hasil panen bisa mengisi kekosongan pendapatan mereka; kini, pertanian tidak bisa lagi diandalkan.
”Tahun 2007 masyarakat pernah menyampaikan aspirasi melalui musyawarah rencana pembangunan desa agar dibangunkan sebuah pusat kerajinan tenun ikat di sini. Kemudian, hasil kerajinan masyarakat ditampung Dinas Perindustrian dan Perdagangan untuk dipasarkan ke luar Sumba. Tapi, belum ada tanggapan,” kata Umbu Yiwa.
Sejauh ini jajaran pegawai negeri sipil di NTT diwajibkan memakai baju tenun dua kali dalam seminggu, setiap Rabu dan Jumat. Kalangan penenun termasuk pemilik sentra kerajinan tenun daerah Ina Ndao, Dorce Lussi, di Kupang mengharapkan kebijakan wajib berpakaian tenun jadi empat kali seminggu. Dengan demikian, pasar tenun ikat NTT semakin terbuka.(SEM/RUL/ANS/KOR)
Sumber berita: Kompas Cetak

  Geru giwa- Giliran Mutu Penghuninya


DOKUMENTASI BALAI TAMAN NASIONAL KELIMUTU, ENDE
Burung garugiwa jantan (Pachycephala nudigula) berkicau meperdengarkan suaranya yang unik di kawasan arboretum Danau Triwarna Kelimutu, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Burung ini oleh masyarakat setempat dikenal sebagai burung arwah.

Pesona Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, dengan keajaiban alamnya yang luar biasa itu, ternyata belum memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ekonomi warga setempat yang umumnya bermata pencarian sebagai petani itu pas-pasan, bahkan cenderung minus. 
Mereka masih mengandalkan sistem bertani hortikultura, padi ladang, beternak, ataupun berkebun secara tradisional. Mereka belum berhasil mengembangkan ekonomi alternatif melalui pengembangan sektor pariwisata yang terpadu.
Padahal, pariwisata sudah menjadi andalan utama dalam menghasilkan devisa di sejumlah negara. Thailand, Singapura, dan Filipina, misalnya, sangat bergantung pada devisa yang didapatkan dari pariwisata.
Perekonomian Bali pun jauh melesat dibandingkan dengan Nusa Tenggara Barat dan NTT karena dimotori industri pariwisata. Soalnya, pada era global ini, menurut I Wayan Ardika dalam bukunya, Pusaka Budaya dan Pariwisata (2007), muncul kecenderungan masyarakat internasional untuk memahami kebudayaan lain di luar budayanya.
Indonesia juga memiliki potensi wisata budaya paling menarik ketimbang negara lain di Asia Tenggara. Kawasan NTT, khususnya Flores dan Ende, juga memiliki potensi tersebut.
Membaca tren tersebut, pihak pengelola Taman Nasional (TN) Kelimutu dan Pemerintah Kabupaten Ende sesungguhnya sejak tahun 2008 sudah menggulirkan program Pengembangan Kebun Wisata yang Berbasis Lingkungan di Kawasan Taman Nasional Kelimutu, yakni konsep agrowisata yang memadukan wisata alam, pertanian, dan seni budaya.
Taman Nasional Kelimutu juga sudah menganggarkan sekitar Rp 3 miliar untuk program tersebut, yang direncanakan berjalan dalam waktu empat tahun. Tahap awal, kegiatan difokuskan di tiga desa di Kecamatan Kelimutu, yakni Desa Pemo, Koanara, dan Woloara yang berpenduduk sekitar 3.000 jiwa. Tiga desa itu berbatasan langsung atau sebagai desa penyangga Taman Nasional Kelimutu. Namun, sampai saat ini aplikasi program tersebut masih tersendat-sendat oleh berbagai faktor.
”Konsepnya sudah matang, pemetaan pun sudah dilakukan. Namun, ternyata di lapangan masih banyak kendala serius. Kami harus membenahi dan menyiapkan SDM (sumber daya manusia)-nya supaya benar-benar siap,” kata Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Subiantoro di Ende.
Anggaran Rp 3 miliar yang diusulkan tahun 2008 akhirnya baru terealisasi 15 persen (sekitar Rp 300 juta) hingga tahun 2010, di antaranya sekitar Rp 56 juta digunakan untuk pengadaan bibit tanaman semusim (hortikultura) dan tanaman keras guna pengembangan agroforestry seluas 8 hektar di Desa Pemo.

Menggali Mutiara Adat Di Desa Pemo, Kelimutu

Desember 6, 2010
Kota Ende, Suara Flores–Keindahan alam dikawasan wisata Kelimutu diKabupaten Ende-Flores pagi itu bagaikan sedang pulas tertidur. Tak ada satu pun kendaraan yang mengusik ketentraman para penghuni belantara, kecuali dua buah unit sepeda motor yang kami kendarai. Bersama kontributor RCTI, kami melalui jalan berbatu, walaupun beberapa meter jalan dibuat dari rabat beton karena medannya cukup menentang, kami menembusi kabut pagi, menuruni lembah menuju keselatan. Setelah sejam dalam perjalanan dari cabang Kawasan wisata danau Kelimutu tampaklah perkampungan penduduk dilereng-lereng gunung tampak pula perkebunan warga yang dikelilingi hutan kopi yang sedap dipandang mata. Dikejauhan tampak pula sebuah kampung besar Woloara. Tujuan kami sebenarnya adalah sebuah kampung disebelah Woloara namanya “Pemo”. Kabarnya disana akan diselenggarakan upacara pesta adat Tolak Bala (Joka Ju) selama lima hari.
Derap langkah sepuluh pria, dengan berpakaian Adat Luka Lesu, Senai (Kain destar dan Selendang) para Mosalaki Pu’u, Mosalaki Ria Bewa, Mosalaki Ulu Eko, Mosalaki Turu Tengu Kana Wara, Mosalaki Tuke Sani Ria Bewa, dan Mosalaki Ine Tana Embu Watu, melaksanakan ritual adat yakni Joka Ju (Tolak Bala) menolak Roh-roh jahat dari kampung “Pemo” agar seluruh masyarakat adat “Pemo” bekerja dengan Hasil berlimpah, upacara pesta adat ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Oktober. Rangkaian upacara tersebut melalui beberapa tahapan seperti mengambil hati Babi dalam keadaan hidup-hidup untuk dilihat (meramal) tentang keadaan atau peristiwa yang akan terjadi dikampung mereka, bahkan peristiwa atau kejadian yang akan dialami bangsa dan Negara kita seperti gejolak politik dan bencana alam, ujar Mosalaki Pu’u (Kepala Adat) Gaspar Gasa kepada wartawan suara Flores dan konstributor RCTI, saat meliputi upacara pesta adat tersebut, kamis 21 Oktober 2010.
Dikatakannya dari hati babi yang diperlihatkan dapat diramalkan bahwa kampung adat Pemo atau masyarakat Pemo dalam bercocok tanam dan bertani akan mendapat rejeki dan memperoleh hasil yang berlimpah dan semua kehidupan dimasyarakat berjalan lancar, sedangkan untuk bangsa dan Negara kita diramalkan akan terjadi gejolak politik yang hebat dan bencana alam besar, karena dari hati babi yang diperlihatkan terdapat luka besar ditengah-tengah hati babi tersebut, ujar Kepala Adat Gaspar Gasa, kepada seluruh komunitas masyarakat Adat Pemo dan Juga kepada wartawan , Kamis, 21 Oktober 2010 lalu di Pemo. Sementara itu, Siprianus Se’a , putra asli Pemo disela-sela upacara Ritual Adat kepada wartawan suara Flores dan konstributor RCTI mengatakan Ramalan yang diramalkan oleh mosalaki (tua adat) biasanya benar-benar terjadi dan sudah terbukti pada tahun-tahun sebelumnya baik ramalan untuk keadaan bangsa dan Negara kita, ujarnya. Maka dari itu untuk mengetahui keadaan atau kejadian yang akan dialami nanti, komunitas masyarakat adat pemo selalu melaksanakan upacara ritual adat setiap tahunnya, sehingga adat harus tetap dijaga dan dilestarikan, ujar Siprianus Se’a.
Ramalan Terbukti
Memang benar dan tidak dapat dipungkiri oleh siapapun ternyata, mosalak (Tua Adat) dari daerah yang sangat termarjinalkan (Kampung Pemo) mampu membuktikan ramalan mereka untuk bangsa dan Negara kita, bahwa apa yang mereka ramalkan pada kamis, 21 Oktober 2010, dihadapan seluruh warga masyarakat adat Pemo dan wartawan, bahwa akan terjadi gejolak politik yang hebat, dan bencana alam besar, benar-benar terjadi dan terbukti pada selasa, 26 Oktober 2010 dengan meletusnya gunung Merapi dan bencana alam di Wasior dan Mentawai, ramalan yang benar-benar diluar dugaan serta akal dan pikiran manusia.
Dunia modern yang menjanjikan kemudahan sering membuat anak manusia terlena, lupa akan tradisi dan budaya tradisionalnya, segala sesuatu sepertinya menjadi sangat mudah karena memang teknologi mempermudah segala hikayat manusia. Tetapi, Pemo bersama pemimpin komunitas masyarakat adat, para mosalaki (tua adat), Kepala Desa Efrinus Jendi Panda, Ketua BPD Xaverius Peme Rada, dan juga komponis adat Bapak Siprianus Se’a, tidak tega membuat adat hilang dari keseharian masyarakat, Joka Ju (Tolak Bala) contohnya. Selain acara-acara dan ritus-ritus adat, Are Wati, Manu Eko, Moke Boti (beras, ayam dan tuak) adalah sarana sakral dalam melestarikan adat. Dalam pesta adat Joka Ju (Tolak Bala), Ana Kalo Fai Walu (komunitas masyarakat adat) sebagai penggarap lahan, wajib mboko satu tu gha tubu, (beras, ayam dan tuak) diantar kerumah adat, kemudian upacara Joka Ju (Tolak Bala) baru dilaksanakan, sehingga harapan mosalaki dan Ana kalo Fai Walu (tua adat bersama komunitas masyarakat adatnya) tentang Tedo Tembu Wesa Wela (tanam tumbuh, hamburpun jadi) dapat tercapai.
Joka Ju (Tolak Bala) kata Siprianus Se’a adalah Apresiasi pertanggungjawaban manusia dalam menggandakan talenta kehidupan yang dimaknai dengan “mboko satu tu gha tubu, wi ana kalo fai walu tedo. Tembu wesa wela…..” yang dapat diartikan, kami mempersembahkan kepadamu Allah dan leluhur kami, apa yang telah kami hasilkan, agar Allah dan leluhur menambahkan kami benih yang akan mendatangkan hasil berlimpah.
Joka Ju (tolak bala) adalah moment konservasi makna sakralitas, spiritualitas dan moralitas dalam diri orang-orang Pemo, sebagaimana termuat dalam tuturan tentang sejarah asal-usul Pemo, dan syair-syair bermakna ajaran yang dilantunkan berulang-ulang dalam gawi (tandak) bersama antara ana kalo fai dan mosalaki (komunitas masyarakat adat dan tua adat) Pemo.
Perjalanan pulang kami sepertinya ditangisi langit. Gerimispun turun perlahan, bagaikan menangisi lunturnya adat dalam kehidupan manusia modern. Pemo hilang dalam kabut tipis dibelakang kami. Tetapi kenangan keakraban penduduknya dengan tradisi dan adat membuat kami berjanji akan kembali. Wajah dan senyum polos warga Pemo tak terusik diawal goresan berita ini. Dibelakang saya, Pa Edy, Kontributor RCTI tampak berseri-seri dan tenggelam dalam nostalgia adat Pemo. Pemo telah membuat kehidupan kami semakin berwarna-warni. Ibarat kain sarung yang kami kenakan saat meliputi upacara pesta adat yang harmonis.