Rabu, 13 Januari 2010

MARI LONGA

Marlin Bato Wanes 14 Januari jam 1:59 
Mari Longa berasal dari daerah Lio Utara di Kabupaten Ende
sekarang. Ayahnya bernama Longa, dan ibunya bernama Kemba Kare.
Ketika masih bayi ia diberi nama Leba Longa.

Setelah menjadi dewasa ia menjadi Mosalaki di watu Nggere dan terkenal
dengan nama Mari Longa. Para Mosalaki di Ende-Lio pada waktu itu sangat membenci pemerintah Belanda yang bertindak sewenang-wenang terhadap rakyat. Maka pada suatu hari, Mosalaki Nggobhe Nggede dan Rapo Oja mengundang sekitar 20 orang Mosalaki dari Ende-Lio untuk bermusyawarah. Mari Longa adalah salah satu Mosalaki yang hadir dalam musyawarah itu diputuskan untuk menyerang kedudukan Belanda di Kampung Detu Kore dan Woloare.

Dalam penyerangan di kampung itu Mari Longa sangat terkenal dengan
rakyatnya yang berani mati. Asrama tentara Belanda dikepung dan semua tentara terbunuh. Kemudian kedua kampung itu dibumihanguskan. Karena kekalahan itu Belanda meminta bantuan pasukan dari Kupang.

Setelah bala bantuan itu tiba di Ende, serangan balasan terhadap Mari Longa dimulai. Serangan balasan ini dipimpin oleh letnan Jefri. Pertempuran berlangsung empat siang, empat malam. Korban berjatuhan di kedua belah pihak.

Perkampungan Watu Nggere dibumihanguskan, namun Mari Longa dengan gagah perkasa tetap bertahan di sebuah benteng. Benteng itu dipertahankan mati - matian oleh Mari Longa sehingga pasukan Belanda tidak mampu merebutnya. Hingga pada suatu hari Mari Longa berjalan-jalan keluar benteng, lalu ditembak mati oleh seorang tentara Belanda. Mari Longa gugur sebagai kesuma bangsa. Tetapi semangat juang Mari Longa tidak pernah gugur. Pengorbanan Mari Longa bersama semua rakyat yang gugur bukan hanya sekedar untuk dikenang sebagai suatu peristiwa sejarah. Tapi lebih dari itu. Semangat juang dan pengorbanan Mari Longa bersama semua rakyat yang gugur, patut dikobarkan terus dalam dada setiap Mari Longa muda sekarang baik laki-laki maupun perempuan. Caranya sederhana yaitu dengan cara giat belajar dan bekerja keras dengan penuh rasa tanggung jawab untuk mengisi kemerdekaan kita dengan pembangunan demi
kesejahteraan Indonesia yang kita cintai.

Warga Menangis Melihat "Eksekusi" Nenek Watts

Kamis, 14 Januari 2010 DAILY MAIL
Louisa Watts dibawa keluar dari rumah perawatan
LONDON, KOMPAS.com - Louisa Watts hanya bisa menangis. Nenek janda itu tak bisa meronta, apalagi berteriak. Saat di persidangan Oktober lalu, ia mengatakan bahwa pindah ke kota lain sama artinya akan membunuh dirinya.

Namun semua itu tinggal kata-kata. Penolakannya untuk pergi dari Underhill tak ada lagi yang menggubris. Ia tetap dimasukkan dalam minibus putih itu. Dipaksa.
"Semua cobaan ini sangat menyakitkan. Aku takut untuk meninggalkan. Tapi kita sudah berjuang begitu keras untuk mempertahankan tempat ini," kata Watts.

Warga kota Wolverhampton yang melihat pemandangan itu hanya bisa menangis. Maklum, bukan Ny Watts saja yang menjadi korban kebijakan itu, tapi juga Emmi Gill yang berusia 80 tahun dan dua warga lainnya.