Selasa, 16 Maret 2010

TURA JAJI DAN PIRE PO'O DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT LIO

Tura jaji. Kalimat ini berasal dari 'Tebo Tura, Lo Jaji', yang arti secara harfianya; 'Tebo Tura' = Tubuh/badan yang termuat (terbebani). Sedangkan 'Lo jaji' = Pundak yang memikul perjanjian. Jadi jika digabungkan akan berarti 'setiap manusia harus menjunjung tinggi perjanjian. Perjanjian disini maksudnya perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para leluhur. Misalnya perjanjian antar persekutuan Orang Lise dengan persekutuan orang Mbuli, Jopu, Moni dan sekitanya yang isinya melarang secara tegas bentuk - bentuk perselisihan atau bahkan perkelahian. Jika ada diantara kedua persekutuan ini melanggar perjanjian ini pasti akan mendapatkan musiba atau semacam kutukan. Contoh lain perjanjian itu adalah; Perjanjian antar persektuan orang Lise secara umum dengan persekutuan orang Mbengu di perbatasan kabupaten Ende dan Maumere. Isi dari perjanjian itu ialah; Jika ada orang Lise yang sedang berada diwilayah Mbengu dan dilanda kehausan atau kelaparan, mereka boleh memetik buah kelapa atau buah apa saja untuk dimakan asalkan tidak untuk dibawah pulang dan begitu pula sebaliknya. Yang menarik disini, meskipun pemiliknya melihat perihlaku seseorang dari salah satu persekutuan tersebut yang sedang memetik buah kelapa dan lain - lain, mereka tidak boleh melarang tindakan tersebut. Jika ada diantara kedua persekutuan ini melanggar perjanjian tersebut akan mengalami masa sulit berkaitan dengan hasil panen. Konon diketahui perjanjian 'Tura jaji' ini ditandai dengan Nipa Hua/kua (Lipan) dan Ana bewu (burung Puyu). Maksudnya, jika seekor Lipan berjalan menyeberangi jalan raya, akan mati dengan sendirinya atau seekor Burung Puyu tidak akan terbang tinggi. Jika burung puyu terbang tinggi, akan terjatuh dan mati. Kedua mahkluk ini hanya sebagai simbol supaya persekutuan - persekutuan tersebut harus selalu mengingat dengan 'Tura jaji' karena kedua mahkluk tersebut gampang dijumpai didaratan Lio secara keseluruhan diwilayah komunitasnya masing - masing. Secara Implisit, ini dapat disebut sebagai hukum adat yang tidak tertulis dan mengandung norma - norma serta kaida - kaida yang telah dianut oleh masyarakat Lio secara turun - temurun. Norma atau kaida ini harus selalu dipatuhi oleh masing - masing persekutuan orang Lio meskipun tidak ada sanksi fisik. Dalam kehidupan masyarakat Lio, selain 'Tura jaji' tentu ada aturan - aturan yang dibuat dan ditetapkan sebagai hukum tidak tertulis dan harus dipatuhi oleh siapapun yang tinggal dalam di salah satu persekutuan Lio. Adapun seseorang yang melakukan pelanggaran - pelangaran, baik itu secara sengaja atau tidak, tentu juga dikenakan sanksi yang sangat tegas namun ada juga tidak dikenakan sanksi secara langsung. Contoh Sanksi yang dikenakan secara langsung misalnya; Seseorang Si (A) melakukan penghinaan atau fitnah kepada yang lainya Si (B). Jika Si (A) terbukti bersalah kepada Si (B), maka Si (A) harus membayar denda kepada Si (B) sebagai ganti rugi beban moralnya jika tidak dia akan dikucilkan oleh adat dan masyarakat setempat. Beban ganti rugi ini sering disebut orang Lio sebagai 'Ndate wale'. Contoh lainnya dari Sanksi langsung; Misalnya di salah satu persekutuan orang Lio sedang melakukan ritual po'o are (Upacara minta hujan). Pada ritual ini, Mosalaki selaku Ketua adat menetapkan waktu tujuh hari pantangan (Pire Po'o) sebelum hari H. Dalam masa tujuh hari ini, masyarakat yang tinggal diwilayah itu dilarang keras melakukan aktifitas yang bersifat merusak tanaman hijau misalnya; memetik daun hijau, menebang pohon dll. Pada masa ini juga masyarakat dilarang membuat kegaduhan misalnya; Berkelahi, Berpesta pora atau menyetel musik keras - keras, mabuk - mabukan ataupun berbuat onar dll. Meskipun demikian, masyarakat juga tentu diijinkan untuk beraktifitas seperti biasa
untuk menopang hidup. Larangan - larangan ini dimaksudkan supaya dalam tujuh hari masyarakat harus hidup tenang. Selain itu, Pada masa pantangan ini di yakini sebagai proses turunya Penguasa langit (Du'a Gheta Lulu Wula) dan menyatuh diwisu Lulu dengan Penguasa Bumi (Ngga'e Ghale Wena Tana) melalui Au wula Leja yang ditanam dipojok kanan depan rumah adat. Proses perkawinan atau penyatuan ini diyakini sebagai unsur simbolik dari pemberihan benih - benih kesuburan selaras dengan apa yang didambahkan oleh setiap insan dan ditandai dengan masuknya iklim penghujan. Inilah Proses panjang sejarah Agama asli orang Flores yang sudah diwariskan turun temurun. Aturan - aturan atau norma dan kaida tadi adalah Hukum yang berdiri untuk menjaga keluhuran adat Lio dan telah menjadi kitab suci yang tidak tertulis agama asli orang Lio dan rumah adat sebagai gerejanya. Bagi siapapun yang melanggar Hukum adat ini akan dikenahkan denda (Ndate wale) dalam rupa hewan kurban sebagai wujud untuk menggantikan keluhuran yang ternoda. Jika Si pelanggar tidak sanggup membayar denda ini berarti dia harus rela meneteskan daranya sebagai ganti hewan kurban atau dia akan dikucilkan bahkan diusir dari persekutuan ini.
Sekian,

Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Univ. Bung karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indoneisia
sumber lisan.

EKSISTENSI PEMANGKU ADAT LIO

Ende dan Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan yaitu Ende Lio. Meskipun demikian sikap egocentris dalam menyebutkan diri sendiri seperti: Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende dan Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (teritorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende. Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki, Boge, Hage dan Ria bewa. Struktur kebangsawanan masyarakat Lio dalam beberapa pandangan kadang - kadang sering ditempatkan pada posisi yang keliru sehingga menggelitik rasa ingin tahu penulis terhadap beberapa pandangan tersebut. Inti rasa ingin tahu penulis tentu mengerucut pada; Siapakah Mosalaki, Boge, Hage dan siapakah Ria bewa ? Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan fakta yang benar supaya tidak terjadi anggapan yang keliru dikemudian hari. Menurut Sistem adat Lio, Pemangku adat Lio terdiri atas beberapa klasifikasi gelar kebangsawanan yaitu;

1. Mosalaki

2. Boge

3. Hage

4. Ria Bewa

Dari semua sesepuh adat ini tentu mempunyai tugas dan wewenang masing - masing berdasarkan perjalanan sejarahnya yang menentukan gelar - gelar tersebut sehingga gelar tersebut kerap menjadi julukan untuk menunjukan identitas para pemangku adat Lio.

1. 'Mosalaki', kata ini bermula dari bahasa Lio dan terdiri atas kata Mosa dan Laki. Kata Mosa adalah Satu bentuk kata tunggal yang artinya Jantan Besar, menurut hemat penulis kata ini digolongkan kata tunggal karena kata mosa tidak mengandung makna lain selain jantan besar, sedangkan Laki adalah bentuk kata jamak mempunyai arti luas yaitu;
1. Hak/Memiliki dalam arti mempunyai kekuasaan yang besar, dan
2. Hak/memiliki dalam arti penentuan pilihan pasangan hidup, sehingga Orang Lio berpandangan bahwa untuk mengetahui berapa jumlah istri kepada seseorang lelaki, bisa diketahui melalui jumlah ubun - ubun dikepala laki - laki. Namun demikian, hal ini tidak dapat ditampik mana kala munculnya fenomena pada sosok seseorang mosalaki yang mempunyai istri banyak. Menyingkap kata 'Mosalaki', Secara historis antara Ngada dan Ende Lio serta Palu'e mempunyai tata cara tradisi dan pranata yang hampir sama meskipun ada perbedaan - perbedaan yang jauh lebih mendasar. Hal ini tentu karena dipicu oleh perjalanan sejarah itu sendiri yang mana Orang ende Lio meyakini Seluruh suku didaratan Flores mempunyai leluhur yang sama. Justru yang membuat adanya sedikit perbedaan adalah faktor pengaruh budaya yang datang dari luar. Contohnya Orang Ende Lio menyebut kepala suku sebagai Mosalaki, tetapi orang Bajawa/Ngada menyebutnya Mosadaki atau Mosaraki atau juga Mosalaki sedangkan orang dari pulau Palu'e menyebutnya terbalik yaitu; Lakimosa. Sama halnya dengan suku Ngada dan palu'e tadi, dalam Sistem adat suku Ende Lio, Legitimasi seorang Mosalaki berada dalam posisi puncak tertinggi dan mempunyai kekuasaan yang mutlak atas tanah dan wilayah kedaulatannya (teritorial). Sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; 'Mosa' eo Ka Fara No'o Tana, 'Laki' Eo Pesa Bela No'o Watu', Yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti Mosalaki dapat menyatuhkan diri, duduk dan bersantap bersama Tanah dan Batu. Pengertian (Tana, watu) Tana dan Batu disini dalam perspektif Orang Lio adalah sebagai simbol Penguasa Bumi yaitu 'Nggae Ghale Wena Tana' selain Babo Mamo (nenek moyang) wujud Roh Para Leluhur orang Lio sendiri.

2. (Boge). Boge ria, Boge Bewa: Dalam bahasa Indonesia artinya Gumpalan daging yang Besar dan panjang. Deretan sejarah suku Lio mencatat bahwa Gelar kebangsawanan Boge ria, Boge bewa adalah Sebagai bentuk penghargaan sangat tinggi kepada seorang Tokoh pejuang yang dianggap paling berjasah dan berjiwa patriotis kepada persekutuannya pada saat berperang untuk merebut wilayah dari pihak luar. Gelar ini memang pantas disandang bagi orang yang terlibat langsung dan memenangkan atau bahkan yang gugur dalam medan perang. Sosok orang ini tentu telah menjadi ujung tombak dan memainkan instumen penting selaras dengan strategi dan kekuatan terdasyat yang digunakan untuk memenangkan peperangan. Tentu hal ini juga dimaksudkan agar dapat menjadi momok yang menakutkan kepada pihak lawan. Sehingga, sebagai tanda jasah, mereka dianugerahi bagian tanah dari hasil kemenangan. Selain itu, sebagai bentuk pembuktian atas jasah - jasahnya, pada setiap perhelatan - perhelatan akbar ritus adat Lio, misalnya; Upacara pengukuhan pemangku adat Lio, mereka berhak mendapatkan potongan Daging Babi/kerbau yang sangat besar dan panjang sebagai pengakuan eksistensi mutlak kehadiran sosok patriotis ini.

3. (Hage). Hage Ria, Hage Lo'o, dalam terjemahan harfia bahasa Indonesia adalah Besar seadanya dan kecil seadanya. Selain Boge ria, Boge Bewa, Suku Lio juga mencatat gelar kebangsawanan Hage ria, Hage Lo'o. Tentu gelar ini juga disandang oleh seseorang yang dianggap berjasah kepada Persekutuannya meskipun tidak sebesar jasah Boge Ria, Boge bewa tadi. Walaupun demikian, kehadiran sosok - sosok ini tentu tidak bisa disepelehkan sehingga untuk menghargai jasah - jasahnya, mereka dianugerahi sedikit bagian tanah dari hasil peperangan. Selain itu sama seperti Boge ria, Boge bewa tadi, mereka juga berhak atas potongan daging babi/kerbau meskipun kecil dan seadanya dalam setiap perhelatan ritual pengukuhan pemangku adat Lio. Ini adalah sebagai bentuk pengakuan eksistensi kehadiran sosok para pejuang tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terkadang dalam perhelatan ritual adat, kerap muncul reaksi ekstrim yang luar biasa manakala terjadi kekeliruan dalam pembagian jatah daging. Menurut pandangan penulis, ini bukan hanya sekedar onggokan daging melainkan sebagai simbol pengakuan eksistensi dari Tokoh - Tokoh ini atas jasah - jasahnya.

4. Ria Bewa: Secara harfia kalimat Ria Bewa dapat diartikan besar dan panjang sehingga kalimat ini menjadi rumusan kekuasaan yang besar dan panjang. Akan tetapi kalimat ini terkadang mengecohkan beberapa pandangan yang menjadi keliru sehingga muncul kalimat 'Mosalaki Ria Bewa'. Sebenarnya kalimat Ria Bewa itu berdiri sendiri tidak dapat disandingkan dengan kata mosalaki. Hal ini tentu didasari oleh peran Ria Bewa itu sendiri yakni sebagai Panglima tinggi dan sebagai Juru Bicara pemersatu setiap mosalaki suku Lio sehingga kekuasaan dan perannya sangat Luas. Meski Demikian, Ria Bewa tidak menguasai batas - batas di setiap tana Ulayat pada setiap kekuasan mosalaki. Ini berarti Kekuasaan Ria Bewa hanya bersifat adminisratif kewilayahan sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; 'Ria Tana Iwa, Bewa Watu La'e'. yang berarti Ria Bewa tidak berkuasa atas tana di seluruh wilayah teritoral Mosalaki. Selain itu Ria Bewa juga dapat juga disebut dengan istilah : "Ria to talu rapa sambu no'o ata mangu lau, Bewa to tewa rapa rega no'o ata laja ghawa", yang artinya Ria Bewa berperan sebagai penyambung lida para mosalaki disekitar tanah persekutuan Lio (Lise) dengan orang Luar yang menegaskan bahwa Ria Bewa sebagai juru Bicara tadi. Fakta - fakta ini adalah implikasi dari peranan Ria Bewa itu sendiri. Meski demikian, peran Ria Bewa juga tentu sangat Strategis dalam membangun pilar - pilar persatuan antar para sesepuh adat Lio secara menyeluruh.
Catatan; Dari semua info yang dipaparkan disini, penulis sengaja menyampaikan hanya ringkasan secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga etika dalam penyampaian informasi agar tidak terjadi perbedaan presepsi. Terima Kasih...
Sekian,

Penulis; Marlin bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Jakarta Indonesia
Sumber; Lisan

"KHAZANA KERAJINAN TANGAN WANITA ENDE LIO"

Selain hasil karya tenun, masyarakat Ende Lio pada umumnya gemar membuat anyaman dari bambu, daun lontar ataupun dari rotan. Ini adalah satu - satunya kerajinan tangan para wanita Ende Lio. Asal muasal kerajinan Anyaman adalah milik masyarakat melayu yang masih sangat di kagumi dan di gemari hingga saat ini. Konon, kemunculan kebiasaan ini di tanah Ende Lio adalah warisan secara turun temurun oleh nenek moyang bangsa melayu beberapa abad silam semenjak bangsa melayu menjejahkan kaki di pulau Flores. Ada beberapa macam jenis hasil anyaman yang tidak pernah musnah hingga kini misalnya;

1. Benga/Bote. Dalam bahasa Indonesia disebut 'Bakul', Adalah anyaman ini terbuat dari batang bambu yang sudah di potong, dibelah dan di iris sesuai ukurannya kemudian dianyam sedemikian rupah hingga membentuk sebuah bakul. Secara teknis, bakul bisa dibuat baik dalam ukuran yang besar ataupun kecil sesuai keinginan pembuatnya. Manfaat dari bakul ini adalah bisa mengisi/menyimpan benda - benda apa saja, seperti hasil komoditi dan lain sebagainya. Selain itu, dalam tradisi adat seperti 'Wuru Mana' (partisipasi dan sumbangsi untuk keluarga besar), bakul juga kerap digunahkan sebagai tempat menyimpan gabah atau beras untuk diantarkan kepada penyelenggara acara misalnya perkawinan, kematian dan sebagainya. Salah satu keunikan yang tidak akan pernah bisa ditiruh oleh masyarakat manapun didunia adalah mana kala Para wanita Ende Lio menjunjung bakul dikepalanya meskipun tidak dipegang, bakul itu seolah tidak mau beringsut dan tidak terjatuh dari kepala para wanita Ende Lio yang sedang menjunjungnya. Suatu keunikan yang tidak terduga oleh siapapun, memang hal ini terkesan enteng namun jika belum biasa, siapapun tidak akan bisa meniruhnya.

2. Kidhe - Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya Nyiru. Alat ini juga terbuat dari Bambu yang dianyam dan bermanfaat untuk menampi/menyaring beras supaya bisa dimasak. Kidhe juga sering dijumpai di daerah lainnya seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali dan lain - lain. Meski demikian, tentunya semua memiliki bentuk dan kualitas yang sedikit berbeda tergantung pembuatannya. Beberapa dekade terakhir, alat ini sudah berkembang dan dimodifikasi serta dibuat dengan plastik.

3. Nggobhe - Dalam bahasa Indonesia disebut 'Topi'. Biasanya dibuat dari daun lontar yang sudah dikeringkan. Masyarakat Ende Lio kerap memanfaatkan topi untuk melindungi kepala dari terik matahari. Model Topi yang dibuat bersayap lebar adalah contoh yang dibawahkan bangsa Portugis di tanah Flores. Pada mulanya, jenis topi yang bersayap lebar ini adalah terbuat dari kulit binatang oleh para Koboi Amerika Latin beberapa abad yang lalu, hingga akhirnya dibuat dari daun Lontar oleh wanita Ende Lio sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Dalam kurun waktu beberapa dekade belakangan ini, Topi menjadi Icon dan Trend pergaulan anak muda masa kini dengan model yang sangat variatif.

4. Te'e atau 'Tikar'. Ini adalah anyaman yang terbuat dari "Re'a"atau semacam Daun Rami yang biasa tumbuh di pinggiran kali. Tentu tikar bermanfaat untuk alas tidur didalam rumah ataupun diluar rumah. Tikar dibuat sangat bervariasi karena dapat juga diwarnai menggunakan pewarna pakaian. Sama seperti 'Bakul', Tikar juga dibawah oleh bangsa Melayu ketanah Flores beberapa abad silam.

Selain benda - benda kerajinan tangan yang disebutkan diatas, beberapa tahun terakhir ini para Wanita Ende Lio juga sudah mengembangkan hasil karyanya seperti; Dompet, Tas dan Souvenir - souvenir lainnya untuk dijual. Hanya saja semua itu masih terkendala masalah kekurangan dana untuk bisa bersaing dikanca Nasional maupun Internasional. Jika saja pemerintah setempat dapat melihat dan melirik peluang ini, bukan tidak mungkin, ini bisa menjadi andalan untuk menunjang Danau kelimutu sebagai Icon Wisata Dunia.

Sekian,

Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Imprivisator & Inspirator

Gugusan Wisata Kepulauan Sunda kecil (Bali, NTB dan NTT)

Tahun 2012 Pemerintah pusat akan meluncurkan dan meresmikan Program 'VISIT LOMBOK - SUMBAWA 2012' untuk menjadikan Kepulauan Sunda Kecil yang meliputi BALI, NTB dan NTT sebagai pusat pariwisata Indonesia bertaraf Internasional. Hal ini tentu dikarenakan ketiga Propinsi ini pernah tergabung dalam satu Propinsi Yaitu Propinsi Sunda kecil. Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India. Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India. Sejumlah pulau yang kemudian
terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.

Daerah Kepulauan Sunda kecil ini dikenal sebagai daerah wisata karena keindahan alamnya yang menakjubkan. Sejak dulu telah ada yang berwisata ke daerah ini. Perjalanan Sri Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11. Pada tahun 1920 wisatawan dari Eropa mulai datang ke Bali. Bali di Eropa dikenal juga sebagai the Island of God. Di Tempat lain di Kepulauan Sunda Kecil tepatnya di daerah Nusa Tenggara Barat dikenal dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau. Kuda Nusa tenggara sudah dikenal dunia sejak ratusan tahun silam. Abad 13 M Nusa Tenggara Barat telah mengirim kuda-kuda ke Pulau Jawa. Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai tempat pariwisata raja-raja. Raja-raja dari kerajaan Bali membangun Taman Narmada pada tahun 1727 M di daerah Pulau Lombok untuk melepas kepenatan sesaat dari rutinitas di kerajaan. Daerah Sunda Kecil yang tidak kalah kayanya adalah Nusa Tenggara Timur, karena di daerah ini terdapat kayu cendana yang sangat berharga. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Cendana dari Nusa Tenggara Timur telah diperdagangkan sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Indonesia bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman/Raja Salomon memakai cendana untuk membuat tiang-tiang dalam bait Sulaiman/Salomon, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman/Salomon mengimpor kayu ini dari tempat-tempat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.

Kini Kepulauan Sunda kecil ini merupakan tempat pariwisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan pulau terindah di dunia. Lombok juga merupakan salah satu tempat terindah di dunia. Sementara itu di Pulau Flores, bersanding pula Pulau Komodo yang dihuni binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup hingga kini yaitu komodo. Selain itu, di pulau Flores terdapat pula danau tiga warna (Kelimutu) yang tidak kalah menariknya. Konon, diketahui Didanau ini Presiden pertama Republik Indonesia (Bung Karno) pernah bersemedi. Pada Jaman keemasan Portugis, pulau Flores juga menjadi lumbung hasil rempah - rempah seperti Palawija, Kayu manis dan lain - lain. Kepulauan Sunda kecil merupakan tempat yang misterius dan sangat menawan. Kepulauan ini bisa mendapat banyak kekayaan para pelancong dari seluruh dunia jika dikelola secara maksimal.


Oleh, Marlin Bato

NGNGGO, WANI ALAT MUSIK TRADISIONAL DAN TARI PERANG KHAS ENDE LIO

Alat Musik dan Seni tari merupakan unsur kebudayaan universal. Kebudayaan merupakan “Keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”. Itu berarti bahwa Alat Musik dan Seni tari juga merupakan hasil daya cipta manusia. Alat Musik dan seni tari ini mempunyai cikal-bakal yang amat sangat heterogen dalam rentang sejarah kultur Ende Lio. Semua jenis alat musik terkadang mencoba menjelaskan dan mendefinisikan suatu makna dengan jarak Pentagonis yang memiliki nada beberapa jenis bunyi yang kedengarannya seolah-olah alamiah, maka ia menjadi salah satu ciri khas bunyi instrument tradisional, yang alatnya terbuat dan terbentuk dari bahan yang tersedia di alam sekitarnya, seperti kayu, bambu, logam, tanduk, kulit hewan dan lain sebagainya. Selama berabad-abad, masyarakat suku Ende Lio telah diwarisi banyak kesugihan budaya dari peradaban melayu kuno. Beberapa instrumen musik yang hingga kini masih dimanfaatkan adalah Alat musik pukul 'Nggo' dan 'Wani'. Dalam bahasa Indonesia 'Nggo' disebut 'Gong' sedangkan 'Wani' disebut Waning atau Gendang atau juga Tambur.

'Nggo'
Nggo atau Gong terdiri atas 'Nggo Lamba' berjumlah empat buah yang bermanfaat sebagai pengiring derap para penari dan 'Nggo diri' berjumlah satu buah yang bermanfaat sebagai pendukung 'Nggo lamba'. Alat musik ini terbuat dari logam yang dibakar dan kemudian ditempah lalu dibentuk hampir menyerupai piringan, namun ada tonjolan didepan agar para pemusik bisa memukulnya dengan baik. Gong atau Nggo ada yang berukuran besar dan kecil yang tentunya menghasilkan nada yang berbeda - beda. Untuk menghasilkan suara yang terbaik saat dimainkan oleh para pemusik, 'Nggo Lamba' harus digantung dengan seutas tali pada kayu yang sengaja dibuat terpisah agar antara Nggo yang satu tidak bersentuhan dengan Nggo lainnya, sedangkan 'Nggo diri bisa' ditaruh dalam posisi apa saja karena 'Nggo diri' bermanfaat hanya sebagai pendukung. Sekilas, jika dimainkan oleh para pemusik lokal, nada - nada alat musik ini terkesan sangat tidak beraturan. Namun bagi masyarakat Ende Lio, setiap ketukan nada yang dimainkan mengandung makna ajakan dan spirit untuk para penari maupun pendengar supaya bisa ambil bagian dalam menunjukan ekspresinya lewat tarian.

'Wani'
Wani dalam bahasa Indonesia artinya; Waning atau Gendang atau juga Tambur. Sebenarnya alat musik ini lebih cocok disebut Tambur, karena bentuknya agak lonjong, dan mengecil dari atas kebawah seperti corong. Oleh masyarakat Ende Lio, 'waning' sengaja dibuat agak lonjong dan berbeda dari jenis manapun supaya menghasilkan suara yang lebih nyaring. Proses pembuatan waning, tergolong lebih mudah ketimbang 'Gong atau Nggo' karena alat musik ini umumnya terbuat batang pohon lontar, Rotan, dan kulit kerbau atau kulit kambing. Batang pohon lontar tadi berfungsi sebagai corong, rotan sebagai tali pengikat sedangkan kulit kerbau atau kambing tadi berfungsi sebagai pelapis dan penutup bagian atas yang nantinya jika dipukul, akan menghasilkan suara. Beberapa tahun silam dalam persekutuan suku Ende Lio, muncul pula tradisi di kampung 'Wologai' yang memanfaatkan kulit manusia sebagai pelapis dan penutup gendang. Konon, dari informasi - informasi yang diketahui bahwa alasan penggunaan kulit manusia sebagai pelapis dan penutup gendang adalah untuk menghasilkan suara yang terbaik dan lebih nyaring serta bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan kulit binatang. Menurut perspektif tradisi masyarakat Ende Lio, untuk menghasilkan nada - nada yang sempurna, Waning/Tambur harus dimainkan bersamaan dengan Gong. Kolaborasi ini adalah suatu hasil daya cipta masyarakat setempat yang sudah diwariskan turun temurun. Dalam memainkan alat musik jenis ini, pemain musik Waning/Tambur bertugas sebagai pemimpin arransement supaya setiap ketukan Gong harus selaras dengan Tambur.

'Tari Perang'
Tari, dalam bahasa Ende Lio dikenal dengan sebutan Toja, Wanda, atau Wedho. Sedangkan 'Perang' sebenarnya tidak ada kosakata yang cocok dalam bahasa Ende Lio. Namun Orang Ende Lio mengenal kata 'Wika Tana' yang berarti merebut, menaklukan, atau menguasai secara paksa sesuatu wilayah dari tangan musuh. Kata ini mengandung persaman makna dengan perang tadi. Meski demikian, kalimat yang cocok dalam bahasa Ende Lio untuk menyebut Tari Perang adalah 'Toja Napa Nuwa'. 'Napa Nuwa', Jika diterjemahkan secara harfia artinya Menunggu atau menanti Usia. Dalam pandangan Masyarakat Ende Lio, disebut 'Napa Nuwa', karena ini sangat berkaitan erat dengan 'Wika Tana', sehingga deretan sejarah suku Ende Lio mencatat, setiap laki - laki yang pulang dari medan pertempuran selalu disambut dengan tarian Napa Nuwa yang diringi dengan alat musik tradisional setempat yaitu; Nggo, Wani. Pada jaman dulu, Toja napa Nuwa ini biasanya dipentaskan oleh Para pria Ketua adat secara individual sambil mengumandangkan 'Bhea' (ungkapan untuk membangkitkan Spirit yang menunjukan kebesaran dan keperkasaan). Meski demikian, tarian ini bisa juga dipentaskan oleh para pejuang yang pulang dari medan perang akan tetapi harus dipimpin oleh ketua adat. Dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir, tarian ini dikembangkan sehingga dapat diperankan oleh siapa pun dan dikemudian dipadukan dengan tampilan para wanita Ende Lio untuk menambah semarak tarian tersebut. Walaupun demikian, perpaduan antara penari Pria dan wanita ini tentu mempunyai makna lain yaitu sebagai icon spirit untuk membangkitkan keperkasaan para Pria yang pulang dari medan pertempuran. Bagi para penari pria, busana yang dikenakan dalam tarian ini adalah: 'Ragi Mite' (kain sarung hitam bergaris, model khas lelaki), 'Lambu bara' (Baju kemeja putih), kadang - kadang juga ada yang tidak mengenakan baju, 'Luka semba' (selendang tenun khas Ende Lio semacam patola) dan 'Lesu' (kain tenun ikat kepala yang beragam coraknya) serta dilengkapi dengan atribut seperti 'Sau' (perisai), 'Topo' (parang/pedang yang panjang), Wo'o Le'e (busur panah) atau 'Tumba' (tombak). Sedangkan busana para wanita terdiri dari; 'Lawo' (sarung yang berwarna coklat dengan motif yang beragam), 'Lambu Nua' (baju bodo ciri khas Ende Lio), 'Luka semba' (selendang tenun khas Ende Lio namun mempunyai motif yang berbeda dari lelaki).

'Tari Perang' dan 'Nggo Wani' adalah perpaduan antara seni tari dan seni musik khas Ende Lio yang saling berkaitan erat sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Ritme - ritme yang dilantunkan oleh 'Nggo Wani' seyogyanya menjadi alur untuk mengatur gerakan para penari sehingga, para penari sebagai lakon dalam tarian ini dapat meluapkan ekspresinya dengan sangat baik sekali. Selintas, tarian perang dan nada - nada 'Nggo Wani' ini seolah sangat tidak beraturan dan tanpa arti, akan tetapi, sesungguhnya Tarian Perang dan alat musik 'Nggo Wani' ini telah menjelaskan secara gamblang bahwa setiap jejak - jejak kisah sejarah Ende Lio adalah Suatu Peradaban yang mengandung kelampauan, kekinian dan juga yang akan datang.

Sekian,

Penulis; Marlin Bato (Pemerhati budaya)
Mahasiswa Univ. Bung karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber, Lisan Inspiratif

GAWI, IRAMA SODHA DAN NUSA NIPA

Informasi ini untuk meralat artikel beberapa waktu lalu yang berjudul 'GAWI DAN IRAMA SODHA' yang mana menurut beberapa sumber, masih harus diperbaiki lagi pada poin2 penting supaya tidak ada pemahaman yang keliru. Akhirnya setelah digali lebih dalam keberbagai sumber, Pihak Admin Ende lio berhasil mendapatkan informasi yang cukup akurat. Thanks..


Pada perhelatan akbar ritual adat Mbama, masyarakat Lio mengenal Gawi. Gawi dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga dengan kata, 'TANDAK. Secara harfia kata tandak bermuara pada kata bertandak yang berarti Berkunjung, mengunjungi, menyatukan hati, langkah dan pikiran. Makna inilah yang menjadi dasar untuk menyebut GAWI sebagai TANDAK dari daerah Ende Lio. Sama halnya dengan tandak tadi, dalam tarian gawi pun kita yang terlibat dalam ritual tersebut berkewajiban saling bergandengan tangan, menyatukan hati, hentakan kaki serta mempuyai pikiran yang sama disaat mengikuti tarian tersebut dan tidak boleh melepaskan tangan sampai upacara tarian gawi tersebut selesai. Selain itu, kita hanya dapat melepaskan tangan kita pada saat kita hendak beristirahat. Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat Lio yang tertua dan dipimpin oleh seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat disebut 'ATA SODHA'. Uniknya, untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus mendapatkan Ilham secara khusus karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau catatan pada saat upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar - benar menguasai alur - alur bahasa adat yang di nyanyikan dalam sebuah aliran lagu adat yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat Mbama, tarian gawi ini kerap diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini Mosalaki sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran, keperkasaan dan kemenangan. Dalam beberapa pandangan GAWI/TANDAK sebenarnya adalah ritual ibadat, dalam agama asli suku Lio. Di sini, sodha menyanyikan sejarah suku dan ajaran - ajaran moral, yang sebenarnya adalah 'Kitab Suci' lisan agama tersebut. Di beberapa tempat dalam persekutuan Lio, pada saat ritual adat GAWI, ATA SODHA mengenakan pakaian wanita (lawo-lambu). Hal ini sudah terjadi secara turun temurun karena ada kecenderungan di berbagai agama asli, bahwa 'pendeta' agama tersebut haruslah orang yang banci/ wadam. Ini menunjukan orang Lio mempunyai ciri khas yang sama dengan Tolotang di Bugis, Aluk di Toraja, atau beberapa agama asli di NTT. Filosofinya, orang yang banci adalah orang yang paling murni dari masyarakat dan dapat mewakili kedua jenis kelamin, sehingga paling layak mewakili masyarakat dalam berhubungan dengan Dewa. Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan lingkaran utuh, dan yang lebih unik lagi menyerupai ular. Penari di bagian ekor bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini melambangkan kepercayaan setempat akan ular besar yang setia menjaga mata air kampung sebagai sumber kehidupan. Jangan heran, kalau orang Lio berperang, mata air adalah tempat yang paling dilindungi. Bentuk lingkaran spiral ini adalah kekhasan GAWI, karena di tempat lain tandak selalu berbentuk lingkaran utuh. Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di posisi luar, bukan di lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi orang Lio bahwa orang Lio selalu menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di garda terdepan sebagai pelindung dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum perempuan kepada kaum laki-laki sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini melindungi wanita. Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber kehidupan dan mata air yang harus dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang melindungi seluruh rangkaian daratan Flores yang dikenal dengan julukan 'Nusa Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata 'Nusa Nipa' berasal dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan orang Lio terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain selendang sebagai wujud penghormatan. Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak adalah ritual puncak. Banyak agama asli menggunakan ritual semacam gawi/tandak itu sebagai ibadat puncaknya. Contohnya adalah JingiTiu di Sabu (padhoa), Marapu di Sumba, Aluk to Dolo di Toraja (Ma'badong), bahkan, orang Yahudi ortodoks berdoa dengan cara tersebut di tembok ratapan. Mungkin ini bisa berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti bahwa manusia memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos. Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri musik dan tangga nada khas. Sebagai contoh, suku Lio memiliki tangga nada berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak satu laras berurut, yang tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan seperti nada fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama asli seperti ini hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti dangdut, reggae,dll, yang dibungkus dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair. Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati Gawi di tempat - tempat seperti Jopu, moni, tenda atau Watuneso dalam cakupan luas (lise nggonde ria). Generasi muda perlu dididik kembali untuk mengerti keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin dengan memasukkan materi musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan sanggar - sanggar musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain. Sepertinya, kita lebih suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya lewat syair berbahasa daerah, tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis yang setia menjaga keaslian irama sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores, anda ditantang untuk menggunakan kembali musik aslinya. Jika tidak, musik khas Flores tidak akan pernah ada. Menurut pandangan seorang Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) mengakui bahwa orang Flores mempunyai ciri khas musik yang sangat unik dari etnis mana pun di seluruh pelosok nusantara. Yang menjadi pertanyaan sekarang; Mengapa orang Flores sendiri tidak bisa mempertahankan nilai - nilai luhur yang sudah di wariskan ?

Terima kasih.........

Penulis, Marlin Bato (pemerhati budaya)
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Narasumber;
Franz A. Thomas Ire (Makasar)
Marlin Bato