Mosalora Hebesani
04 Maret jam 9:52
Cerita Masyarakat Ende Lio, Flores NTT.Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya
yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis kesana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung.
Pengkajian atas fenomena ritual perladangan dalam komunitas Etnik
Lio-Ende tidak dapat dipisahkan dari mitos tentang keberadaan padi
ladang sebagai tanaman utama masyarakat setempat. Mitologi padi
tergolong cerita tua dan sastra suci yang menjadi kebanggaan masyarakat
Lio-Ende. Kendati tidak banyak lagi yang mampu mengisahkannya kembali
secara literer, karena tidak ditulis dan direkam, mitologi padi menjadi
objek kajian yang menarik. Dikatakan demikian karena budaya padi ladang
dalam masyarakat setempat, seperti kerap disinggung sebelumnya, berbeda
dengan budaya padi sawah. Budaya dan teknik padi sawah hadir di daerah
Lio setelah diperkenalkan oleh Raja Pius Rasi Wangge pada tahun 1920-an
(lihat Sunaryo et. al. 2006). Ada perbedaan sikap dan perilaku dalam
menanam, memelihara, dan menuai padi sawah dibandingkan dengan budidaya
padi ladang. Budidaya padi sawah, selain memang menggunakan sumber daya
air, memanfaatkan varietas padi sawah yang didatangkan dari luar
misalnya pare sego 'padi saigon', penanaman, pemeliharaan, dan
pemanenannya tanpa ritual tertentu kendati sebagian warga petani
pesawah ada juga melakukannya. Sejumlah ritual atau upacara dalam
kehidupan perladangan dan kehidupan manusia pun hanya beras yang
berasal dari padi ladang saja yang diperkenankan untuk disajikan dan
dijadikan sarana ritual. Dengan kata lain, nasi dari beras luar
dianggap tidak sah. Mitologi Padi Ladang Lio-Ende Salah satu karya
sastra suci dalam khazanah sastra Lio, khususnya yang menjadi bagian
tak terpisahkan dalam jiwa dan semangat peladang Lio-Ende adalah mitos
Ine Pare "Dewi Padi" yang berjudul Bobi no'o Nombi, "Bobi dan Nombi".
Bagi komunitas peladang Lio-Ende, pelbagai ritual dalam lingkaran hidup
perladangan tradisional bersandar dan bersumber pada kandungan makna
pesan, amanat suci, dan ideologi di balik cerita suci Ine Pare. Betapa
dalamnya makna ideologi yang terkandung di balik mitos itu pula, nama
sang "penjelma" dan "tumbal" padi asli itu kemudian diabadikan menjadi
nama gedung pertemuan Ine Pare di Jalan El Tari Ende. Kesadaran akan
kekayaan nilai dan kepatuhan melaksanakan amanat ideologi yang
terkandung di balik mitos itu harus diakui masih dimiliki oleh sejumlah
kecil generasi peladang tua, sedangkan generasi muda Lio-Ende dewasa
ini sudah kurang menyadarinya lagi.
Di episode mendatang akan dikupas sinopsis mitos Ine Pare versi "Bobi dan Nombi", yang diturunkan dari Keli Nida atau Keli Ndota.
Oleh, Marlin bato
Sumber Inspirator, Edison Wara
WANES-LISE
Di episode mendatang akan dikupas sinopsis mitos Ine Pare versi "Bobi dan Nombi", yang diturunkan dari Keli Nida atau Keli Ndota.
Oleh, Marlin bato
Sumber Inspirator, Edison Wara
WANES-LISE