Jumat, 12 Maret 2010

Legenda Asal Mula Padi (Bobi, Nombi)

Mosalora Hebesani 04 Maret jam 9:52
Cerita Masyarakat Ende Lio, Flores NTT.

Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya
yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis kesana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung.
Pengkajian atas fenomena ritual perladangan dalam komunitas Etnik Lio-Ende tidak dapat dipisahkan dari mitos tentang keberadaan padi ladang sebagai tanaman utama masyarakat setempat. Mitologi padi tergolong cerita tua dan sastra suci yang menjadi kebanggaan masyarakat Lio-Ende. Kendati tidak banyak lagi yang mampu mengisahkannya kembali secara literer, karena tidak ditulis dan direkam, mitologi padi menjadi objek kajian yang menarik. Dikatakan demikian karena budaya padi ladang dalam masyarakat setempat, seperti kerap disinggung sebelumnya, berbeda dengan budaya padi sawah. Budaya dan teknik padi sawah hadir di daerah Lio setelah diperkenalkan oleh Raja Pius Rasi Wangge pada tahun 1920-an (lihat Sunaryo et. al. 2006). Ada perbedaan sikap dan perilaku dalam menanam, memelihara, dan menuai padi sawah dibandingkan dengan budidaya padi ladang. Budidaya padi sawah, selain memang menggunakan sumber daya air, memanfaatkan varietas padi sawah yang didatangkan dari luar misalnya pare sego 'padi saigon', penanaman, pemeliharaan, dan pemanenannya tanpa ritual tertentu kendati sebagian warga petani pesawah ada juga melakukannya. Sejumlah ritual atau upacara dalam kehidupan perladangan dan kehidupan manusia pun hanya beras yang berasal dari padi ladang saja yang diperkenankan untuk disajikan dan dijadikan sarana ritual. Dengan kata lain, nasi dari beras luar dianggap tidak sah. Mitologi Padi Ladang Lio-Ende Salah satu karya sastra suci dalam khazanah sastra Lio, khususnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam jiwa dan semangat peladang Lio-Ende adalah mitos Ine Pare "Dewi Padi" yang berjudul Bobi no'o Nombi, "Bobi dan Nombi". Bagi komunitas peladang Lio-Ende, pelbagai ritual dalam lingkaran hidup perladangan tradisional bersandar dan bersumber pada kandungan makna pesan, amanat suci, dan ideologi di balik cerita suci Ine Pare. Betapa dalamnya makna ideologi yang terkandung di balik mitos itu pula, nama sang "penjelma" dan "tumbal" padi asli itu kemudian diabadikan menjadi nama gedung pertemuan Ine Pare di Jalan El Tari Ende. Kesadaran akan kekayaan nilai dan kepatuhan melaksanakan amanat ideologi yang terkandung di balik mitos itu harus diakui masih dimiliki oleh sejumlah kecil generasi peladang tua, sedangkan generasi muda Lio-Ende dewasa ini sudah kurang menyadarinya lagi.
Di episode mendatang akan dikupas sinopsis mitos Ine Pare versi "Bobi dan Nombi", yang diturunkan dari Keli Nida atau Keli Ndota.



Oleh, Marlin bato
Sumber Inspirator, Edison Wara
WANES-LISE

MBATA ( PEMUKULAN TAMBUR DAN GONG )

Mosalora Hebesani 22 Februari jam 18:45
Oleh : Mr.Dus.
For Everyone.

Mbata atau Pemukulan Tambur dan Gong di kampung Wolomboro dan wae soke Desa Bamo kec.Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur.Flores.NTT.
Kehidupan orang-orang dikampung ini sangat sederahana dan masih berpegang teguh pada Adat. Sehingga selalu mengadakan pesta Adat setiap tahunnya. Ritual terbesar yang diadakan di kampung wolomboro yaitu acara peringatan kematian Nenek Moyang, dimana seluruh Masyarakat dari kampung; Pandoa, Bamo, Mbero, Sere, Watu nggong, Nanga Rawa, Wolobaga, wae Soke, Wae Kutung dan Wokopau, semua berkumpul dalam satu rumah adat dan masing-masing suku atau kilo /Clan membawah hewan kurban, Tuak/ Arak dan beras.

Pada acara ini mengorbankan hewan yang banyak, dan pada malam hari diadakan "Mbata"Acara pemukulan Tambur dan gong dengan menyanyikan lagu-lagu Traditional sepanjang malam, dengan tujuan memohon restu kepada semua makhluk penjaga tanah agar acara pemotongan hewan dan memberi makanan kepada nenek moyangnya dapat berjalan mulus tanpa ada halangan atau percecokan antar suku.
Semua orang tua atau para toko adat duduk selengka ( Lonto leok dalam bahasa setempat) Maksudnya duduk membentuk lingkaran di atas tikar ( Te'e/ loce = dalam bhs daerah setempat) dan para toko adat masing-masing memegang satu gendang dan yang lainnya memegang Gong.
Sebelum di adakan Pemukulan gendang atau mbata ini, di adakan Pa'u Manuk yaitu pemotongan ayam jantan yang diawali dengan komat-kamit mulut dalam bahasa daerah setempat agar semua sepakat duduk sampai Ayam berkokok dalam arti sampai pertanda pagipun tiba.

Menurut kepercayaan dari kampung ini, pada saat Tambur dan Gong dibunyikan pada malam hari, semua arwah orang yang telah meninggal mendengar, datang dan hadir pada malam itu. Sehingga pada saat pemukulan Tambur memiliki dua irama; Mbata dan Tete ndere.
Mbata irama pukulannya pelan dengan menggunakan telapak tangan di iringi dengan nyanyian yang lambat didalam bahasa daerah oleh wanita dan pria. Lagu-lagu adat/ daerah ini kalau kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia kedengarannya sangat lucu karena susunan kalimatnya tidak beraturan, Singkatnya banyak menceritakan kegiatan-kegiatan dari nenek moyang mereka di sejak dulu kala.

Sedangkan Tetendere irama pukulannya cepat sebagai tanda kebahagiaan tanpa nyanyian dengan menggunakan stick atau kayu khusus yg dibuatnya untuk memukul tambur yaitu pada waktu malam menjelang pagi sebagai penutup dari Mbata. Selesai melakukan tetendere ini tidak boleh lagi melakukan pemukulan mbata, jika ada yg melakukannya harus diadakan pemtongan Ayam jantan atas kekhilafannya tadi. Kadang-kadang bisa mendatangkan malapetaka yang sangat besar bagi keluarganya ini menurut kepercayaan mereka dan hal ini benar-benar terjadi di lingkungan adat tersebut.
Di Kampung ini Tambur dibuat dari Kulit Kambing atau kulit Sapi yang sudah kering. Proses atau cara membuatnya membutuhkan waktu yg cukup lama, bisa 4-5 tahun menuggu kulit sapi atau kambing ini benar-benar kering sehingga menghasilkan tambur /gendang dengan suara yang nyaring di dengar.

Mr.Dus.
Pariwisata Boy.
WANES-LISE

Kelimutu, Danau Para Arwah

Mosalora Hebesani 12 Maret jam 1:52 
Begitu kayanya legenda dan pesona magis Kelimutu, membuat yang orang pernah datang ingin selalu kembali ke sana. Lahirnya mitos tentang nama Kelimutu telah mendunia sejak tiga abad lalu, di masa pendudukan kolonial Belanda di nusantara. Meskipun tak banyak, ada saja orang Belanda dan Eropa yang mengunjungi Kelimutu. Pesona Kelimutu terletak pada tiga danau warna yang menghuni kawah gunung setinggi 1600 m ini. Ketiga danau ini memiliki warna yang berbeda, dan selalu berubah secara berkala. Menurut 'Usmar Baharmin', lelaki yang sudah puluhan tahun bekerja di Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu, di tahun 1960-an, warna itu adalah putih, hijau, dan biru. Ketika di awal 1990-an, warnanya menjadi hitam, hijau terang dan merah kecoklatan. Namun kini sudah menjadi hitam, hijau kebiruan, dan biru kehitaman. Perubahan warna ini diperkirakan terjadi karena perubahan kandungan mineral yang terdapat di dalam danau. Namun dia tak bisa menyebutkan mineral apa saja itu, karena penelitian tentang hal itu masih terbatas. Menurutnya, pernah ada dua orang asing mencoba meneliti air danau dengan menurunkan sebuah perahu ke danau di kedalaman sekitar 50 m. Namun keduanya raib entah kemana. Penjelasan 'Baharmin' mungkin bisa memuaskan keingintahuan wisatawan. Namun tidak bagi penduduk setempat karena bagi penduduk setempat banyak kisah misteri yang menyelimuti kehidupan danau kelimutu. Mereka lalu mencari jawab keajaiban Kelimutu sejak berabad lalu, jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang, dan melahirkan aneka mitos dan legenda yang unik dan menawan. Sebuah legenda yang mereka percayai adalah Kelimutu sebagai danau para arwah. Menurut masyarakat adat Ko’anara penduduk asli yang menghuni desa-desa di kawasan Gunung Kelimutu-ada tiga jenis arwah orang mati. Yaitu arwah mereka yang berbuat kebaikan di dunia, arwah para pendosa dan penjahat, serta arwah anak-anak dan remaja yang masih bisa mendapatkan pengampunan di akhirat. Ketiga jenis arwah ini menempati tiga danau di kawah Kelimutu. Danau hitam dihuni oleh arwah para pendosa, danau hijau untuk arwah anak-anak, dan danau merah untuk arwah orang suci. Sebelum menuju surga atau neraka, arwah ini akan menunggu di ketiga danau. Untuk menguatkan legenda yang ada, penduduk lalu mencari penjelasan logis dengan menghubungkan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam pemikiran Barnabas, pria yang tinggal disekitar lokasi, “Danau putih itu berubah menjadi hitam saat terjadi pemberontakan PKI tahun 1965, karena banyak orang jahat yang dibunuh,” kisahnya. Dia juga menghubungkan perubahan warna danau hijau menjadi merah saat terjadi pembunuhan massa PDI tahun 1996 lalu, ketika banyak orang tak berdosa menjadi korban. Beberapa waktu yang lalu, masyarakat sengaja membuat papan yang bertuliskan;

Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar (Indonesia)
mae medi mai rewo ta menga gambar foto (Lio)
dont take anything axcept picture (Inggris)

Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu (Indonesia)
mae tau mata rewo ta menga nala/hibu (Lio)
dont kill anything axcept time (Inggris)

Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak (Indonesia)
mae welu tau rewo ta menga lae/ola (Lio)
dont leave anything axcept step (Inggris)

Tulisan ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan para wisatawan.

Ko'anara..
Bagi orang-orang Ko’anara, Legenda Kelimutu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Moni dan masyarakat adat Ko’anara sebagai penghuni pertama tanah leluhur ini. Mereka adalah keturunan suku bangsa Lio yang banyak tersebar di Kabupaten Ende. Orang Ko’anara mendiami desa-desa di pucuk gunung seperti Mboti dan Pemo, di sepanjang jalan raya seperti Moni, Wolowaru, hingga ke pedalaman yang jauh di Potu, Woloara, Jopu, Wolojita, dan Nggela. Ada pula yang tinggal di kota, bahkan di luar pulau. Keterikatan pada tanah leluhur membuat mereka selalu kembali tatkala digelar upacara adat. Tentu saja sambil membawa upeti seperti babi, kerbau, dan kuda, yang melambangkan kesetiaan sekaligus keberhasilan mereka hidup di rantau. Konon, orang Ko’anara adalah keturunan jin dalam bahasa Lio disebut 'Ine leke', karena nenek moyangnya menikah dengan putri dari bangsa jin (ine leke). Mereka kemudian disebut 'ine ema' (ibu bapak), atau embu mamo (nenek moyang) dan menurunkan orang-orang Moni. Itu sebabnya penduduk Kelimutu percaya memiliki kekuatan spiritual yang besar, sehingga berbagai upacara adat yang digelar penuh dengan nilai magis. Embu Mamo (nenek moyang) tinggal di sa'o ria, rumah adat yang terbuat dari kayu. Kini situs rumah adat ini masih bisa kita saksikan di Desa Moni, yang menjadi pusat kebudayaan Ko’anara. Di sa'o ria (rumah adat) tinggal beberapa keluarga tetua adat (mosalaki). Para tetua adat pun sering berkumpul di sini. Namun mereka juga kerap menggunakan (h)keda (h)kanga (halaman rumah adat) yang berada di depan rumah adat, untuk bermusyawarah. Misalnya, saat akan menggelar upacara adat. Makam leluhur orang Ko’anara juga terdapat di kompleks situs. Jalan menuju makam berupa batu-batuan yang ditata mirip anak tangga, dan melambangkan tingkatan masyarakat Ko’anara di masa lalu. Batu pertama melambangkan pintu gerbang pertama. Sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur, pengunjung biasanya meletakkan sesaji berupa rokok di sini. Batu terakhir merupakan jalan menuju pimpinan tertinggi Ko’anara, sang leluhur. Kini, keturunannya menghuni kuburan umum jika meninggal. Namun beberapa keluarga tetua adat (mosalaki) masih ada yang mengawetkan tulang-belulang kepala keluarganya jika meninggal. Tulang belulang ini disimpan di sebuah peti yang tertutup, lalu diletakkan di rumah kecil (bhaku) yang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang nenek moyang yang sudah meninggal, bersama barang-barang berharga seperti gading gajah, emas, perhiasan, atau pakaian. Namun raibnya beberapa barang berharga dan sepasang tulang lelaki-perempuan berumur ratusan tahun, membuat kebiasaan ini mulai ditinggalkan.

Tarian ritual minta hujan..
Mayoritas orang Ko’anara hidup dari bertani. Tanah di kaki gunung Kelimutu amat subur. Tak hanya menumbuhkan padi, ubi, dan jagung, tapi juga coklat, cengkeh, moke dan lain - lain. Sayangnya hal ini tak mampu mengangkat ekonomi penduduk setempat. Kemiskinan merajalela akibat angka kelahiran yang tak terkendali dan lain sebagainya. Kucuran dana bantuan dari swasta dan pemerintah kerap disunat aparat pemerintahan setempat. Air sebagai sumber kehidupan yang melimpah pun sulit didapat, karena pengelolaannya tak efisien. Maka, hujan menjadi satu-satunya harapan mereka. Meskipun puluhan ribu turis datang setiap tahun terhipnotis oleh keindahan Gunung Kelimutu, namun berkah pariwisata ini hanya bisa dinikmati pemilik losmen, restoran, dan pemodal saja. Mayoritas penduduk cuma menjadi penonton sambil sesekali menawarkan kopi atau teh panas. Mungkin itu yang membuat mereka begitu antusias setiap kali digelar upacara adat. Mereka berharap arwah nenek moyang akan membantu mereka. Mayoritas pemeluk agama Katolik ini memang memiliki ikatan yang kuat dengan arwah leluhur. Salah satu upacara adat yang penting adalah upacara memohon hujan (po'o are/po'o bhoro). Tatkala kemarau amat panjang, bencana kelaparan pun siap mengancam. Lumbung padi desa tak selalu bisa diharapkan. Maka para tetua adat segera berkumpul di rumah adat (sao' ria) untuk menentukan waktu upacara. Bambu berisi beras dan dilumuri darah babi segera dibakar di dalam tungku. Jika bambu meledak dan meninggalkan serpihan yang rapi, maka upacara segera digelar. Jika tidak, pembakaran bambu akan diulang lagi. Ketika upacara dimulai, kepala adat akan mengisi saga, tugu persembahan dengan sesaji berupa bunga tembakau, dan dupa. Begitu dupa terbakar, kepala adat membaca mantra diikuti oleh pemukulan 'dhou dha', alat musik dari kayu. Lalu para gadis segera menari, menantang teriknya mentari di siang bolong. Tarian berhenti ketika hujan mulai turun. Konon, tarian hujan inilah yang membuat tanah Kelimutu tetap subur, dan para arwah kerasan bersemayam di tiga danaunya, karena airnya tak pernah kering.
Saved