Kamis, 22 April 2010

JEJAK - JEJAK KERAJAAN LIO


Rumah Adat.

Proses pengangkatan figur Pius Rasi Wangge menjadi Raja Lio secara keseluruhan  yang wilayah otoritasnya mencakup Nanga Blo (sebagian wilayah administrasi                        Kab. Sikka/Maumere) sampai Nanga Mboa di ujung Barat Kab Ende Flores NTT, terjadi secara aklamasi (Acclamation).
Pada sekitar tahun 1909-1910 pemerintahan Hindia Belanda memasuki wilayah Lio   dan menetap dikitaran wilayah Wolowaru. Pius Rasi Wangge, adalah sosok yang biasa            dan sederhana layaknya lelaki lainya yang ketika itu   tinggal bersama kakaknya  Mari Wangge dan Bhoka Logho   di wilayah Lise Nggonderia yang sekarang menjadi  desa Watuneso kecamatan Lio Timur Kab. Ende Flores NTT.     Pius Rasi Wangge hadir  ditengah keluarga adalah seorang lelaki dari garis keturunan bangsawan didesa Wolo Lele A   (Kec. Lio Timur) yaitu Keluarga Besar Ndori Wangge (Riabewa) yang merupahkan   pertaliah darah yang erat dengan Mari Wangge (Keluarga besar Mosalaki  Hebesani Watuneso). 
Pada sekitar tahun 1910, Pius Rasi Wangge di sekolahkan oleh Bhoka Logho di Sekolah   Rakyat (SR) setingkat   Sekolah Dasar (SD), jaman Belanda di distrik Lela.        Ketika itu    pemerintahan kolonial Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan khususnya       laki-laki untuk mendapatkan pendidikan di Sekolah      Rakyat (SR) tersebut. Kendati    demikian  usaha Bhoka Logho untuk menyekolahkan adiknya Pius Rasi Wangge sempat  terjadi penolakan oleh Tua Skebe yang           menyeleksi siswa baru karena faktor usia Pius Rasi         Wangge yang sudah mencapai sekitar 30 tahun.           Namun Bhoka Logho tidak kehilangan akal, sehingga           Bhoka Logho menyarankan adiknya supaya memanipulasi umur dan rambut serta    kumis tebalnya dicukur hingga botak agar terlihat lebih mudah belia untuk mengecoh    perhatian Tua Skebe . Beberapa hari kemudian,                Bhoka Logho dan adiknya Pius Rasi   Wangge   berangkat   lagi ke Distrik Lela. Sesampainya disana Bhoka Logho membuat   pengakuan kepada 'Tua Skebe' bahwa yang     akan didaftarkan itu adalah kembaran dari Pius Sendiri. ("Dengan sebuah ungkapan" Tua, Ina Aji kai,                     eo mere mai Ka'e kai !! Artinya;     Pater/Bapa, ini  adiknya yang kemarin Kakaknya. Cara itu terbukti ampuh mengecoh Tua    Skebe, sehingga akhirnya diterima untuk   di sekolahkan di Lela.
Kemudian sekitar tahun 1914, pemerintahan Hindia  Belanda mempertimbangkan eksistensi    administratif pemerintahan yang mempermudah sistem kerja agar bisa dikontrol dengan    menerapkan konsep pemerintahan       ala kerajaan Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wihelmina (Wihelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau; Lahir 31 agustus 1880 dan  mangkat 28 November 1962). Puteri Orange Nassau adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948  dan Ibu Suri dengan sebutan Puteri sejak    tahun 1948-1962. Terkait rencana besar ini,  pemerintahan Hindia Belanda mengundang para Mosalaki Lise Tana       Telu Kunu Lima dari   Enam ( 6 ) aliran mendatangi Wolowaru, central koordinasi kolonial untuk wilayah Lio. Perhelatan  pemilihan Raja Lio dilakukan ditempat ini. Seluruh Mosalaki atau perwakilan   atas nama Mosalaki datang ke Wolowaru. Sedangkan Laki Koe Kolu Hebesani  Lise Nggonderia   Mari Wangge hanya diwakili adiknya seorang tokoh bernama Bhoka Logho. 
Pada tahapan  pemilihan dimulai, Tua Skebe sebagai negosiator dari pemerintah Belanda   bertanya kepada   para Mosalaki atau perwakilan Mosalaki yang hadir saat    itu dengan kalimat   dalam bahasa Lio: (Laki Tana Unggu, Kau fonga Raja leka sai? "Laki Tana Unggu penu    so", Aku fonga, Raja leka du'a neku). Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia    kira-kira seperti ini           ucapannya; "Pemangkuh adat tertinggi (klan) tanah    'Unggu', Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi    Raja ? Laki Tana Unggu menjawab; Kehendak saya, Raja  ada pada saya sendiri. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada "Laki Tana Kune Watu Mara  (Kunemara), Laki Tana Nggoro dan seterusnya sampai kepada 'Laki' yang ke 5  dijawab dengan jawaban yang   sama juga. Dan akhirnya, pertanyaan yang sama juga    diajukan  oleh Tua Skebe kepada Bhoka Logho, aji ana (Kerabat dekat) sebagai delegasi  Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Karena merasa sudah mengenal, Tua Skebe    langsung menyapa nama Bhoka Logho.("Boka" !! kau fonga Raja leka sai ?) Artinya;    Bhoka !! Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi raja ? Dengan sedikit terdiam untuk     sebuah pertimbangan, lalu Bhoka Logho menjawab; "Tua, Raja dau leka ata eo    sekolah, no'o    eo tuli mbe'o soli basa mbe'o sura ". Artinya;  Pater/Bapa!! Seorang Raja itu harus orang yang berpendidikan (sekolah) dan dapat menulis serta    membaca surat.    Beberepa saat kemudian, Tua Skebe bertanya kembali kepada Bhoka Logho dengan      pertanyaan yang sama. Akhirnya Bhoka Logho menjawab untuk kedua kalinya; Tua, Aku    fonga Raja leka aji       aku Pius Rasi Wangge eo nebu ina aku pati sekola gheta Lela ( SR    ) Kira-kira diterjemahkan seperti ini; Pater/Bapa, Menurut kehendak saya, 'Raja' ada    pada    adik saya Pius Rasi Wangge yang saat ini saya sekolahkan     di Sekolah Rakyat ( SR )    'Lela' (Di Kab. Sikka). Setelah pendapat logis ini, Tua Skebe melontarkan kembali kepada    semua Mosalaki/Delegasi yang hadir ditempat itu.. (Ngere Emba ? gha Bhoka nosi, raja    leka aji kai ngai eo tuli no'o basa mbe'o sura).  artinya; Bagaimana ? Bhoka    mengusulkan,    Raja ada pada adiknya karena    bisa menulis dan membaca surat. Setelah    mendengar pandangan yang logis itu, akhirnya seluruh Mosalaki/Delegasi yang hadir disitu    menjawab; Molo dowa, ngai kai gare do ngere gharu, kami di sama bu ngere kai    gharu    Artinya; Baiklah, Karena Dia sudah mengemukakan pendapat seperti itu, kami pun sama  seperti Dia. Pada akhirnya, semua sepakat dan pemerintahan Kolonial lalu menjadikan keputusan Bhoka Logho itu, sebagai bahan pertimbangan dan acuan keputusan    serta penetapan final nama Pius Rasi Wangge seraya meminta Bhoka Logho agar secepatnya menjemput adiknya Pius Rasi Wangge dari (SR) Sekolah Rakyat Lela    Maumere    yang sedang duduk di bangku kelas 4 ( empat ) karena pada waktu itu Pius Rasi   Wangge dibesarkan   didesa Watuneso oleh Mari Wangge, Bhoka Logho atau ditengah    keluarga Mosalaki Hebesani Lise Nggonderia. 
Di    (sao ria tenda bewa)   rumah    adat    WoloLele B (Kec. Wolowaru), pemerintahan Hindia    Belanda mempersiapkan acara pengukuhan (Inauguration).      Dengan disaksikan oleh para    Mosalaki dan Delegasi masyarakat adat "Lise Tana Telu Kunu Lima" akhirnya     Raja Lio    dikukuhkan (Inauguration) secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun   1914    sekaligus memberikan legitimasi kekuasaan administratif dibawah pemerintahan   kerajaan sehingga kekuasaan    Raja Lio Pius Rasi Wangge hanya dalam batasan kekuasaan atas wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda saja. Sistem Pemerintahan   Kerajaan Lio ini sangat sebanding dengan sitem pemerintahan Hindia Belanda    yang pada waktu itu bahkan hingga kini menganut "Monarki Konstitusional", yang mana kekuasaan raja    bersifat terbatas dan secara simbolik saja karena ada peran lain yang mengatur wilayah  kedaulatan dan kekuasaan Raja. Raja Lio, Pius Rasi Wangge oleh Belanda diberih    wewenang    untuk mengatur wilayah administratif dari Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai    Nanga  Mboa ujung barat Kab. Ende dengan tugas yang teramat berat yaitu menahklukan    serta menyatukan seluruh Mosalaki - mosalaki yang mendiami wilayah itu karena pada   masa    itu masih sangat rentan dan sesekali timbul konflik horisontal yang berkepanjangan    antara penguasa-penguasa tanah ulayat setempat. Selain itu Raja Pius Rasi Wangge juga    ditugaskan menarik upeti (Pajak) untuk pemerintah Belanda. Raja Lio ini berkuasa sejak tahun  1914 hingga 1947. Kemudian beliau di beritakan wafat       di Kupang, ditembak mati oleh  tentara Belanda karena berkolaborasi dengan pemerintah Jepang. Sementara itu  dari    versi sejarah yang berbeda, Raja Pius Rasi Wangge diberitakan diculik oleh tentara    Nipon ke Jepang dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. 
Beberapa waktu yang lalu juga, ada berita mengenai kemunculan sosok "Sugishima Takashi" yang mengklaim  diri sebagai keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge dan    melakukan penelitian di Wololele A sebagai garis keturunan langsung dari Raja Pius Rasi  Wangge. Kendati demikian, pengklaiman tersebut tentu harus dibuktikan secara medis  melalui 'tes DNA' agar tidak terjadi kesimpangsiuran dikemudian hari. 
Catatan; Masih banyak misteri tentang Kerajaan Lio yang harus diungkap agar masyarakat   Lio, Nasional bahkan Internasional layak tahu yang sesungguhnya. Hal-hal yang masih misteri    itu antara lain,
Seperti;
1. Benda - benda peninggalan Raja Pius Rasi Wangge.
2. Keberadaan Jasad (Makam) Beliau.
3. Surat Keputusan Pengangkatan Raja Lio oleh pemerintahan Belanda (Arsip Museum  Nasional Belanda).
4. Jejak-jejak (Ideologis) masa pemerintahan Raja Lio.
Beberapa waktu lalu, penulis pernah membaca di sebuah domain mengenai batas  kedaulatan    antara Raja Lio     dan Raja Sikka. Seperti tertulis diatas, Kerajaan Lio (Pius    Rasi Wangge)  disebutkan berkuasa dalam batas wilayah yaitu  dari  Nanga  Blo   sampai   Nanga  Mboa sementara penulis menemukan tulisan yang menyebutkan Raja Sikka (Don    Thomas) berkuasa pada wilayah Kekuasaannya    yang meliputi wilayah Larantuka sampai  Mole  Kelisamba (sekarang wilayah Lio) hingga ke Wilayah Manggarai.     Akan tetapi jika    dicermati dari historia sejarah dan fakta sejarah yang masih terlihat hingga kini, penulis   bertanya-tanya;
1. Mengapa Orang Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa hingga kini menggunakan  Bahasa Lio ?
2. Mengapa, pola berpakaian, tata cara bahkan struktur adat orang Nanga Blo mencerminkan      adat Lio ?
Mungkin ini tugas bersama yang cukup rumit untuk   menggali lebih mendalam tentang   sejarah-sejarah yang diukir oleh para pendahulu yang sudah tiada.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan atau menyinggung perasaan siapa pun yang membacanya melainkan hanya semata-mata sebagai dasar pengetahuan bersama dan   menjadi bahan acuan untuk menyingkap  fakta sejarah yang belum terkuak agar lebih  sinkron  antara yang satu dengan yang lainnya. Ingat !! Bung Karno pernah berkata;  Jangan   Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH).


Sekian !!
Oleh; Marlin Bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Lisan; Keluarga Besar Mosalaki Hebesani Watuneso
Jhony Logho-Mosalaki
Paulus Logho Gatu-Kerabat
Wenslaus Tani-Kerabat
Kornelis Wiriyawan Gatu. S.Sos-Kerabat

Rabu, 14 April 2010

"KHAZANA KERAJINAN TANGAN WANITA ENDE LIO"



Selain hasil karya tenun, masyarakat Ende Lio pada umumnya gemar membuat anyaman dari bambu, daun lontar ataupun dari rotan. Ini adalah satu - satunya kerajinan tangan para wanita Ende Lio. Asal muasal kerajinan Anyaman adalah milik masyarakat melayu yang masih sangat di kagumi dan di gemari hingga saat ini. Konon, kemunculan kebiasaan ini di tanah Ende Lio adalah warisan secara turun temurun oleh nenek moyang bangsa melayu beberapa abad silam semenjak bangsa melayu menjejahkan kaki di pulau Flores. Ada beberapa macam jenis hasil anyaman yang tidak pernah musnah hingga kini misalnya;

1. Benga/Bote. Dalam bahasa Indonesia disebut 'Bakul', Adalah anyaman ini terbuat dari batang bambu yang sudah di potong, dibelah dan di iris sesuai ukurannya kemudian dianyam sedemikian rupah hingga membentuk sebuah bakul. Secara teknis, bakul bisa dibuat baik dalam ukuran yang besar ataupun kecil sesuai keinginan pembuatnya. Manfaat dari bakul ini adalah bisa mengisi/menyimpan benda - benda apa saja, seperti hasil komoditi dan lain sebagainya. Selain itu, dalam tradisi adat seperti 'Wuru Mana' (partisipasi dan sumbangsi untuk keluarga besar), bakul juga kerap digunahkan sebagai tempat menyimpan gabah atau beras untuk diantarkan kepada penyelenggara acara misalnya perkawinan, kematian dan sebagainya. Salah satu keunikan yang tidak akan pernah bisa ditiruh oleh masyarakat manapun didunia adalah mana kala Para wanita Ende Lio menjunjung bakul dikepalanya meskipun tidak dipegang, bakul itu seolah tidak mau beringsut dan tidak terjatuh dari kepala para wanita Ende Lio yang sedang menjunjungnya. Suatu keunikan yang tidak terduga oleh siapapun, memang hal ini terkesan enteng namun jika belum biasa, siapapun tidak akan bisa meniruhnya.


2. Kidhe - Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya Nyiru. Alat ini juga terbuat dari Bambu yang dianyam dan bermanfaat untuk menampi/menyaring beras supaya bisa dimasak. Kidhe juga sering dijumpai di daerah lainnya seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali dan lain - lain. Meski demikian, tentunya semua memiliki bentuk dan kualitas yang sedikit berbeda tergantung pembuatannya. Beberapa dekade terakhir, alat ini sudah berkembang dan dimodifikasi serta dibuat dengan plastik.


3. Nggobhe - Dalam bahasa Indonesia disebut 'Topi'. Biasanya dibuat dari daun lontar yang sudah dikeringkan. Masyarakat Ende Lio kerap memanfaatkan topi untuk melindungi kepala dari terik matahari. Model Topi yang dibuat bersayap lebar adalah contoh yang dibawahkan bangsa Portugis di tanah Flores. Pada mulanya, jenis topi yang bersayap lebar ini adalah terbuat dari kulit binatang oleh para Koboi Amerika Latin beberapa abad yang lalu, hingga akhirnya dibuat dari daun Lontar oleh wanita Ende Lio sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Dalam kurun waktu beberapa dekade belakangan ini, Topi menjadi Icon dan Trend pergaulan anak muda masa kini dengan model yang sangat variatif.


4. Te'e atau 'Tikar'. Ini adalah anyaman yang terbuat dari "Re'a"atau semacam Daun Rami yang biasa tumbuh di pinggiran kali. Tentu tikar bermanfaat untuk alas tidur didalam rumah ataupun diluar rumah. Tikar dibuat sangat bervariasi karena dapat juga diwarnai menggunakan pewarna pakaian. Sama seperti 'Bakul', Tikar juga dibawah oleh bangsa Melayu ketanah Flores beberapa abad silam.


Selain benda - benda kerajinan tangan yang disebutkan diatas, beberapa tahun terakhir ini para Wanita Ende Lio juga sudah mengembangkan hasil karyanya seperti; Dompet, Tas dan Souvenir - souvenir lainnya untuk dijual. Hanya saja semua itu masih terkendala masalah kekurangan dana untuk bisa bersaing dikanca Nasional maupun Internasional. Jika saja pemerintah setempat dapat melihat dan melirik peluang ini, bukan tidak mungkin, ini bisa menjadi andalan untuk menunjang Danau kelimutu sebagai Icon Wisata Dunia.


Sekian,

Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)

Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Imprivisator & Inspirator

GLOSARIUM ADAT LIO (FLORES NTT)


Anahalo/anakalo:
Secara harfia berarti Yatim piatu; Ungkapan lengkapnya adalah Faiwalu-anahalo yang diartikan sebagai bawahan atau orang banyak. Stratifikasi hirarkis masyarakat Lio mulai dari yang tertinggi adalah; Atalaki/Mosalaki, Riabewa, Faiwalu-anahalo (ana riwu) - ata ho'o (para hamba/budak).

Atalaki/Mosalaki
Pemimpin adat: Sosial, politik dan religius, yang terdiri dari seorang pemimpin utama dan dibantu oleh pemimpin lainnya. Bersama Riabewa mereka bertugas mengurus perkara sosial. Mereka bekerja secara kolegial dan komplementaris. Misalnya; Tanpa kehadiran Atalaki yang lain, seorang atalaki tidak mempunyai hak untuk memutuskan perkara. Jabatan atalaki diwariskan turun temurun; ada juga kemungkinan, bahwa kalau si ahli waris dianggap tidak mampu maka dipilih seorang anggota keluarga yang dianggap cocok. Untuk jabatan yang sama sering juga dikenal Mosalaki, dan biasa juga muncul dalam nama paralel Laki Ongga.Laki tana, Watu Ongga, yang artinya pemilik tanah.

Riabewa
Pemimpin adat yang bersama dengan mosalaki menyelesaikan perkara ataupun persoalan sosial lainnya. Riabewa juga bertugas sebagai panglima yang memaklumatkan dan memimpin perang. Dalam ungkapan-ungkapan sara Lio sering pula muncul kalimat "Ria tau talu rapa sambu no'o ata mangu lau, bewa tau tewa rapa rega no'o ata laja ghawa". yang berarti Riabewa berperan sebagai juru bicara dengan orang yang datang dari luar. Di sisi lain, muncul pula ungkapan seperti; Ria gha nia tei sawe, bewa gha iju mbe'o mbeja, artinya semua riabewa sudah berkumpul.

Atanipi
Juru mimpi; Orang yang mimpi serta interprestasinya diyakini kebenarannya oleh komunitasnya. Misalnya; Sebelum membangun rumah, masyarakat adat memintahnya untuk tidur dilokasi yang akan digunakan dengan maksud agar mendapatkan petunjuk ilahi atau petunjuk dari roh-roh para leluhur. Dilain pihak, orang-orang sakit juga datang meminta bantuannya.

Bhaku
Peti tempat penyimpanan tulang-belulang orang mati, atau juga rumah kecil berukuran sekitar 2x2 meter dimana peti tersebut disimpan. Biasanya rumah kecil itu didirikan di dekat Heda. Pemilik Bhaku biasanya orang-orang kaya dan terkenal dalam masyarakat.

Dalo/pasodalo
Balok penahan balai-balai. Balok penahan tersebut mempunyai nama masing-masing, seperti;
1. Dalo one - balok penahan balai-balai rumah.
2. Dalo te'nda: balok penahan balai-balai
3. Dalo lena: balok penahan semacam loteng tempat penyimpanan barang berharga.
4. Pasodalo: adalah bagian dari balok penyanggah tersebut yang mencuat keluar.
Di beberapa tempat bagian tersebut, sering kali dipahat dan diukir. Ada juga yang meletakan pelupu dan dijadikan tempat duduk atau tempat tidur.

Heda/keda
Kuil tempat tinggal roh-roh. Heda biasanya didirikan didekat Hanga/kanga. Didalam heda tersebut biasanya disimpan Anadeo, yaitu pasangan patung berukuran kecil yang merupakan personifikasi dari bapak dan ibu asal suku dibawah kepemimpinan seorang Mosalaki. Patung tersebut biasanya telanjang dan hanya bagian genitalnya yang ditutup dengan kain. Pada jaman dahulu bagian genital itu tidak ditutup karena membahasakan kesuburan dan kemakmuran. Heda adalah simbol lelaki-tidak ada hasil dan kelahiran di heda. Simbol wanita adalah rumah adat; disana ada kesuburan dan kelahiran. Biasanya, pada salah satu dinding atau pintu rumah adat dipahat pasangan buah dada wanita yang mengungkapkan kesuburan rumah adat tersebut. Dirumah adat juga disimpan emas yang biasanya bermotif vulva (bagian luar sistem reproduksi wanita yang meliputi; labia, lubang vagina, lubang uretra dan klistoris) yang jelas mempunyai hubungan metaforis dengan wanita.

Hanga/kanga
Pelataran suci ditengah kampung tempat berlangsungnya upacara adat dan berbagai aktifitas sosial lainnya. biasanya orang-orang besar dan terhormat dikuburkan di dekat atau di dinding hanga/kanga.

Jo/Fi'i jo
Perahu besar. Fi'i jo bisa berarti sebuah perahu. Ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat adat Lio adalah sai Du'a nggoro no'o fi'i jo, sai Ngga'e wa'u no'o mangu au yang berarti sejak Du'a Ngga'e (Sang Pencipta) atau leluhur datang dengan perahu, dan turun melewati tiang mangu. Ungkapan itu bisa juga berarti; Sejak awal mula.

Ju/Ju-angi/Nu-angi
Secara harfia berarti angin atau juga awan. Awan atau angin yang dipersonifikasikan dan ditakuti sebagai pembawa wabah penyakit dan kematian atau roh-roh jahat. Ungkapan yang kerap juga muncul dalam masyarakat adalah Ju-seka yang berarti kutukan atas nama roh jahat. Kalimat Ju-seka juga kadang di artikan permohonan dengan rincian definisi sebagai berikut; Semoga Roh jahat menusukmu Hingga mati !!

Kanda wari/T'enda teo'
Tempat persembahan yang terbuat dari papan ataupun bambu yang digantung dari atap di tengah-tengah rumah. Di atas tempat ini biasanya diletakan satu atau beberapa batu ceper sebagai tempat untuk menyajikan persembahan.

Keba' Ndera'
Tali pikulan; Tali yang menghubungkan beban-beban yang ada di bagian punggung dan dibelitkan atau ditahan pada dahi orang yang memikul beban tersebut. Tali tersebut biasanya terbuat dari bahan yang kuat tapi lembut, seperti boro (sejenis lontar) dan lain sebagainya.

Keba' rate'/rate' keba'
Kubur atau pekuburan; dahulu kala, mayat biasanya dibungkus dengan tikar dan dikuburkan dengan posisi duduk. Hal-hal yang berkaitan dengan kubur dan orang-orang mati umumnya sangat dihormati dan ditakuti. Kubur biasanya terletak tidak jauh dari rumah. Hal ini memperlihatkan kesatuan roh-roh orang mati dan perlindungan dari mereka, dan batas antara hidup dan sesungguhnya tidak terlalu jelas. Sehingga muncul ungkapan dalam bahasa masyarakat Lio yaitu; 'Nggoi keba, Ngaki rate'. yang berarti bahwa tugas dari orang hidup/ahli waris adalah menjaga dan membersihkan kubur leluhur.

Kogo laba
Balok yang dipasang mengarah ketiang mangu (tiang utama penyanggah atap rumah). Salah satu tempat untuk menyajikan persembahan bagi Wujud Tertinggi atau roh-roh yang lain.

Leke'/Ineleke'
Pontianak, roh jahat; biasanya diyakini leke/ineleke muncul dalam rupa seorang wanita muda dan cantik yang punggungnya berlubang. Leke/ineleke biasanya mengganggu ibu-ibu hamil, menggoda lelaki, dan menculik anak-anak. Leke/ineleke biasanya muncul pada siang hari.

Leke'/leke' pera'
Tiang penopang rumah; Tiang penopang rumah adat Lio mempunyai namanya masing-masing. Leke' one, leke ria adalah tiang-tiang besar yang dipasang pada bagian sudut rumah. Leke' pera' adalah tiang yang paling penting secara religius karena merupakan tempat turun naiknya roh-roh ataupun Wujut Tertinggi. Tiang tersebut terletak di sebelah kanan rumah adat.

Limabua
Secara harfia berarti tangan berbulu. Limabua adalah roh bumi atau disebut dalam bahasa Lio "tana watu" yang kadang dapat dilihat secara langsung oleh orang-orang tertentu dan pada saat-saat tertentu. Limabua atau tana watu dapat diidentikan dengan Ngga'e dewa.

Mangu/mangu au/pu'u mangu
Tiang utama penyanggahatap rumah. Tempat untuk meletakan bahan-bahan persembahan,  tempat turun naiknya Wujud Tertinggi. Mangu au, Pu'u mangu, mangu bewa adalah nama-nama tiang mangu. Mangu juga berarti tiang layar perahu.

Mase/musumase/tubu/tubumusu/lodo nda
Batu lonjong yang mempunyai ukurang tinggi lebih dari satu meter yang ditanam tegak ditengah-tengah hanga/kanga (halaman rumah adat). Heda, hanga dan mase merupakan satu kesatuan yang menjadi pusat kehidupan suatu kampung. Lodo nda adalah batu ceper kecil yang dipasang didepan musumase. Lodo nda adalah simbol wanita dan berpasangan dengan tubumusu (phallus) yang merupakan simbol laki-laki.

Mataria
Mata besar; adalah roh-roh jahat yang sejenis dengan suanggi besar penjaga wilayah adat atau juga sering diartikan atapolo.

Polo/atapolo
Roh jahat; Bisa juga berarti pria atau wanita dewasa yang dituduh sebagai pengisap darah dan pemakan mayat manusia. Polo ko, adalah tarian dan nyanyian sesudah kemenangan perang yang diiringi dengan gong dan gendang.

Nitu/nitu pa'i
Roh-roh, roh-roh alam bisa juga disebut Nitu pa'i. Nitu umumnya bertempat tinggal dirumah, air, batu besar,  pohon besar dan lain sebagainya. Nitu lowo adalah roh-roh yang tinggal dikali. Nitu pu'u kaju adalah roh-roh yang tinggal dipohon besar. Nitu watu adalah roh-roh yang tinggal dibatu besar. Nitu pa'i diyakini sebagai roh-roh pelindung keluarga yang tinggal disudut kanan ruangan belakang rumah adat. Selain itu, ada pula Nitu pa'i yang dianggap jahat oleh sebagian masyarakat. Dilain pihak, Nitu sebagaimana dibeberapa tempat di wilayah Lio adalah sejenis binatang serangga yang sering dijumpai dan hidup pada sumber mata air yang dianggap sakral oleh masyarakat. Sehingga jika salah satu masyarakat menjumpainya, sering di umpat dengan kalimat yang agak kotor, 'maaf' misalnya; "Nitu mera hoa, aku tei dowa, ndanda ke seliwu mboko rua", artinya Nitu yang sedang telanjang, saya sudah melihatnya, kelaminnya berjumlah enam buah. Ungkapan ini dimaksudkan semacam Tolak bala (keselamatan) supaya orang yang melihatnya terhindar dari bahaya-bahaya mistis yang diyakini oleh masyarakat setempat.

Saga/saga au
Tiang tempat meletakan persembahan bagi Wujud Tertinggi atau roh-roh. Ujung atas tiang tersebut biasanya dipahat membentuk perahu atau kepala kuda. Di atasnya di tempatkan sebuah batu ceper tempat meletakan persembahan. Saga au adalah tiang yang terbuat dari bambu.

Soku/soku ria/soku lo'o
Belahan bambu yang dipasang melengkung dari puncak atap rumah sampai kedinding. Belahan bambu itu membentuk lengkungan atap rumah. Di beberapa tempat nama tersebut hanya digunakan untuk belahan bambu yang dipasang pada empat sudut atap. Soku ria adalah belahan bambu yang berukuran besar. Sedangkan soku lo'o adalah belahan bambu yang berukuran kecil.

So bhoka au/so au
Divinasi dengan potongan bambu yang dimasukan kedalam api, kemudian diputar, dan ata mbe'o (dukun) memaknai arti pecahannya.

Tadho waja/ladho waja
Tempat duduk di dekat tungku api. Cuatan kayu penyanggah tungku api dirumah adat yang kadang kala dipahat pelengkung dan diukir dengan motif-motif tertentu.

Watu
Batu. Watu wisu lulu adalah batu persembahan yang diletakan disudut kanan rumah adat, juga adalah nama roh-roh pelindung keluarga yang tinggal disitu. Watu tana atau tana watu adalah roh penguasa bumi.

Wewa
Hampir sama artinya dengan sa'o yaitu; rumah; kesatuan unit sosial yang berpusat pada rumah. Ungkapan yang muncul dalam masyarakat adalah 'We'e nia ma'e mila, wewa ma'e penga' yang berarti; Semoga garis keturunan patrilineal tak terputus. Selain itu wewa  juga dapat di artikan secara harfia yaitu; Halaman depan rumah.

Wisu lulu
Sudut kanan bilik belakang rumah adat; tempat yang paling suci dan paling sakral dalam rumah-rumah adat Lio. Ditempat ini biasa diletakan sajian bagi roh-roh dan arwah para leluhur.

Wulaleja
Kekuatan rohani tertinggi yang kadang-kadang diartikan sama dengan Du'a Ngga'e. Wulaleja adalah tempat tinggal Du'a Ngga'e yang paling tinggi dan bersifat semesta dalam jagat raya.

Sekian !!!


Penulis; Marlin Bato
Sumber; Alm. Paul Arndt. SVD Lahir Jerman 10 Januari 1886 dan
Wafat Todabelu Flores NTT - 20 November 1962