Minggu, 23 Mei 2010

RUTE MENUJU KELIMUTU

 Obyek wisata Kelimutu sangat mudah di jangkau. Ada 4 alternatif rute perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dapat dilakukan, baik dengan menggunakan transportasi darat, air , maupun udara. Bagi pengunjung yang ingin melakukan perjalanan ke Taman Nasional Kelimutu dapat menikmati keindahan alam yang eksotik sekitar pukul 04.00 pagi, seni budaya dan kehidupan sosial desa tradisional di sekitarnya seperti Woloara, Jopu, Ranggase, Wiwipemo, Tenda, Nuamulu dan Nggela.
• Rute 1
Tiba di Bandara H. Aroeboesman atau Pelabuhan IPPI Ende, wisatawan dapat memperoleh informasi tentang objek-objek wisata Kota Ende dan sekitarnya di Pusat Informasi Wisata Jl. Soekarno No. 4 Ende. Kemudian anda dapat menikmati suguhan makanan dan minuman di restoran-restoran di kota Ende seperti RM. Pondok Bambu, Warung Bangkalan dll. Setelah mengunjungi objek wisata di Ende, anda dapat melanjutkan perjalanan menuju Kelimutu yang berjarak 53 Km dari Kota Ende dengan mengunakan transportasi umum, mobil/sepeda motor. Dalam perjalanan ke Kelimutu ada banyak objek dan atraksi wisata alam yang dapat di lihat seperti Gua-gua Jepang di Roworeke di Km.7, air terjun, jurang, lembah dan hutan kemiri sepanjang pegunungan. Anda juga dapat menikmati Watugamba (batu bertulis) di Km 17 dan berhenti sejenak untuk melihat belut raksasa di desa tradisional Wolotolo.
Selanjutnya diteruskan dengan menikmati pemandangan alam yaitu sawah berundak di Dile, dan melihat batu berbentuk perahu (Waturajo) dan kuburan tradisional seperti Saga, Puutuga, dan Sokoria. Kembali ke rute Ende-Kelimutu dengan melewati desa tradisional Detubapa yang terkenal dengan kebun contoh (agro wisata) di KM 29, kebun sayur, cengkeh dan sawah berundak sepanjang perjalanan sebelum dan sesudah Detusoko. Di Detusoko dapat menikmati sumber air panas Koka, mengunjungi Gua Maria, desa tradisional dan gereja tua dan menginap di Wisma St. Fransiskus. Dalam perjalanan ke Nduaria anda dapat mengunjungi desa tradisional Wologai, melihat Mumi di Desa Nuaone dan membeli sayuran dan buah-buahan lokal di Pasar Tradisional serta menikmati keindahan alam di Desa Nuamuri dan air terjun di lia Kutu serta Kebun Contoh Sayur dan Buah.
Di Moni (Koanara), anda dapat menginap di hotel-hotel dan home stay seperti :Hotel Flores, Arwanty Homestay, Amina Moe Homestay dan penginapan lainnya. Saat anda memasuki kawasan Kelimutu pengunjung diharuskan membeli karcis masuk di Pos Jaga Taman Nasional Kelimutu di Manukako sekaligus dapat memperoleh informasi tentang Kelimutu dan meminta pemandu wisata. Sambil menyusuri jalan setapak pengunungan, lembah dan jurang yang dikelilingi hutan dan bunga seperti Edelweis dan cemara gunung, terdapat pula spesies burung Gerugiwa yang dapat meniru dan mengubah nada suaranya. Dalam perjalanan pulang anda dapat berhenti sejenak untuk mengunjugi sumber air panas di Watu Raka, Koloronggo dan Lia Sembe dan air terjun Marundao – Moni. Di Moni anda dapat melihat kampung tradisional, atraksi seni tari tradisional dan membeli souvenir berupa kerajinan tenun ikat.
• Rute II
Menuju Kelimutu dapat di tempuh melalui Labuan Bajo, Ruteng, Bajawa, Mbay, Maukaro, Nggemo, Mukusaki, Wewaria dan Ropa. Dalam perjalanan menuju Kelimutu anda dapat berhenti sejenak di Sumber Air Panas Koka, Detusoko.

• Rute III
Dari Maumere dengan melewati pantai utara pulau flores yang terkenal dengan pasir putih dan alam lautnya, Pantai Nggemo, Pantai Ndondo, Aewora, Anabara, Maurole, Mausambi dan Pantai Ropa kemudian menuju Detusoko – Moni lalu Kelimutu.
• Rute IV
Dari Maumere ke Wolowaru. Di Wolowaru anda dapat mengunjungi desa-desa tradisional dengan rumah adat, bangunan megalitik, kerajinan tenun, tarian tradisional dan peninggalan purbakala seperti di Mbuli Lo’o, Ranggase, Jopu, Tenda, Wolojita, Wiwipemo, Nuamulu, Ngela dan Lisedetu.
• Rute V
Bila anda dari Komodo ingin berwisata ke Kelimutu melewati jalan darat Labuan-Bajo – Ruteng – Bajawa – Ende. Selain panorama alam dan cuaca sejuk dan indah pemandangan sepanjang jalan, memasuki perbatasan Kabupaten Ende melewati pantai selatan yang indah dan jernih seperti Nangmboa, Nangapanda, Penggajawa, Numba serta Gua alam pantai di Mbawe.Anda akan lebih puas bila ingin berlayar dan menikmati alat laut di Pulau Ende dengan menggunakan perahu cadik yang tersedia di Taman Wisata Bahari Pantai Ende sebelum melanjutkan perjalanan anda mengikuti Rote I. Kesempat yang sama selain menikmati objek dan daya tarik wisata dalam kota Ende, sambil menginap di hotel dan mempunyai kesempatan mengunjungi pantai Mbu'u, Kampung tradisional Wolotopo, Ngalupolo dan Ndona "SELAMAT BERWISATA"


Kelimutu.Keajaiban Dunia di Pulau Flores


B U M I Kabupaten Ende yang berbukit-bukit menyimpan keindahan luar biasa. Di sanalah, di puncak Gunung Kelimutu, di kawasan Taman Nasional Kelimutu, terdapat Danau Kelimutu atau Danau Tiga Warna. Bahkan, danau ini oleh dunia disebut sebagai salah satu dari sembilan keajaiban dunia. Sebuah penghargaan yang membanggakan.Awal mulanya daerah ini diketemukan oleh Van Such Telen, warga negara Belanda, tahun 1915. Keindahannya dikenal luas setelah Y. Bouman melukiskan dalam tulisannya tahun 1929. Sejak saat itu wisatawan asing mulai datang menikmati danau yang dikenal angker bagi masyarakat setempat. Mereka yang datang bukan hanya pencinta keindahan, tetapi juga peneliti yang ingin tahu kejadian alam yang amat langka itu.



Kawasan Kelimutu telah ditetapkan menjadi Kawasan Koservasi Alam Nasional sejak 26 Februari 1992.
Gunung Kelimutu adalah Gunung yang memiliki tinggi 1.640 meter di atas permukaan laut (dapl), memiliki tiga buah kepundan di puncaknya yang disebut Danau Kelimutu.
Ketiga danau Kelimutu ini memiliki warna air yang berbeda-beda dan berubah tiap saat. Dari warna merah menjadi hijau tua kemudian merah hati. Kadang menjadi warna cokelat kehitaman dan biru.
Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.


Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Danau Kelimutu sebagai tempat bersemayam arwah leluhurnya.Danau dengan air warna MERAH (Tiwu Ata Polo)merupakan tempat berkumpulnya para arwah dari berbagai belahan bumi, arwah orang jahat, danau BIRU (Tiwu Nua Muri Koo Fai ) dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah para pemuda-mudi, dan danau PUTIH (Tiwu Ata Mbupu) dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah orang tua.

Dalam perjalanan menuju Kelimutu, pengunjung bisa menikmati pemandangan flora dan fauna yang jarang dijumpai di tempat lain seperti cemara gunung, kayu merah, edelweis, landak, babi hutan, tikus besar, dan burung gerugiwa.
Pemandangan menakjubkan juga dapat Anda lihat seperti kegiatan solfatara yang terus mengepulkan uap dan dinding kawah yang berwarna kuning. Bila melemparkan pandangan ke bagian timur saat mencapai puncak danau berwarna merah, sebuah bukit terlihat menjulang berbentuk bundar. Itulah Buu Ria, lokasi paling tinggi di Gunung Kelimutu.
__________________

Kamis, 22 April 2010

JEJAK - JEJAK KERAJAAN LIO


Rumah Adat.

Proses pengangkatan figur Pius Rasi Wangge menjadi Raja Lio secara keseluruhan  yang wilayah otoritasnya mencakup Nanga Blo (sebagian wilayah administrasi                        Kab. Sikka/Maumere) sampai Nanga Mboa di ujung Barat Kab Ende Flores NTT, terjadi secara aklamasi (Acclamation).
Pada sekitar tahun 1909-1910 pemerintahan Hindia Belanda memasuki wilayah Lio   dan menetap dikitaran wilayah Wolowaru. Pius Rasi Wangge, adalah sosok yang biasa            dan sederhana layaknya lelaki lainya yang ketika itu   tinggal bersama kakaknya  Mari Wangge dan Bhoka Logho   di wilayah Lise Nggonderia yang sekarang menjadi  desa Watuneso kecamatan Lio Timur Kab. Ende Flores NTT.     Pius Rasi Wangge hadir  ditengah keluarga adalah seorang lelaki dari garis keturunan bangsawan didesa Wolo Lele A   (Kec. Lio Timur) yaitu Keluarga Besar Ndori Wangge (Riabewa) yang merupahkan   pertaliah darah yang erat dengan Mari Wangge (Keluarga besar Mosalaki  Hebesani Watuneso). 
Pada sekitar tahun 1910, Pius Rasi Wangge di sekolahkan oleh Bhoka Logho di Sekolah   Rakyat (SR) setingkat   Sekolah Dasar (SD), jaman Belanda di distrik Lela.        Ketika itu    pemerintahan kolonial Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan khususnya       laki-laki untuk mendapatkan pendidikan di Sekolah      Rakyat (SR) tersebut. Kendati    demikian  usaha Bhoka Logho untuk menyekolahkan adiknya Pius Rasi Wangge sempat  terjadi penolakan oleh Tua Skebe yang           menyeleksi siswa baru karena faktor usia Pius Rasi         Wangge yang sudah mencapai sekitar 30 tahun.           Namun Bhoka Logho tidak kehilangan akal, sehingga           Bhoka Logho menyarankan adiknya supaya memanipulasi umur dan rambut serta    kumis tebalnya dicukur hingga botak agar terlihat lebih mudah belia untuk mengecoh    perhatian Tua Skebe . Beberapa hari kemudian,                Bhoka Logho dan adiknya Pius Rasi   Wangge   berangkat   lagi ke Distrik Lela. Sesampainya disana Bhoka Logho membuat   pengakuan kepada 'Tua Skebe' bahwa yang     akan didaftarkan itu adalah kembaran dari Pius Sendiri. ("Dengan sebuah ungkapan" Tua, Ina Aji kai,                     eo mere mai Ka'e kai !! Artinya;     Pater/Bapa, ini  adiknya yang kemarin Kakaknya. Cara itu terbukti ampuh mengecoh Tua    Skebe, sehingga akhirnya diterima untuk   di sekolahkan di Lela.
Kemudian sekitar tahun 1914, pemerintahan Hindia  Belanda mempertimbangkan eksistensi    administratif pemerintahan yang mempermudah sistem kerja agar bisa dikontrol dengan    menerapkan konsep pemerintahan       ala kerajaan Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wihelmina (Wihelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau; Lahir 31 agustus 1880 dan  mangkat 28 November 1962). Puteri Orange Nassau adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948  dan Ibu Suri dengan sebutan Puteri sejak    tahun 1948-1962. Terkait rencana besar ini,  pemerintahan Hindia Belanda mengundang para Mosalaki Lise Tana       Telu Kunu Lima dari   Enam ( 6 ) aliran mendatangi Wolowaru, central koordinasi kolonial untuk wilayah Lio. Perhelatan  pemilihan Raja Lio dilakukan ditempat ini. Seluruh Mosalaki atau perwakilan   atas nama Mosalaki datang ke Wolowaru. Sedangkan Laki Koe Kolu Hebesani  Lise Nggonderia   Mari Wangge hanya diwakili adiknya seorang tokoh bernama Bhoka Logho. 
Pada tahapan  pemilihan dimulai, Tua Skebe sebagai negosiator dari pemerintah Belanda   bertanya kepada   para Mosalaki atau perwakilan Mosalaki yang hadir saat    itu dengan kalimat   dalam bahasa Lio: (Laki Tana Unggu, Kau fonga Raja leka sai? "Laki Tana Unggu penu    so", Aku fonga, Raja leka du'a neku). Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia    kira-kira seperti ini           ucapannya; "Pemangkuh adat tertinggi (klan) tanah    'Unggu', Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi    Raja ? Laki Tana Unggu menjawab; Kehendak saya, Raja  ada pada saya sendiri. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada "Laki Tana Kune Watu Mara  (Kunemara), Laki Tana Nggoro dan seterusnya sampai kepada 'Laki' yang ke 5  dijawab dengan jawaban yang   sama juga. Dan akhirnya, pertanyaan yang sama juga    diajukan  oleh Tua Skebe kepada Bhoka Logho, aji ana (Kerabat dekat) sebagai delegasi  Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Karena merasa sudah mengenal, Tua Skebe    langsung menyapa nama Bhoka Logho.("Boka" !! kau fonga Raja leka sai ?) Artinya;    Bhoka !! Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi raja ? Dengan sedikit terdiam untuk     sebuah pertimbangan, lalu Bhoka Logho menjawab; "Tua, Raja dau leka ata eo    sekolah, no'o    eo tuli mbe'o soli basa mbe'o sura ". Artinya;  Pater/Bapa!! Seorang Raja itu harus orang yang berpendidikan (sekolah) dan dapat menulis serta    membaca surat.    Beberepa saat kemudian, Tua Skebe bertanya kembali kepada Bhoka Logho dengan      pertanyaan yang sama. Akhirnya Bhoka Logho menjawab untuk kedua kalinya; Tua, Aku    fonga Raja leka aji       aku Pius Rasi Wangge eo nebu ina aku pati sekola gheta Lela ( SR    ) Kira-kira diterjemahkan seperti ini; Pater/Bapa, Menurut kehendak saya, 'Raja' ada    pada    adik saya Pius Rasi Wangge yang saat ini saya sekolahkan     di Sekolah Rakyat ( SR )    'Lela' (Di Kab. Sikka). Setelah pendapat logis ini, Tua Skebe melontarkan kembali kepada    semua Mosalaki/Delegasi yang hadir ditempat itu.. (Ngere Emba ? gha Bhoka nosi, raja    leka aji kai ngai eo tuli no'o basa mbe'o sura).  artinya; Bagaimana ? Bhoka    mengusulkan,    Raja ada pada adiknya karena    bisa menulis dan membaca surat. Setelah    mendengar pandangan yang logis itu, akhirnya seluruh Mosalaki/Delegasi yang hadir disitu    menjawab; Molo dowa, ngai kai gare do ngere gharu, kami di sama bu ngere kai    gharu    Artinya; Baiklah, Karena Dia sudah mengemukakan pendapat seperti itu, kami pun sama  seperti Dia. Pada akhirnya, semua sepakat dan pemerintahan Kolonial lalu menjadikan keputusan Bhoka Logho itu, sebagai bahan pertimbangan dan acuan keputusan    serta penetapan final nama Pius Rasi Wangge seraya meminta Bhoka Logho agar secepatnya menjemput adiknya Pius Rasi Wangge dari (SR) Sekolah Rakyat Lela    Maumere    yang sedang duduk di bangku kelas 4 ( empat ) karena pada waktu itu Pius Rasi   Wangge dibesarkan   didesa Watuneso oleh Mari Wangge, Bhoka Logho atau ditengah    keluarga Mosalaki Hebesani Lise Nggonderia. 
Di    (sao ria tenda bewa)   rumah    adat    WoloLele B (Kec. Wolowaru), pemerintahan Hindia    Belanda mempersiapkan acara pengukuhan (Inauguration).      Dengan disaksikan oleh para    Mosalaki dan Delegasi masyarakat adat "Lise Tana Telu Kunu Lima" akhirnya     Raja Lio    dikukuhkan (Inauguration) secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun   1914    sekaligus memberikan legitimasi kekuasaan administratif dibawah pemerintahan   kerajaan sehingga kekuasaan    Raja Lio Pius Rasi Wangge hanya dalam batasan kekuasaan atas wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda saja. Sistem Pemerintahan   Kerajaan Lio ini sangat sebanding dengan sitem pemerintahan Hindia Belanda    yang pada waktu itu bahkan hingga kini menganut "Monarki Konstitusional", yang mana kekuasaan raja    bersifat terbatas dan secara simbolik saja karena ada peran lain yang mengatur wilayah  kedaulatan dan kekuasaan Raja. Raja Lio, Pius Rasi Wangge oleh Belanda diberih    wewenang    untuk mengatur wilayah administratif dari Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai    Nanga  Mboa ujung barat Kab. Ende dengan tugas yang teramat berat yaitu menahklukan    serta menyatukan seluruh Mosalaki - mosalaki yang mendiami wilayah itu karena pada   masa    itu masih sangat rentan dan sesekali timbul konflik horisontal yang berkepanjangan    antara penguasa-penguasa tanah ulayat setempat. Selain itu Raja Pius Rasi Wangge juga    ditugaskan menarik upeti (Pajak) untuk pemerintah Belanda. Raja Lio ini berkuasa sejak tahun  1914 hingga 1947. Kemudian beliau di beritakan wafat       di Kupang, ditembak mati oleh  tentara Belanda karena berkolaborasi dengan pemerintah Jepang. Sementara itu  dari    versi sejarah yang berbeda, Raja Pius Rasi Wangge diberitakan diculik oleh tentara    Nipon ke Jepang dan tinggal disana sampai akhir hayatnya. 
Beberapa waktu yang lalu juga, ada berita mengenai kemunculan sosok "Sugishima Takashi" yang mengklaim  diri sebagai keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge dan    melakukan penelitian di Wololele A sebagai garis keturunan langsung dari Raja Pius Rasi  Wangge. Kendati demikian, pengklaiman tersebut tentu harus dibuktikan secara medis  melalui 'tes DNA' agar tidak terjadi kesimpangsiuran dikemudian hari. 
Catatan; Masih banyak misteri tentang Kerajaan Lio yang harus diungkap agar masyarakat   Lio, Nasional bahkan Internasional layak tahu yang sesungguhnya. Hal-hal yang masih misteri    itu antara lain,
Seperti;
1. Benda - benda peninggalan Raja Pius Rasi Wangge.
2. Keberadaan Jasad (Makam) Beliau.
3. Surat Keputusan Pengangkatan Raja Lio oleh pemerintahan Belanda (Arsip Museum  Nasional Belanda).
4. Jejak-jejak (Ideologis) masa pemerintahan Raja Lio.
Beberapa waktu lalu, penulis pernah membaca di sebuah domain mengenai batas  kedaulatan    antara Raja Lio     dan Raja Sikka. Seperti tertulis diatas, Kerajaan Lio (Pius    Rasi Wangge)  disebutkan berkuasa dalam batas wilayah yaitu  dari  Nanga  Blo   sampai   Nanga  Mboa sementara penulis menemukan tulisan yang menyebutkan Raja Sikka (Don    Thomas) berkuasa pada wilayah Kekuasaannya    yang meliputi wilayah Larantuka sampai  Mole  Kelisamba (sekarang wilayah Lio) hingga ke Wilayah Manggarai.     Akan tetapi jika    dicermati dari historia sejarah dan fakta sejarah yang masih terlihat hingga kini, penulis   bertanya-tanya;
1. Mengapa Orang Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa hingga kini menggunakan  Bahasa Lio ?
2. Mengapa, pola berpakaian, tata cara bahkan struktur adat orang Nanga Blo mencerminkan      adat Lio ?
Mungkin ini tugas bersama yang cukup rumit untuk   menggali lebih mendalam tentang   sejarah-sejarah yang diukir oleh para pendahulu yang sudah tiada.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan atau menyinggung perasaan siapa pun yang membacanya melainkan hanya semata-mata sebagai dasar pengetahuan bersama dan   menjadi bahan acuan untuk menyingkap  fakta sejarah yang belum terkuak agar lebih  sinkron  antara yang satu dengan yang lainnya. Ingat !! Bung Karno pernah berkata;  Jangan   Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH).


Sekian !!
Oleh; Marlin Bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Lisan; Keluarga Besar Mosalaki Hebesani Watuneso
Jhony Logho-Mosalaki
Paulus Logho Gatu-Kerabat
Wenslaus Tani-Kerabat
Kornelis Wiriyawan Gatu. S.Sos-Kerabat

Rabu, 14 April 2010

"KHAZANA KERAJINAN TANGAN WANITA ENDE LIO"



Selain hasil karya tenun, masyarakat Ende Lio pada umumnya gemar membuat anyaman dari bambu, daun lontar ataupun dari rotan. Ini adalah satu - satunya kerajinan tangan para wanita Ende Lio. Asal muasal kerajinan Anyaman adalah milik masyarakat melayu yang masih sangat di kagumi dan di gemari hingga saat ini. Konon, kemunculan kebiasaan ini di tanah Ende Lio adalah warisan secara turun temurun oleh nenek moyang bangsa melayu beberapa abad silam semenjak bangsa melayu menjejahkan kaki di pulau Flores. Ada beberapa macam jenis hasil anyaman yang tidak pernah musnah hingga kini misalnya;

1. Benga/Bote. Dalam bahasa Indonesia disebut 'Bakul', Adalah anyaman ini terbuat dari batang bambu yang sudah di potong, dibelah dan di iris sesuai ukurannya kemudian dianyam sedemikian rupah hingga membentuk sebuah bakul. Secara teknis, bakul bisa dibuat baik dalam ukuran yang besar ataupun kecil sesuai keinginan pembuatnya. Manfaat dari bakul ini adalah bisa mengisi/menyimpan benda - benda apa saja, seperti hasil komoditi dan lain sebagainya. Selain itu, dalam tradisi adat seperti 'Wuru Mana' (partisipasi dan sumbangsi untuk keluarga besar), bakul juga kerap digunahkan sebagai tempat menyimpan gabah atau beras untuk diantarkan kepada penyelenggara acara misalnya perkawinan, kematian dan sebagainya. Salah satu keunikan yang tidak akan pernah bisa ditiruh oleh masyarakat manapun didunia adalah mana kala Para wanita Ende Lio menjunjung bakul dikepalanya meskipun tidak dipegang, bakul itu seolah tidak mau beringsut dan tidak terjatuh dari kepala para wanita Ende Lio yang sedang menjunjungnya. Suatu keunikan yang tidak terduga oleh siapapun, memang hal ini terkesan enteng namun jika belum biasa, siapapun tidak akan bisa meniruhnya.


2. Kidhe - Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya Nyiru. Alat ini juga terbuat dari Bambu yang dianyam dan bermanfaat untuk menampi/menyaring beras supaya bisa dimasak. Kidhe juga sering dijumpai di daerah lainnya seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali dan lain - lain. Meski demikian, tentunya semua memiliki bentuk dan kualitas yang sedikit berbeda tergantung pembuatannya. Beberapa dekade terakhir, alat ini sudah berkembang dan dimodifikasi serta dibuat dengan plastik.


3. Nggobhe - Dalam bahasa Indonesia disebut 'Topi'. Biasanya dibuat dari daun lontar yang sudah dikeringkan. Masyarakat Ende Lio kerap memanfaatkan topi untuk melindungi kepala dari terik matahari. Model Topi yang dibuat bersayap lebar adalah contoh yang dibawahkan bangsa Portugis di tanah Flores. Pada mulanya, jenis topi yang bersayap lebar ini adalah terbuat dari kulit binatang oleh para Koboi Amerika Latin beberapa abad yang lalu, hingga akhirnya dibuat dari daun Lontar oleh wanita Ende Lio sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Dalam kurun waktu beberapa dekade belakangan ini, Topi menjadi Icon dan Trend pergaulan anak muda masa kini dengan model yang sangat variatif.


4. Te'e atau 'Tikar'. Ini adalah anyaman yang terbuat dari "Re'a"atau semacam Daun Rami yang biasa tumbuh di pinggiran kali. Tentu tikar bermanfaat untuk alas tidur didalam rumah ataupun diluar rumah. Tikar dibuat sangat bervariasi karena dapat juga diwarnai menggunakan pewarna pakaian. Sama seperti 'Bakul', Tikar juga dibawah oleh bangsa Melayu ketanah Flores beberapa abad silam.


Selain benda - benda kerajinan tangan yang disebutkan diatas, beberapa tahun terakhir ini para Wanita Ende Lio juga sudah mengembangkan hasil karyanya seperti; Dompet, Tas dan Souvenir - souvenir lainnya untuk dijual. Hanya saja semua itu masih terkendala masalah kekurangan dana untuk bisa bersaing dikanca Nasional maupun Internasional. Jika saja pemerintah setempat dapat melihat dan melirik peluang ini, bukan tidak mungkin, ini bisa menjadi andalan untuk menunjang Danau kelimutu sebagai Icon Wisata Dunia.


Sekian,

Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)

Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Imprivisator & Inspirator

GLOSARIUM ADAT LIO (FLORES NTT)


Anahalo/anakalo:
Secara harfia berarti Yatim piatu; Ungkapan lengkapnya adalah Faiwalu-anahalo yang diartikan sebagai bawahan atau orang banyak. Stratifikasi hirarkis masyarakat Lio mulai dari yang tertinggi adalah; Atalaki/Mosalaki, Riabewa, Faiwalu-anahalo (ana riwu) - ata ho'o (para hamba/budak).

Atalaki/Mosalaki
Pemimpin adat: Sosial, politik dan religius, yang terdiri dari seorang pemimpin utama dan dibantu oleh pemimpin lainnya. Bersama Riabewa mereka bertugas mengurus perkara sosial. Mereka bekerja secara kolegial dan komplementaris. Misalnya; Tanpa kehadiran Atalaki yang lain, seorang atalaki tidak mempunyai hak untuk memutuskan perkara. Jabatan atalaki diwariskan turun temurun; ada juga kemungkinan, bahwa kalau si ahli waris dianggap tidak mampu maka dipilih seorang anggota keluarga yang dianggap cocok. Untuk jabatan yang sama sering juga dikenal Mosalaki, dan biasa juga muncul dalam nama paralel Laki Ongga.Laki tana, Watu Ongga, yang artinya pemilik tanah.

Riabewa
Pemimpin adat yang bersama dengan mosalaki menyelesaikan perkara ataupun persoalan sosial lainnya. Riabewa juga bertugas sebagai panglima yang memaklumatkan dan memimpin perang. Dalam ungkapan-ungkapan sara Lio sering pula muncul kalimat "Ria tau talu rapa sambu no'o ata mangu lau, bewa tau tewa rapa rega no'o ata laja ghawa". yang berarti Riabewa berperan sebagai juru bicara dengan orang yang datang dari luar. Di sisi lain, muncul pula ungkapan seperti; Ria gha nia tei sawe, bewa gha iju mbe'o mbeja, artinya semua riabewa sudah berkumpul.

Atanipi
Juru mimpi; Orang yang mimpi serta interprestasinya diyakini kebenarannya oleh komunitasnya. Misalnya; Sebelum membangun rumah, masyarakat adat memintahnya untuk tidur dilokasi yang akan digunakan dengan maksud agar mendapatkan petunjuk ilahi atau petunjuk dari roh-roh para leluhur. Dilain pihak, orang-orang sakit juga datang meminta bantuannya.

Bhaku
Peti tempat penyimpanan tulang-belulang orang mati, atau juga rumah kecil berukuran sekitar 2x2 meter dimana peti tersebut disimpan. Biasanya rumah kecil itu didirikan di dekat Heda. Pemilik Bhaku biasanya orang-orang kaya dan terkenal dalam masyarakat.

Dalo/pasodalo
Balok penahan balai-balai. Balok penahan tersebut mempunyai nama masing-masing, seperti;
1. Dalo one - balok penahan balai-balai rumah.
2. Dalo te'nda: balok penahan balai-balai
3. Dalo lena: balok penahan semacam loteng tempat penyimpanan barang berharga.
4. Pasodalo: adalah bagian dari balok penyanggah tersebut yang mencuat keluar.
Di beberapa tempat bagian tersebut, sering kali dipahat dan diukir. Ada juga yang meletakan pelupu dan dijadikan tempat duduk atau tempat tidur.

Heda/keda
Kuil tempat tinggal roh-roh. Heda biasanya didirikan didekat Hanga/kanga. Didalam heda tersebut biasanya disimpan Anadeo, yaitu pasangan patung berukuran kecil yang merupakan personifikasi dari bapak dan ibu asal suku dibawah kepemimpinan seorang Mosalaki. Patung tersebut biasanya telanjang dan hanya bagian genitalnya yang ditutup dengan kain. Pada jaman dahulu bagian genital itu tidak ditutup karena membahasakan kesuburan dan kemakmuran. Heda adalah simbol lelaki-tidak ada hasil dan kelahiran di heda. Simbol wanita adalah rumah adat; disana ada kesuburan dan kelahiran. Biasanya, pada salah satu dinding atau pintu rumah adat dipahat pasangan buah dada wanita yang mengungkapkan kesuburan rumah adat tersebut. Dirumah adat juga disimpan emas yang biasanya bermotif vulva (bagian luar sistem reproduksi wanita yang meliputi; labia, lubang vagina, lubang uretra dan klistoris) yang jelas mempunyai hubungan metaforis dengan wanita.

Hanga/kanga
Pelataran suci ditengah kampung tempat berlangsungnya upacara adat dan berbagai aktifitas sosial lainnya. biasanya orang-orang besar dan terhormat dikuburkan di dekat atau di dinding hanga/kanga.

Jo/Fi'i jo
Perahu besar. Fi'i jo bisa berarti sebuah perahu. Ungkapan yang sering muncul dalam masyarakat adat Lio adalah sai Du'a nggoro no'o fi'i jo, sai Ngga'e wa'u no'o mangu au yang berarti sejak Du'a Ngga'e (Sang Pencipta) atau leluhur datang dengan perahu, dan turun melewati tiang mangu. Ungkapan itu bisa juga berarti; Sejak awal mula.

Ju/Ju-angi/Nu-angi
Secara harfia berarti angin atau juga awan. Awan atau angin yang dipersonifikasikan dan ditakuti sebagai pembawa wabah penyakit dan kematian atau roh-roh jahat. Ungkapan yang kerap juga muncul dalam masyarakat adalah Ju-seka yang berarti kutukan atas nama roh jahat. Kalimat Ju-seka juga kadang di artikan permohonan dengan rincian definisi sebagai berikut; Semoga Roh jahat menusukmu Hingga mati !!

Kanda wari/T'enda teo'
Tempat persembahan yang terbuat dari papan ataupun bambu yang digantung dari atap di tengah-tengah rumah. Di atas tempat ini biasanya diletakan satu atau beberapa batu ceper sebagai tempat untuk menyajikan persembahan.

Keba' Ndera'
Tali pikulan; Tali yang menghubungkan beban-beban yang ada di bagian punggung dan dibelitkan atau ditahan pada dahi orang yang memikul beban tersebut. Tali tersebut biasanya terbuat dari bahan yang kuat tapi lembut, seperti boro (sejenis lontar) dan lain sebagainya.

Keba' rate'/rate' keba'
Kubur atau pekuburan; dahulu kala, mayat biasanya dibungkus dengan tikar dan dikuburkan dengan posisi duduk. Hal-hal yang berkaitan dengan kubur dan orang-orang mati umumnya sangat dihormati dan ditakuti. Kubur biasanya terletak tidak jauh dari rumah. Hal ini memperlihatkan kesatuan roh-roh orang mati dan perlindungan dari mereka, dan batas antara hidup dan sesungguhnya tidak terlalu jelas. Sehingga muncul ungkapan dalam bahasa masyarakat Lio yaitu; 'Nggoi keba, Ngaki rate'. yang berarti bahwa tugas dari orang hidup/ahli waris adalah menjaga dan membersihkan kubur leluhur.

Kogo laba
Balok yang dipasang mengarah ketiang mangu (tiang utama penyanggah atap rumah). Salah satu tempat untuk menyajikan persembahan bagi Wujud Tertinggi atau roh-roh yang lain.

Leke'/Ineleke'
Pontianak, roh jahat; biasanya diyakini leke/ineleke muncul dalam rupa seorang wanita muda dan cantik yang punggungnya berlubang. Leke/ineleke biasanya mengganggu ibu-ibu hamil, menggoda lelaki, dan menculik anak-anak. Leke/ineleke biasanya muncul pada siang hari.

Leke'/leke' pera'
Tiang penopang rumah; Tiang penopang rumah adat Lio mempunyai namanya masing-masing. Leke' one, leke ria adalah tiang-tiang besar yang dipasang pada bagian sudut rumah. Leke' pera' adalah tiang yang paling penting secara religius karena merupakan tempat turun naiknya roh-roh ataupun Wujut Tertinggi. Tiang tersebut terletak di sebelah kanan rumah adat.

Limabua
Secara harfia berarti tangan berbulu. Limabua adalah roh bumi atau disebut dalam bahasa Lio "tana watu" yang kadang dapat dilihat secara langsung oleh orang-orang tertentu dan pada saat-saat tertentu. Limabua atau tana watu dapat diidentikan dengan Ngga'e dewa.

Mangu/mangu au/pu'u mangu
Tiang utama penyanggahatap rumah. Tempat untuk meletakan bahan-bahan persembahan,  tempat turun naiknya Wujud Tertinggi. Mangu au, Pu'u mangu, mangu bewa adalah nama-nama tiang mangu. Mangu juga berarti tiang layar perahu.

Mase/musumase/tubu/tubumusu/lodo nda
Batu lonjong yang mempunyai ukurang tinggi lebih dari satu meter yang ditanam tegak ditengah-tengah hanga/kanga (halaman rumah adat). Heda, hanga dan mase merupakan satu kesatuan yang menjadi pusat kehidupan suatu kampung. Lodo nda adalah batu ceper kecil yang dipasang didepan musumase. Lodo nda adalah simbol wanita dan berpasangan dengan tubumusu (phallus) yang merupakan simbol laki-laki.

Mataria
Mata besar; adalah roh-roh jahat yang sejenis dengan suanggi besar penjaga wilayah adat atau juga sering diartikan atapolo.

Polo/atapolo
Roh jahat; Bisa juga berarti pria atau wanita dewasa yang dituduh sebagai pengisap darah dan pemakan mayat manusia. Polo ko, adalah tarian dan nyanyian sesudah kemenangan perang yang diiringi dengan gong dan gendang.

Nitu/nitu pa'i
Roh-roh, roh-roh alam bisa juga disebut Nitu pa'i. Nitu umumnya bertempat tinggal dirumah, air, batu besar,  pohon besar dan lain sebagainya. Nitu lowo adalah roh-roh yang tinggal dikali. Nitu pu'u kaju adalah roh-roh yang tinggal dipohon besar. Nitu watu adalah roh-roh yang tinggal dibatu besar. Nitu pa'i diyakini sebagai roh-roh pelindung keluarga yang tinggal disudut kanan ruangan belakang rumah adat. Selain itu, ada pula Nitu pa'i yang dianggap jahat oleh sebagian masyarakat. Dilain pihak, Nitu sebagaimana dibeberapa tempat di wilayah Lio adalah sejenis binatang serangga yang sering dijumpai dan hidup pada sumber mata air yang dianggap sakral oleh masyarakat. Sehingga jika salah satu masyarakat menjumpainya, sering di umpat dengan kalimat yang agak kotor, 'maaf' misalnya; "Nitu mera hoa, aku tei dowa, ndanda ke seliwu mboko rua", artinya Nitu yang sedang telanjang, saya sudah melihatnya, kelaminnya berjumlah enam buah. Ungkapan ini dimaksudkan semacam Tolak bala (keselamatan) supaya orang yang melihatnya terhindar dari bahaya-bahaya mistis yang diyakini oleh masyarakat setempat.

Saga/saga au
Tiang tempat meletakan persembahan bagi Wujud Tertinggi atau roh-roh. Ujung atas tiang tersebut biasanya dipahat membentuk perahu atau kepala kuda. Di atasnya di tempatkan sebuah batu ceper tempat meletakan persembahan. Saga au adalah tiang yang terbuat dari bambu.

Soku/soku ria/soku lo'o
Belahan bambu yang dipasang melengkung dari puncak atap rumah sampai kedinding. Belahan bambu itu membentuk lengkungan atap rumah. Di beberapa tempat nama tersebut hanya digunakan untuk belahan bambu yang dipasang pada empat sudut atap. Soku ria adalah belahan bambu yang berukuran besar. Sedangkan soku lo'o adalah belahan bambu yang berukuran kecil.

So bhoka au/so au
Divinasi dengan potongan bambu yang dimasukan kedalam api, kemudian diputar, dan ata mbe'o (dukun) memaknai arti pecahannya.

Tadho waja/ladho waja
Tempat duduk di dekat tungku api. Cuatan kayu penyanggah tungku api dirumah adat yang kadang kala dipahat pelengkung dan diukir dengan motif-motif tertentu.

Watu
Batu. Watu wisu lulu adalah batu persembahan yang diletakan disudut kanan rumah adat, juga adalah nama roh-roh pelindung keluarga yang tinggal disitu. Watu tana atau tana watu adalah roh penguasa bumi.

Wewa
Hampir sama artinya dengan sa'o yaitu; rumah; kesatuan unit sosial yang berpusat pada rumah. Ungkapan yang muncul dalam masyarakat adalah 'We'e nia ma'e mila, wewa ma'e penga' yang berarti; Semoga garis keturunan patrilineal tak terputus. Selain itu wewa  juga dapat di artikan secara harfia yaitu; Halaman depan rumah.

Wisu lulu
Sudut kanan bilik belakang rumah adat; tempat yang paling suci dan paling sakral dalam rumah-rumah adat Lio. Ditempat ini biasa diletakan sajian bagi roh-roh dan arwah para leluhur.

Wulaleja
Kekuatan rohani tertinggi yang kadang-kadang diartikan sama dengan Du'a Ngga'e. Wulaleja adalah tempat tinggal Du'a Ngga'e yang paling tinggi dan bersifat semesta dalam jagat raya.

Sekian !!!


Penulis; Marlin Bato
Sumber; Alm. Paul Arndt. SVD Lahir Jerman 10 Januari 1886 dan
Wafat Todabelu Flores NTT - 20 November 1962


Selasa, 16 Maret 2010

TURA JAJI DAN PIRE PO'O DALAM PERSPEKTIF HUKUM ADAT LIO

Tura jaji. Kalimat ini berasal dari 'Tebo Tura, Lo Jaji', yang arti secara harfianya; 'Tebo Tura' = Tubuh/badan yang termuat (terbebani). Sedangkan 'Lo jaji' = Pundak yang memikul perjanjian. Jadi jika digabungkan akan berarti 'setiap manusia harus menjunjung tinggi perjanjian. Perjanjian disini maksudnya perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para leluhur. Misalnya perjanjian antar persekutuan Orang Lise dengan persekutuan orang Mbuli, Jopu, Moni dan sekitanya yang isinya melarang secara tegas bentuk - bentuk perselisihan atau bahkan perkelahian. Jika ada diantara kedua persekutuan ini melanggar perjanjian ini pasti akan mendapatkan musiba atau semacam kutukan. Contoh lain perjanjian itu adalah; Perjanjian antar persektuan orang Lise secara umum dengan persekutuan orang Mbengu di perbatasan kabupaten Ende dan Maumere. Isi dari perjanjian itu ialah; Jika ada orang Lise yang sedang berada diwilayah Mbengu dan dilanda kehausan atau kelaparan, mereka boleh memetik buah kelapa atau buah apa saja untuk dimakan asalkan tidak untuk dibawah pulang dan begitu pula sebaliknya. Yang menarik disini, meskipun pemiliknya melihat perihlaku seseorang dari salah satu persekutuan tersebut yang sedang memetik buah kelapa dan lain - lain, mereka tidak boleh melarang tindakan tersebut. Jika ada diantara kedua persekutuan ini melanggar perjanjian tersebut akan mengalami masa sulit berkaitan dengan hasil panen. Konon diketahui perjanjian 'Tura jaji' ini ditandai dengan Nipa Hua/kua (Lipan) dan Ana bewu (burung Puyu). Maksudnya, jika seekor Lipan berjalan menyeberangi jalan raya, akan mati dengan sendirinya atau seekor Burung Puyu tidak akan terbang tinggi. Jika burung puyu terbang tinggi, akan terjatuh dan mati. Kedua mahkluk ini hanya sebagai simbol supaya persekutuan - persekutuan tersebut harus selalu mengingat dengan 'Tura jaji' karena kedua mahkluk tersebut gampang dijumpai didaratan Lio secara keseluruhan diwilayah komunitasnya masing - masing. Secara Implisit, ini dapat disebut sebagai hukum adat yang tidak tertulis dan mengandung norma - norma serta kaida - kaida yang telah dianut oleh masyarakat Lio secara turun - temurun. Norma atau kaida ini harus selalu dipatuhi oleh masing - masing persekutuan orang Lio meskipun tidak ada sanksi fisik. Dalam kehidupan masyarakat Lio, selain 'Tura jaji' tentu ada aturan - aturan yang dibuat dan ditetapkan sebagai hukum tidak tertulis dan harus dipatuhi oleh siapapun yang tinggal dalam di salah satu persekutuan Lio. Adapun seseorang yang melakukan pelanggaran - pelangaran, baik itu secara sengaja atau tidak, tentu juga dikenakan sanksi yang sangat tegas namun ada juga tidak dikenakan sanksi secara langsung. Contoh Sanksi yang dikenakan secara langsung misalnya; Seseorang Si (A) melakukan penghinaan atau fitnah kepada yang lainya Si (B). Jika Si (A) terbukti bersalah kepada Si (B), maka Si (A) harus membayar denda kepada Si (B) sebagai ganti rugi beban moralnya jika tidak dia akan dikucilkan oleh adat dan masyarakat setempat. Beban ganti rugi ini sering disebut orang Lio sebagai 'Ndate wale'. Contoh lainnya dari Sanksi langsung; Misalnya di salah satu persekutuan orang Lio sedang melakukan ritual po'o are (Upacara minta hujan). Pada ritual ini, Mosalaki selaku Ketua adat menetapkan waktu tujuh hari pantangan (Pire Po'o) sebelum hari H. Dalam masa tujuh hari ini, masyarakat yang tinggal diwilayah itu dilarang keras melakukan aktifitas yang bersifat merusak tanaman hijau misalnya; memetik daun hijau, menebang pohon dll. Pada masa ini juga masyarakat dilarang membuat kegaduhan misalnya; Berkelahi, Berpesta pora atau menyetel musik keras - keras, mabuk - mabukan ataupun berbuat onar dll. Meskipun demikian, masyarakat juga tentu diijinkan untuk beraktifitas seperti biasa
untuk menopang hidup. Larangan - larangan ini dimaksudkan supaya dalam tujuh hari masyarakat harus hidup tenang. Selain itu, Pada masa pantangan ini di yakini sebagai proses turunya Penguasa langit (Du'a Gheta Lulu Wula) dan menyatuh diwisu Lulu dengan Penguasa Bumi (Ngga'e Ghale Wena Tana) melalui Au wula Leja yang ditanam dipojok kanan depan rumah adat. Proses perkawinan atau penyatuan ini diyakini sebagai unsur simbolik dari pemberihan benih - benih kesuburan selaras dengan apa yang didambahkan oleh setiap insan dan ditandai dengan masuknya iklim penghujan. Inilah Proses panjang sejarah Agama asli orang Flores yang sudah diwariskan turun temurun. Aturan - aturan atau norma dan kaida tadi adalah Hukum yang berdiri untuk menjaga keluhuran adat Lio dan telah menjadi kitab suci yang tidak tertulis agama asli orang Lio dan rumah adat sebagai gerejanya. Bagi siapapun yang melanggar Hukum adat ini akan dikenahkan denda (Ndate wale) dalam rupa hewan kurban sebagai wujud untuk menggantikan keluhuran yang ternoda. Jika Si pelanggar tidak sanggup membayar denda ini berarti dia harus rela meneteskan daranya sebagai ganti hewan kurban atau dia akan dikucilkan bahkan diusir dari persekutuan ini.
Sekian,

Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Univ. Bung karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indoneisia
sumber lisan.

EKSISTENSI PEMANGKU ADAT LIO

Ende dan Lio sering disebut dalam satu kesatuan nama yang tidak dapat dipisahkan yaitu Ende Lio. Meskipun demikian sikap egocentris dalam menyebutkan diri sendiri seperti: Jao Ata Ende atau Aku ata Lio dapat menunjukan sebenarnya ada batas-batas yang jelas antara ciri khas kedua sebutan itu. Meskipun secara administrasi masyarakat yang disebut Ende dan Lio bermukim dalam batas yang jelas seperti tersebut di atas tetapi dalam kenyataan wilayah kebudayaan (teritorial kultur) nampaknya lebih luas Lio dari pada Ende. Lapisan bangsawan masyarakat Lio disebut Mosalaki, Boge, Hage dan Ria bewa. Struktur kebangsawanan masyarakat Lio dalam beberapa pandangan kadang - kadang sering ditempatkan pada posisi yang keliru sehingga menggelitik rasa ingin tahu penulis terhadap beberapa pandangan tersebut. Inti rasa ingin tahu penulis tentu mengerucut pada; Siapakah Mosalaki, Boge, Hage dan siapakah Ria bewa ? Oleh karena itu, penulis ingin mengungkapkan fakta yang benar supaya tidak terjadi anggapan yang keliru dikemudian hari. Menurut Sistem adat Lio, Pemangku adat Lio terdiri atas beberapa klasifikasi gelar kebangsawanan yaitu;

1. Mosalaki

2. Boge

3. Hage

4. Ria Bewa

Dari semua sesepuh adat ini tentu mempunyai tugas dan wewenang masing - masing berdasarkan perjalanan sejarahnya yang menentukan gelar - gelar tersebut sehingga gelar tersebut kerap menjadi julukan untuk menunjukan identitas para pemangku adat Lio.

1. 'Mosalaki', kata ini bermula dari bahasa Lio dan terdiri atas kata Mosa dan Laki. Kata Mosa adalah Satu bentuk kata tunggal yang artinya Jantan Besar, menurut hemat penulis kata ini digolongkan kata tunggal karena kata mosa tidak mengandung makna lain selain jantan besar, sedangkan Laki adalah bentuk kata jamak mempunyai arti luas yaitu;
1. Hak/Memiliki dalam arti mempunyai kekuasaan yang besar, dan
2. Hak/memiliki dalam arti penentuan pilihan pasangan hidup, sehingga Orang Lio berpandangan bahwa untuk mengetahui berapa jumlah istri kepada seseorang lelaki, bisa diketahui melalui jumlah ubun - ubun dikepala laki - laki. Namun demikian, hal ini tidak dapat ditampik mana kala munculnya fenomena pada sosok seseorang mosalaki yang mempunyai istri banyak. Menyingkap kata 'Mosalaki', Secara historis antara Ngada dan Ende Lio serta Palu'e mempunyai tata cara tradisi dan pranata yang hampir sama meskipun ada perbedaan - perbedaan yang jauh lebih mendasar. Hal ini tentu karena dipicu oleh perjalanan sejarah itu sendiri yang mana Orang ende Lio meyakini Seluruh suku didaratan Flores mempunyai leluhur yang sama. Justru yang membuat adanya sedikit perbedaan adalah faktor pengaruh budaya yang datang dari luar. Contohnya Orang Ende Lio menyebut kepala suku sebagai Mosalaki, tetapi orang Bajawa/Ngada menyebutnya Mosadaki atau Mosaraki atau juga Mosalaki sedangkan orang dari pulau Palu'e menyebutnya terbalik yaitu; Lakimosa. Sama halnya dengan suku Ngada dan palu'e tadi, dalam Sistem adat suku Ende Lio, Legitimasi seorang Mosalaki berada dalam posisi puncak tertinggi dan mempunyai kekuasaan yang mutlak atas tanah dan wilayah kedaulatannya (teritorial). Sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; 'Mosa' eo Ka Fara No'o Tana, 'Laki' Eo Pesa Bela No'o Watu', Yang kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti Mosalaki dapat menyatuhkan diri, duduk dan bersantap bersama Tanah dan Batu. Pengertian (Tana, watu) Tana dan Batu disini dalam perspektif Orang Lio adalah sebagai simbol Penguasa Bumi yaitu 'Nggae Ghale Wena Tana' selain Babo Mamo (nenek moyang) wujud Roh Para Leluhur orang Lio sendiri.

2. (Boge). Boge ria, Boge Bewa: Dalam bahasa Indonesia artinya Gumpalan daging yang Besar dan panjang. Deretan sejarah suku Lio mencatat bahwa Gelar kebangsawanan Boge ria, Boge bewa adalah Sebagai bentuk penghargaan sangat tinggi kepada seorang Tokoh pejuang yang dianggap paling berjasah dan berjiwa patriotis kepada persekutuannya pada saat berperang untuk merebut wilayah dari pihak luar. Gelar ini memang pantas disandang bagi orang yang terlibat langsung dan memenangkan atau bahkan yang gugur dalam medan perang. Sosok orang ini tentu telah menjadi ujung tombak dan memainkan instumen penting selaras dengan strategi dan kekuatan terdasyat yang digunakan untuk memenangkan peperangan. Tentu hal ini juga dimaksudkan agar dapat menjadi momok yang menakutkan kepada pihak lawan. Sehingga, sebagai tanda jasah, mereka dianugerahi bagian tanah dari hasil kemenangan. Selain itu, sebagai bentuk pembuktian atas jasah - jasahnya, pada setiap perhelatan - perhelatan akbar ritus adat Lio, misalnya; Upacara pengukuhan pemangku adat Lio, mereka berhak mendapatkan potongan Daging Babi/kerbau yang sangat besar dan panjang sebagai pengakuan eksistensi mutlak kehadiran sosok patriotis ini.

3. (Hage). Hage Ria, Hage Lo'o, dalam terjemahan harfia bahasa Indonesia adalah Besar seadanya dan kecil seadanya. Selain Boge ria, Boge Bewa, Suku Lio juga mencatat gelar kebangsawanan Hage ria, Hage Lo'o. Tentu gelar ini juga disandang oleh seseorang yang dianggap berjasah kepada Persekutuannya meskipun tidak sebesar jasah Boge Ria, Boge bewa tadi. Walaupun demikian, kehadiran sosok - sosok ini tentu tidak bisa disepelehkan sehingga untuk menghargai jasah - jasahnya, mereka dianugerahi sedikit bagian tanah dari hasil peperangan. Selain itu sama seperti Boge ria, Boge bewa tadi, mereka juga berhak atas potongan daging babi/kerbau meskipun kecil dan seadanya dalam setiap perhelatan ritual pengukuhan pemangku adat Lio. Ini adalah sebagai bentuk pengakuan eksistensi kehadiran sosok para pejuang tersebut. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika terkadang dalam perhelatan ritual adat, kerap muncul reaksi ekstrim yang luar biasa manakala terjadi kekeliruan dalam pembagian jatah daging. Menurut pandangan penulis, ini bukan hanya sekedar onggokan daging melainkan sebagai simbol pengakuan eksistensi dari Tokoh - Tokoh ini atas jasah - jasahnya.

4. Ria Bewa: Secara harfia kalimat Ria Bewa dapat diartikan besar dan panjang sehingga kalimat ini menjadi rumusan kekuasaan yang besar dan panjang. Akan tetapi kalimat ini terkadang mengecohkan beberapa pandangan yang menjadi keliru sehingga muncul kalimat 'Mosalaki Ria Bewa'. Sebenarnya kalimat Ria Bewa itu berdiri sendiri tidak dapat disandingkan dengan kata mosalaki. Hal ini tentu didasari oleh peran Ria Bewa itu sendiri yakni sebagai Panglima tinggi dan sebagai Juru Bicara pemersatu setiap mosalaki suku Lio sehingga kekuasaan dan perannya sangat Luas. Meski Demikian, Ria Bewa tidak menguasai batas - batas di setiap tana Ulayat pada setiap kekuasan mosalaki. Ini berarti Kekuasaan Ria Bewa hanya bersifat adminisratif kewilayahan sehingga muncul istilah dalam bahasa Lio yaitu; 'Ria Tana Iwa, Bewa Watu La'e'. yang berarti Ria Bewa tidak berkuasa atas tana di seluruh wilayah teritoral Mosalaki. Selain itu Ria Bewa juga dapat juga disebut dengan istilah : "Ria to talu rapa sambu no'o ata mangu lau, Bewa to tewa rapa rega no'o ata laja ghawa", yang artinya Ria Bewa berperan sebagai penyambung lida para mosalaki disekitar tanah persekutuan Lio (Lise) dengan orang Luar yang menegaskan bahwa Ria Bewa sebagai juru Bicara tadi. Fakta - fakta ini adalah implikasi dari peranan Ria Bewa itu sendiri. Meski demikian, peran Ria Bewa juga tentu sangat Strategis dalam membangun pilar - pilar persatuan antar para sesepuh adat Lio secara menyeluruh.
Catatan; Dari semua info yang dipaparkan disini, penulis sengaja menyampaikan hanya ringkasan secara umum. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga etika dalam penyampaian informasi agar tidak terjadi perbedaan presepsi. Terima Kasih...
Sekian,

Penulis; Marlin bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Jakarta Indonesia
Sumber; Lisan

"KHAZANA KERAJINAN TANGAN WANITA ENDE LIO"

Selain hasil karya tenun, masyarakat Ende Lio pada umumnya gemar membuat anyaman dari bambu, daun lontar ataupun dari rotan. Ini adalah satu - satunya kerajinan tangan para wanita Ende Lio. Asal muasal kerajinan Anyaman adalah milik masyarakat melayu yang masih sangat di kagumi dan di gemari hingga saat ini. Konon, kemunculan kebiasaan ini di tanah Ende Lio adalah warisan secara turun temurun oleh nenek moyang bangsa melayu beberapa abad silam semenjak bangsa melayu menjejahkan kaki di pulau Flores. Ada beberapa macam jenis hasil anyaman yang tidak pernah musnah hingga kini misalnya;

1. Benga/Bote. Dalam bahasa Indonesia disebut 'Bakul', Adalah anyaman ini terbuat dari batang bambu yang sudah di potong, dibelah dan di iris sesuai ukurannya kemudian dianyam sedemikian rupah hingga membentuk sebuah bakul. Secara teknis, bakul bisa dibuat baik dalam ukuran yang besar ataupun kecil sesuai keinginan pembuatnya. Manfaat dari bakul ini adalah bisa mengisi/menyimpan benda - benda apa saja, seperti hasil komoditi dan lain sebagainya. Selain itu, dalam tradisi adat seperti 'Wuru Mana' (partisipasi dan sumbangsi untuk keluarga besar), bakul juga kerap digunahkan sebagai tempat menyimpan gabah atau beras untuk diantarkan kepada penyelenggara acara misalnya perkawinan, kematian dan sebagainya. Salah satu keunikan yang tidak akan pernah bisa ditiruh oleh masyarakat manapun didunia adalah mana kala Para wanita Ende Lio menjunjung bakul dikepalanya meskipun tidak dipegang, bakul itu seolah tidak mau beringsut dan tidak terjatuh dari kepala para wanita Ende Lio yang sedang menjunjungnya. Suatu keunikan yang tidak terduga oleh siapapun, memang hal ini terkesan enteng namun jika belum biasa, siapapun tidak akan bisa meniruhnya.

2. Kidhe - Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia artinya Nyiru. Alat ini juga terbuat dari Bambu yang dianyam dan bermanfaat untuk menampi/menyaring beras supaya bisa dimasak. Kidhe juga sering dijumpai di daerah lainnya seperti pulau Jawa, Sumatera, Bali dan lain - lain. Meski demikian, tentunya semua memiliki bentuk dan kualitas yang sedikit berbeda tergantung pembuatannya. Beberapa dekade terakhir, alat ini sudah berkembang dan dimodifikasi serta dibuat dengan plastik.

3. Nggobhe - Dalam bahasa Indonesia disebut 'Topi'. Biasanya dibuat dari daun lontar yang sudah dikeringkan. Masyarakat Ende Lio kerap memanfaatkan topi untuk melindungi kepala dari terik matahari. Model Topi yang dibuat bersayap lebar adalah contoh yang dibawahkan bangsa Portugis di tanah Flores. Pada mulanya, jenis topi yang bersayap lebar ini adalah terbuat dari kulit binatang oleh para Koboi Amerika Latin beberapa abad yang lalu, hingga akhirnya dibuat dari daun Lontar oleh wanita Ende Lio sesuai dengan ciri khas masyarakat setempat. Dalam kurun waktu beberapa dekade belakangan ini, Topi menjadi Icon dan Trend pergaulan anak muda masa kini dengan model yang sangat variatif.

4. Te'e atau 'Tikar'. Ini adalah anyaman yang terbuat dari "Re'a"atau semacam Daun Rami yang biasa tumbuh di pinggiran kali. Tentu tikar bermanfaat untuk alas tidur didalam rumah ataupun diluar rumah. Tikar dibuat sangat bervariasi karena dapat juga diwarnai menggunakan pewarna pakaian. Sama seperti 'Bakul', Tikar juga dibawah oleh bangsa Melayu ketanah Flores beberapa abad silam.

Selain benda - benda kerajinan tangan yang disebutkan diatas, beberapa tahun terakhir ini para Wanita Ende Lio juga sudah mengembangkan hasil karyanya seperti; Dompet, Tas dan Souvenir - souvenir lainnya untuk dijual. Hanya saja semua itu masih terkendala masalah kekurangan dana untuk bisa bersaing dikanca Nasional maupun Internasional. Jika saja pemerintah setempat dapat melihat dan melirik peluang ini, bukan tidak mungkin, ini bisa menjadi andalan untuk menunjang Danau kelimutu sebagai Icon Wisata Dunia.

Sekian,

Penulis, Marlin Bato (Pemerhati Budaya)
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Imprivisator & Inspirator

Gugusan Wisata Kepulauan Sunda kecil (Bali, NTB dan NTT)

Tahun 2012 Pemerintah pusat akan meluncurkan dan meresmikan Program 'VISIT LOMBOK - SUMBAWA 2012' untuk menjadikan Kepulauan Sunda Kecil yang meliputi BALI, NTB dan NTT sebagai pusat pariwisata Indonesia bertaraf Internasional. Hal ini tentu dikarenakan ketiga Propinsi ini pernah tergabung dalam satu Propinsi Yaitu Propinsi Sunda kecil. Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India. Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India. Sejumlah pulau yang kemudian
terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.

Daerah Kepulauan Sunda kecil ini dikenal sebagai daerah wisata karena keindahan alamnya yang menakjubkan. Sejak dulu telah ada yang berwisata ke daerah ini. Perjalanan Sri Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11. Pada tahun 1920 wisatawan dari Eropa mulai datang ke Bali. Bali di Eropa dikenal juga sebagai the Island of God. Di Tempat lain di Kepulauan Sunda Kecil tepatnya di daerah Nusa Tenggara Barat dikenal dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau. Kuda Nusa tenggara sudah dikenal dunia sejak ratusan tahun silam. Abad 13 M Nusa Tenggara Barat telah mengirim kuda-kuda ke Pulau Jawa. Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai tempat pariwisata raja-raja. Raja-raja dari kerajaan Bali membangun Taman Narmada pada tahun 1727 M di daerah Pulau Lombok untuk melepas kepenatan sesaat dari rutinitas di kerajaan. Daerah Sunda Kecil yang tidak kalah kayanya adalah Nusa Tenggara Timur, karena di daerah ini terdapat kayu cendana yang sangat berharga. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Cendana dari Nusa Tenggara Timur telah diperdagangkan sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Indonesia bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman/Raja Salomon memakai cendana untuk membuat tiang-tiang dalam bait Sulaiman/Salomon, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman/Salomon mengimpor kayu ini dari tempat-tempat yang berasal dari Nusa Tenggara Timur.

Kini Kepulauan Sunda kecil ini merupakan tempat pariwisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan pulau terindah di dunia. Lombok juga merupakan salah satu tempat terindah di dunia. Sementara itu di Pulau Flores, bersanding pula Pulau Komodo yang dihuni binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup hingga kini yaitu komodo. Selain itu, di pulau Flores terdapat pula danau tiga warna (Kelimutu) yang tidak kalah menariknya. Konon, diketahui Didanau ini Presiden pertama Republik Indonesia (Bung Karno) pernah bersemedi. Pada Jaman keemasan Portugis, pulau Flores juga menjadi lumbung hasil rempah - rempah seperti Palawija, Kayu manis dan lain - lain. Kepulauan Sunda kecil merupakan tempat yang misterius dan sangat menawan. Kepulauan ini bisa mendapat banyak kekayaan para pelancong dari seluruh dunia jika dikelola secara maksimal.


Oleh, Marlin Bato

NGNGGO, WANI ALAT MUSIK TRADISIONAL DAN TARI PERANG KHAS ENDE LIO

Alat Musik dan Seni tari merupakan unsur kebudayaan universal. Kebudayaan merupakan “Keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”. Itu berarti bahwa Alat Musik dan Seni tari juga merupakan hasil daya cipta manusia. Alat Musik dan seni tari ini mempunyai cikal-bakal yang amat sangat heterogen dalam rentang sejarah kultur Ende Lio. Semua jenis alat musik terkadang mencoba menjelaskan dan mendefinisikan suatu makna dengan jarak Pentagonis yang memiliki nada beberapa jenis bunyi yang kedengarannya seolah-olah alamiah, maka ia menjadi salah satu ciri khas bunyi instrument tradisional, yang alatnya terbuat dan terbentuk dari bahan yang tersedia di alam sekitarnya, seperti kayu, bambu, logam, tanduk, kulit hewan dan lain sebagainya. Selama berabad-abad, masyarakat suku Ende Lio telah diwarisi banyak kesugihan budaya dari peradaban melayu kuno. Beberapa instrumen musik yang hingga kini masih dimanfaatkan adalah Alat musik pukul 'Nggo' dan 'Wani'. Dalam bahasa Indonesia 'Nggo' disebut 'Gong' sedangkan 'Wani' disebut Waning atau Gendang atau juga Tambur.

'Nggo'
Nggo atau Gong terdiri atas 'Nggo Lamba' berjumlah empat buah yang bermanfaat sebagai pengiring derap para penari dan 'Nggo diri' berjumlah satu buah yang bermanfaat sebagai pendukung 'Nggo lamba'. Alat musik ini terbuat dari logam yang dibakar dan kemudian ditempah lalu dibentuk hampir menyerupai piringan, namun ada tonjolan didepan agar para pemusik bisa memukulnya dengan baik. Gong atau Nggo ada yang berukuran besar dan kecil yang tentunya menghasilkan nada yang berbeda - beda. Untuk menghasilkan suara yang terbaik saat dimainkan oleh para pemusik, 'Nggo Lamba' harus digantung dengan seutas tali pada kayu yang sengaja dibuat terpisah agar antara Nggo yang satu tidak bersentuhan dengan Nggo lainnya, sedangkan 'Nggo diri bisa' ditaruh dalam posisi apa saja karena 'Nggo diri' bermanfaat hanya sebagai pendukung. Sekilas, jika dimainkan oleh para pemusik lokal, nada - nada alat musik ini terkesan sangat tidak beraturan. Namun bagi masyarakat Ende Lio, setiap ketukan nada yang dimainkan mengandung makna ajakan dan spirit untuk para penari maupun pendengar supaya bisa ambil bagian dalam menunjukan ekspresinya lewat tarian.

'Wani'
Wani dalam bahasa Indonesia artinya; Waning atau Gendang atau juga Tambur. Sebenarnya alat musik ini lebih cocok disebut Tambur, karena bentuknya agak lonjong, dan mengecil dari atas kebawah seperti corong. Oleh masyarakat Ende Lio, 'waning' sengaja dibuat agak lonjong dan berbeda dari jenis manapun supaya menghasilkan suara yang lebih nyaring. Proses pembuatan waning, tergolong lebih mudah ketimbang 'Gong atau Nggo' karena alat musik ini umumnya terbuat batang pohon lontar, Rotan, dan kulit kerbau atau kulit kambing. Batang pohon lontar tadi berfungsi sebagai corong, rotan sebagai tali pengikat sedangkan kulit kerbau atau kambing tadi berfungsi sebagai pelapis dan penutup bagian atas yang nantinya jika dipukul, akan menghasilkan suara. Beberapa tahun silam dalam persekutuan suku Ende Lio, muncul pula tradisi di kampung 'Wologai' yang memanfaatkan kulit manusia sebagai pelapis dan penutup gendang. Konon, dari informasi - informasi yang diketahui bahwa alasan penggunaan kulit manusia sebagai pelapis dan penutup gendang adalah untuk menghasilkan suara yang terbaik dan lebih nyaring serta bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan kulit binatang. Menurut perspektif tradisi masyarakat Ende Lio, untuk menghasilkan nada - nada yang sempurna, Waning/Tambur harus dimainkan bersamaan dengan Gong. Kolaborasi ini adalah suatu hasil daya cipta masyarakat setempat yang sudah diwariskan turun temurun. Dalam memainkan alat musik jenis ini, pemain musik Waning/Tambur bertugas sebagai pemimpin arransement supaya setiap ketukan Gong harus selaras dengan Tambur.

'Tari Perang'
Tari, dalam bahasa Ende Lio dikenal dengan sebutan Toja, Wanda, atau Wedho. Sedangkan 'Perang' sebenarnya tidak ada kosakata yang cocok dalam bahasa Ende Lio. Namun Orang Ende Lio mengenal kata 'Wika Tana' yang berarti merebut, menaklukan, atau menguasai secara paksa sesuatu wilayah dari tangan musuh. Kata ini mengandung persaman makna dengan perang tadi. Meski demikian, kalimat yang cocok dalam bahasa Ende Lio untuk menyebut Tari Perang adalah 'Toja Napa Nuwa'. 'Napa Nuwa', Jika diterjemahkan secara harfia artinya Menunggu atau menanti Usia. Dalam pandangan Masyarakat Ende Lio, disebut 'Napa Nuwa', karena ini sangat berkaitan erat dengan 'Wika Tana', sehingga deretan sejarah suku Ende Lio mencatat, setiap laki - laki yang pulang dari medan pertempuran selalu disambut dengan tarian Napa Nuwa yang diringi dengan alat musik tradisional setempat yaitu; Nggo, Wani. Pada jaman dulu, Toja napa Nuwa ini biasanya dipentaskan oleh Para pria Ketua adat secara individual sambil mengumandangkan 'Bhea' (ungkapan untuk membangkitkan Spirit yang menunjukan kebesaran dan keperkasaan). Meski demikian, tarian ini bisa juga dipentaskan oleh para pejuang yang pulang dari medan perang akan tetapi harus dipimpin oleh ketua adat. Dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir, tarian ini dikembangkan sehingga dapat diperankan oleh siapa pun dan dikemudian dipadukan dengan tampilan para wanita Ende Lio untuk menambah semarak tarian tersebut. Walaupun demikian, perpaduan antara penari Pria dan wanita ini tentu mempunyai makna lain yaitu sebagai icon spirit untuk membangkitkan keperkasaan para Pria yang pulang dari medan pertempuran. Bagi para penari pria, busana yang dikenakan dalam tarian ini adalah: 'Ragi Mite' (kain sarung hitam bergaris, model khas lelaki), 'Lambu bara' (Baju kemeja putih), kadang - kadang juga ada yang tidak mengenakan baju, 'Luka semba' (selendang tenun khas Ende Lio semacam patola) dan 'Lesu' (kain tenun ikat kepala yang beragam coraknya) serta dilengkapi dengan atribut seperti 'Sau' (perisai), 'Topo' (parang/pedang yang panjang), Wo'o Le'e (busur panah) atau 'Tumba' (tombak). Sedangkan busana para wanita terdiri dari; 'Lawo' (sarung yang berwarna coklat dengan motif yang beragam), 'Lambu Nua' (baju bodo ciri khas Ende Lio), 'Luka semba' (selendang tenun khas Ende Lio namun mempunyai motif yang berbeda dari lelaki).

'Tari Perang' dan 'Nggo Wani' adalah perpaduan antara seni tari dan seni musik khas Ende Lio yang saling berkaitan erat sehingga keduanya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat. Ritme - ritme yang dilantunkan oleh 'Nggo Wani' seyogyanya menjadi alur untuk mengatur gerakan para penari sehingga, para penari sebagai lakon dalam tarian ini dapat meluapkan ekspresinya dengan sangat baik sekali. Selintas, tarian perang dan nada - nada 'Nggo Wani' ini seolah sangat tidak beraturan dan tanpa arti, akan tetapi, sesungguhnya Tarian Perang dan alat musik 'Nggo Wani' ini telah menjelaskan secara gamblang bahwa setiap jejak - jejak kisah sejarah Ende Lio adalah Suatu Peradaban yang mengandung kelampauan, kekinian dan juga yang akan datang.

Sekian,

Penulis; Marlin Bato (Pemerhati budaya)
Mahasiswa Univ. Bung karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber, Lisan Inspiratif

GAWI, IRAMA SODHA DAN NUSA NIPA

Informasi ini untuk meralat artikel beberapa waktu lalu yang berjudul 'GAWI DAN IRAMA SODHA' yang mana menurut beberapa sumber, masih harus diperbaiki lagi pada poin2 penting supaya tidak ada pemahaman yang keliru. Akhirnya setelah digali lebih dalam keberbagai sumber, Pihak Admin Ende lio berhasil mendapatkan informasi yang cukup akurat. Thanks..


Pada perhelatan akbar ritual adat Mbama, masyarakat Lio mengenal Gawi. Gawi dalam bahasa Indonesia dapat disebut juga dengan kata, 'TANDAK. Secara harfia kata tandak bermuara pada kata bertandak yang berarti Berkunjung, mengunjungi, menyatukan hati, langkah dan pikiran. Makna inilah yang menjadi dasar untuk menyebut GAWI sebagai TANDAK dari daerah Ende Lio. Sama halnya dengan tandak tadi, dalam tarian gawi pun kita yang terlibat dalam ritual tersebut berkewajiban saling bergandengan tangan, menyatukan hati, hentakan kaki serta mempuyai pikiran yang sama disaat mengikuti tarian tersebut dan tidak boleh melepaskan tangan sampai upacara tarian gawi tersebut selesai. Selain itu, kita hanya dapat melepaskan tangan kita pada saat kita hendak beristirahat. Tarian Gawi adalah satu - satunya tarian khas masyarakat Lio yang tertua dan dipimpin oleh seorang penyair yang ditunjuk para sesepuh adat. Dalam bahasa adat Lio penyair ini dapat disebut 'ATA SODHA'. Uniknya, untuk menjadi seorang penyair, seseorang harus mendapatkan Ilham secara khusus karena penyair (Ata Sodha) tidak boleh membaca teks atau catatan pada saat upacara gawi sedang berlangsung. Ini berarti penyair tersebut harus benar - benar menguasai alur - alur bahasa adat yang di nyanyikan dalam sebuah aliran lagu adat yang dikenal dengan 'SODHA'. Dalam Beberapa ritual adat Mbama, tarian gawi ini kerap diisi dengan 'BHEA' oleh para sesepuh atau dalam hal ini Mosalaki sebagai pemegang tampuk kuasa tertinggi didalam masing - masing wilayah persekutuan Lio. BHEA, kalau diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti; Sebuah ungkapan bahasa adat Lio yang bersifat seruan untuk membangkitkan spirit sebagai tanda untuk menunjukan kebesaran, keperkasaan dan kemenangan. Dalam beberapa pandangan GAWI/TANDAK sebenarnya adalah ritual ibadat, dalam agama asli suku Lio. Di sini, sodha menyanyikan sejarah suku dan ajaran - ajaran moral, yang sebenarnya adalah 'Kitab Suci' lisan agama tersebut. Di beberapa tempat dalam persekutuan Lio, pada saat ritual adat GAWI, ATA SODHA mengenakan pakaian wanita (lawo-lambu). Hal ini sudah terjadi secara turun temurun karena ada kecenderungan di berbagai agama asli, bahwa 'pendeta' agama tersebut haruslah orang yang banci/ wadam. Ini menunjukan orang Lio mempunyai ciri khas yang sama dengan Tolotang di Bugis, Aluk di Toraja, atau beberapa agama asli di NTT. Filosofinya, orang yang banci adalah orang yang paling murni dari masyarakat dan dapat mewakili kedua jenis kelamin, sehingga paling layak mewakili masyarakat dalam berhubungan dengan Dewa. Dalam GAWI, lingkaran penari berbentuk spiral, bukan lingkaran utuh, dan yang lebih unik lagi menyerupai ular. Penari di bagian ekor bergerak paling lincah, selincah ekor ular. Ini melambangkan kepercayaan setempat akan ular besar yang setia menjaga mata air kampung sebagai sumber kehidupan. Jangan heran, kalau orang Lio berperang, mata air adalah tempat yang paling dilindungi. Bentuk lingkaran spiral ini adalah kekhasan GAWI, karena di tempat lain tandak selalu berbentuk lingkaran utuh. Dalam ritual Gawi, wanita selalu berada di posisi luar, bukan di lingkaran dalam. Alasannya karena berdasarkan tradisi orang Lio bahwa orang Lio selalu menganggap laki-laki sebagai ('Dari Nia Pase Lae') Generasi penerus yang harus berdiri di garda terdepan sebagai pelindung dan pengayom kaum wanita. Ini penghormatan kaum perempuan kepada kaum laki-laki sebagai sumber kekuatan dan perlindungan, yang diyakini melindungi wanita. Sebaliknya laki - laki menganggap wanita sebagai sumber kehidupan dan mata air yang harus dilindungi layaknya seekor ular raksasa yang melindungi seluruh rangkaian daratan Flores yang dikenal dengan julukan 'Nusa Nipa'. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau kata 'Nusa Nipa' berasal dari bahasa Lio yang berarti Pulau Ular. Salah satu bukti pengakuan orang Lio terhadap Nusa Nipa adalah Pada jaman dulu, orang Lio tidak pernah membunuh ular, bahkan terkadang jika bertemu Ular, orang Lio selalu membentangkan kain selendang sebagai wujud penghormatan. Dari semua rentetan ritual adat orang Lio, Gawi/tandak adalah ritual puncak. Banyak agama asli menggunakan ritual semacam gawi/tandak itu sebagai ibadat puncaknya. Contohnya adalah JingiTiu di Sabu (padhoa), Marapu di Sumba, Aluk to Dolo di Toraja (Ma'badong), bahkan, orang Yahudi ortodoks berdoa dengan cara tersebut di tembok ratapan. Mungkin ini bisa berarti bahwa ritual seperti itu sudah sangat tua sekali usianya, atau bukti bahwa manusia memiliki kecenderungan yang sama dalam menghayati kosmos. Selain itu Masing - masing suku di Flores memiliki ciri musik dan tangga nada khas. Sebagai contoh, suku Lio memiliki tangga nada berciri tritonus, yaitu berjarak empat nada berjarak satu laras berurut, yang tidak ada duanya dengan di tempat lain. Kalau dibunyikan, akan seperti nada fa-sol-la-si, bukan do-re-mi-fa atau sol-la-si-do sebagaimana lazimnya tangga nada diatonik, atau do-mi-fa-sol seperti pentatonik lazim. Sayangnya, irama asli seperti ini hilang begitu saja oleh irama yang lebih populer, seperti dangdut, reggae,dll, yang dibungkus dengan sekedar bahasa daerah sebagai syair. Mungkin, irama asli hanya bisa didengar jika menikmati Gawi di tempat - tempat seperti Jopu, moni, tenda atau Watuneso dalam cakupan luas (lise nggonde ria). Generasi muda perlu dididik kembali untuk mengerti keaslian tersebut sebagai kekayaan kultural, mungkin dengan memasukkan materi musik daerah sebagai mata pelajaran sekolah, atau menggiatkan sanggar - sanggar musik daerah. Bahkan lagu - lagu 'Gawi' yang kini populer lebih berciri slow-rock ketimbang asli Lio. Ini juga terjadi di daerah - daerah lain. Sepertinya, kita lebih suka menikmati musik asing dengan sekedar membungkusnya lewat syair berbahasa daerah, tapi kehilangan jati-diri musik pribumi. Komponis yang setia menjaga keaslian irama sepertinya tidak ada. Sebagai generasi Flores, anda ditantang untuk menggunakan kembali musik aslinya. Jika tidak, musik khas Flores tidak akan pernah ada. Menurut pandangan seorang Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) mengakui bahwa orang Flores mempunyai ciri khas musik yang sangat unik dari etnis mana pun di seluruh pelosok nusantara. Yang menjadi pertanyaan sekarang; Mengapa orang Flores sendiri tidak bisa mempertahankan nilai - nilai luhur yang sudah di wariskan ?

Terima kasih.........

Penulis, Marlin Bato (pemerhati budaya)
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fakultas Hukum
Jakarta Indonesia
Narasumber;
Franz A. Thomas Ire (Makasar)
Marlin Bato

Jumat, 12 Maret 2010

Legenda Asal Mula Padi (Bobi, Nombi)

Mosalora Hebesani 04 Maret jam 9:52
Cerita Masyarakat Ende Lio, Flores NTT.

Konon, Adalah dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya
yatim-piatu dan tunawisma. Untuk menyambung hidup keduanya mengemis kesana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah masa kemarau yang amat panjang. Oleh karena lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat. Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar itu telah melakukan perbuatan mesum (incest), padahal keduanya sekandung. Pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan Nombi. Atas perintah Mosalaki, "tuan tanah", Bobi dan Nombi segera akan ditangkap. Namun entah kenapa kedua anak itu tiba - tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun terus mencari kedua anak itu keberbagai penjuru kampung.
Pengkajian atas fenomena ritual perladangan dalam komunitas Etnik Lio-Ende tidak dapat dipisahkan dari mitos tentang keberadaan padi ladang sebagai tanaman utama masyarakat setempat. Mitologi padi tergolong cerita tua dan sastra suci yang menjadi kebanggaan masyarakat Lio-Ende. Kendati tidak banyak lagi yang mampu mengisahkannya kembali secara literer, karena tidak ditulis dan direkam, mitologi padi menjadi objek kajian yang menarik. Dikatakan demikian karena budaya padi ladang dalam masyarakat setempat, seperti kerap disinggung sebelumnya, berbeda dengan budaya padi sawah. Budaya dan teknik padi sawah hadir di daerah Lio setelah diperkenalkan oleh Raja Pius Rasi Wangge pada tahun 1920-an (lihat Sunaryo et. al. 2006). Ada perbedaan sikap dan perilaku dalam menanam, memelihara, dan menuai padi sawah dibandingkan dengan budidaya padi ladang. Budidaya padi sawah, selain memang menggunakan sumber daya air, memanfaatkan varietas padi sawah yang didatangkan dari luar misalnya pare sego 'padi saigon', penanaman, pemeliharaan, dan pemanenannya tanpa ritual tertentu kendati sebagian warga petani pesawah ada juga melakukannya. Sejumlah ritual atau upacara dalam kehidupan perladangan dan kehidupan manusia pun hanya beras yang berasal dari padi ladang saja yang diperkenankan untuk disajikan dan dijadikan sarana ritual. Dengan kata lain, nasi dari beras luar dianggap tidak sah. Mitologi Padi Ladang Lio-Ende Salah satu karya sastra suci dalam khazanah sastra Lio, khususnya yang menjadi bagian tak terpisahkan dalam jiwa dan semangat peladang Lio-Ende adalah mitos Ine Pare "Dewi Padi" yang berjudul Bobi no'o Nombi, "Bobi dan Nombi". Bagi komunitas peladang Lio-Ende, pelbagai ritual dalam lingkaran hidup perladangan tradisional bersandar dan bersumber pada kandungan makna pesan, amanat suci, dan ideologi di balik cerita suci Ine Pare. Betapa dalamnya makna ideologi yang terkandung di balik mitos itu pula, nama sang "penjelma" dan "tumbal" padi asli itu kemudian diabadikan menjadi nama gedung pertemuan Ine Pare di Jalan El Tari Ende. Kesadaran akan kekayaan nilai dan kepatuhan melaksanakan amanat ideologi yang terkandung di balik mitos itu harus diakui masih dimiliki oleh sejumlah kecil generasi peladang tua, sedangkan generasi muda Lio-Ende dewasa ini sudah kurang menyadarinya lagi.
Di episode mendatang akan dikupas sinopsis mitos Ine Pare versi "Bobi dan Nombi", yang diturunkan dari Keli Nida atau Keli Ndota.



Oleh, Marlin bato
Sumber Inspirator, Edison Wara
WANES-LISE

MBATA ( PEMUKULAN TAMBUR DAN GONG )

Mosalora Hebesani 22 Februari jam 18:45
Oleh : Mr.Dus.
For Everyone.

Mbata atau Pemukulan Tambur dan Gong di kampung Wolomboro dan wae soke Desa Bamo kec.Kota Komba Kabupaten Manggarai Timur.Flores.NTT.
Kehidupan orang-orang dikampung ini sangat sederahana dan masih berpegang teguh pada Adat. Sehingga selalu mengadakan pesta Adat setiap tahunnya. Ritual terbesar yang diadakan di kampung wolomboro yaitu acara peringatan kematian Nenek Moyang, dimana seluruh Masyarakat dari kampung; Pandoa, Bamo, Mbero, Sere, Watu nggong, Nanga Rawa, Wolobaga, wae Soke, Wae Kutung dan Wokopau, semua berkumpul dalam satu rumah adat dan masing-masing suku atau kilo /Clan membawah hewan kurban, Tuak/ Arak dan beras.

Pada acara ini mengorbankan hewan yang banyak, dan pada malam hari diadakan "Mbata"Acara pemukulan Tambur dan gong dengan menyanyikan lagu-lagu Traditional sepanjang malam, dengan tujuan memohon restu kepada semua makhluk penjaga tanah agar acara pemotongan hewan dan memberi makanan kepada nenek moyangnya dapat berjalan mulus tanpa ada halangan atau percecokan antar suku.
Semua orang tua atau para toko adat duduk selengka ( Lonto leok dalam bahasa setempat) Maksudnya duduk membentuk lingkaran di atas tikar ( Te'e/ loce = dalam bhs daerah setempat) dan para toko adat masing-masing memegang satu gendang dan yang lainnya memegang Gong.
Sebelum di adakan Pemukulan gendang atau mbata ini, di adakan Pa'u Manuk yaitu pemotongan ayam jantan yang diawali dengan komat-kamit mulut dalam bahasa daerah setempat agar semua sepakat duduk sampai Ayam berkokok dalam arti sampai pertanda pagipun tiba.

Menurut kepercayaan dari kampung ini, pada saat Tambur dan Gong dibunyikan pada malam hari, semua arwah orang yang telah meninggal mendengar, datang dan hadir pada malam itu. Sehingga pada saat pemukulan Tambur memiliki dua irama; Mbata dan Tete ndere.
Mbata irama pukulannya pelan dengan menggunakan telapak tangan di iringi dengan nyanyian yang lambat didalam bahasa daerah oleh wanita dan pria. Lagu-lagu adat/ daerah ini kalau kita terjemahkan kedalam bahasa Indonesia kedengarannya sangat lucu karena susunan kalimatnya tidak beraturan, Singkatnya banyak menceritakan kegiatan-kegiatan dari nenek moyang mereka di sejak dulu kala.

Sedangkan Tetendere irama pukulannya cepat sebagai tanda kebahagiaan tanpa nyanyian dengan menggunakan stick atau kayu khusus yg dibuatnya untuk memukul tambur yaitu pada waktu malam menjelang pagi sebagai penutup dari Mbata. Selesai melakukan tetendere ini tidak boleh lagi melakukan pemukulan mbata, jika ada yg melakukannya harus diadakan pemtongan Ayam jantan atas kekhilafannya tadi. Kadang-kadang bisa mendatangkan malapetaka yang sangat besar bagi keluarganya ini menurut kepercayaan mereka dan hal ini benar-benar terjadi di lingkungan adat tersebut.
Di Kampung ini Tambur dibuat dari Kulit Kambing atau kulit Sapi yang sudah kering. Proses atau cara membuatnya membutuhkan waktu yg cukup lama, bisa 4-5 tahun menuggu kulit sapi atau kambing ini benar-benar kering sehingga menghasilkan tambur /gendang dengan suara yang nyaring di dengar.

Mr.Dus.
Pariwisata Boy.
WANES-LISE

Kelimutu, Danau Para Arwah

Mosalora Hebesani 12 Maret jam 1:52 
Begitu kayanya legenda dan pesona magis Kelimutu, membuat yang orang pernah datang ingin selalu kembali ke sana. Lahirnya mitos tentang nama Kelimutu telah mendunia sejak tiga abad lalu, di masa pendudukan kolonial Belanda di nusantara. Meskipun tak banyak, ada saja orang Belanda dan Eropa yang mengunjungi Kelimutu. Pesona Kelimutu terletak pada tiga danau warna yang menghuni kawah gunung setinggi 1600 m ini. Ketiga danau ini memiliki warna yang berbeda, dan selalu berubah secara berkala. Menurut 'Usmar Baharmin', lelaki yang sudah puluhan tahun bekerja di Pos Pengamatan Gunung Api Kelimutu, di tahun 1960-an, warna itu adalah putih, hijau, dan biru. Ketika di awal 1990-an, warnanya menjadi hitam, hijau terang dan merah kecoklatan. Namun kini sudah menjadi hitam, hijau kebiruan, dan biru kehitaman. Perubahan warna ini diperkirakan terjadi karena perubahan kandungan mineral yang terdapat di dalam danau. Namun dia tak bisa menyebutkan mineral apa saja itu, karena penelitian tentang hal itu masih terbatas. Menurutnya, pernah ada dua orang asing mencoba meneliti air danau dengan menurunkan sebuah perahu ke danau di kedalaman sekitar 50 m. Namun keduanya raib entah kemana. Penjelasan 'Baharmin' mungkin bisa memuaskan keingintahuan wisatawan. Namun tidak bagi penduduk setempat karena bagi penduduk setempat banyak kisah misteri yang menyelimuti kehidupan danau kelimutu. Mereka lalu mencari jawab keajaiban Kelimutu sejak berabad lalu, jauh sebelum ilmu pengetahuan berkembang, dan melahirkan aneka mitos dan legenda yang unik dan menawan. Sebuah legenda yang mereka percayai adalah Kelimutu sebagai danau para arwah. Menurut masyarakat adat Ko’anara penduduk asli yang menghuni desa-desa di kawasan Gunung Kelimutu-ada tiga jenis arwah orang mati. Yaitu arwah mereka yang berbuat kebaikan di dunia, arwah para pendosa dan penjahat, serta arwah anak-anak dan remaja yang masih bisa mendapatkan pengampunan di akhirat. Ketiga jenis arwah ini menempati tiga danau di kawah Kelimutu. Danau hitam dihuni oleh arwah para pendosa, danau hijau untuk arwah anak-anak, dan danau merah untuk arwah orang suci. Sebelum menuju surga atau neraka, arwah ini akan menunggu di ketiga danau. Untuk menguatkan legenda yang ada, penduduk lalu mencari penjelasan logis dengan menghubungkan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Dalam pemikiran Barnabas, pria yang tinggal disekitar lokasi, “Danau putih itu berubah menjadi hitam saat terjadi pemberontakan PKI tahun 1965, karena banyak orang jahat yang dibunuh,” kisahnya. Dia juga menghubungkan perubahan warna danau hijau menjadi merah saat terjadi pembunuhan massa PDI tahun 1996 lalu, ketika banyak orang tak berdosa menjadi korban. Beberapa waktu yang lalu, masyarakat sengaja membuat papan yang bertuliskan;

Jangan mengambil sesuatu kecuali gambar (Indonesia)
mae medi mai rewo ta menga gambar foto (Lio)
dont take anything axcept picture (Inggris)

Jangan membunuh sesuatu kecuali waktu (Indonesia)
mae tau mata rewo ta menga nala/hibu (Lio)
dont kill anything axcept time (Inggris)

Jangan meninggalkan sesuatu kecuali jejak (Indonesia)
mae welu tau rewo ta menga lae/ola (Lio)
dont leave anything axcept step (Inggris)

Tulisan ini dimaksudkan untuk menjaga keselamatan para wisatawan.

Ko'anara..
Bagi orang-orang Ko’anara, Legenda Kelimutu tak lepas dari keberadaan Desa Adat Moni dan masyarakat adat Ko’anara sebagai penghuni pertama tanah leluhur ini. Mereka adalah keturunan suku bangsa Lio yang banyak tersebar di Kabupaten Ende. Orang Ko’anara mendiami desa-desa di pucuk gunung seperti Mboti dan Pemo, di sepanjang jalan raya seperti Moni, Wolowaru, hingga ke pedalaman yang jauh di Potu, Woloara, Jopu, Wolojita, dan Nggela. Ada pula yang tinggal di kota, bahkan di luar pulau. Keterikatan pada tanah leluhur membuat mereka selalu kembali tatkala digelar upacara adat. Tentu saja sambil membawa upeti seperti babi, kerbau, dan kuda, yang melambangkan kesetiaan sekaligus keberhasilan mereka hidup di rantau. Konon, orang Ko’anara adalah keturunan jin dalam bahasa Lio disebut 'Ine leke', karena nenek moyangnya menikah dengan putri dari bangsa jin (ine leke). Mereka kemudian disebut 'ine ema' (ibu bapak), atau embu mamo (nenek moyang) dan menurunkan orang-orang Moni. Itu sebabnya penduduk Kelimutu percaya memiliki kekuatan spiritual yang besar, sehingga berbagai upacara adat yang digelar penuh dengan nilai magis. Embu Mamo (nenek moyang) tinggal di sa'o ria, rumah adat yang terbuat dari kayu. Kini situs rumah adat ini masih bisa kita saksikan di Desa Moni, yang menjadi pusat kebudayaan Ko’anara. Di sa'o ria (rumah adat) tinggal beberapa keluarga tetua adat (mosalaki). Para tetua adat pun sering berkumpul di sini. Namun mereka juga kerap menggunakan (h)keda (h)kanga (halaman rumah adat) yang berada di depan rumah adat, untuk bermusyawarah. Misalnya, saat akan menggelar upacara adat. Makam leluhur orang Ko’anara juga terdapat di kompleks situs. Jalan menuju makam berupa batu-batuan yang ditata mirip anak tangga, dan melambangkan tingkatan masyarakat Ko’anara di masa lalu. Batu pertama melambangkan pintu gerbang pertama. Sebagai penghormatan terhadap arwah leluhur, pengunjung biasanya meletakkan sesaji berupa rokok di sini. Batu terakhir merupakan jalan menuju pimpinan tertinggi Ko’anara, sang leluhur. Kini, keturunannya menghuni kuburan umum jika meninggal. Namun beberapa keluarga tetua adat (mosalaki) masih ada yang mengawetkan tulang-belulang kepala keluarganya jika meninggal. Tulang belulang ini disimpan di sebuah peti yang tertutup, lalu diletakkan di rumah kecil (bhaku) yang dibuat khusus untuk menyimpan tulang belulang nenek moyang yang sudah meninggal, bersama barang-barang berharga seperti gading gajah, emas, perhiasan, atau pakaian. Namun raibnya beberapa barang berharga dan sepasang tulang lelaki-perempuan berumur ratusan tahun, membuat kebiasaan ini mulai ditinggalkan.

Tarian ritual minta hujan..
Mayoritas orang Ko’anara hidup dari bertani. Tanah di kaki gunung Kelimutu amat subur. Tak hanya menumbuhkan padi, ubi, dan jagung, tapi juga coklat, cengkeh, moke dan lain - lain. Sayangnya hal ini tak mampu mengangkat ekonomi penduduk setempat. Kemiskinan merajalela akibat angka kelahiran yang tak terkendali dan lain sebagainya. Kucuran dana bantuan dari swasta dan pemerintah kerap disunat aparat pemerintahan setempat. Air sebagai sumber kehidupan yang melimpah pun sulit didapat, karena pengelolaannya tak efisien. Maka, hujan menjadi satu-satunya harapan mereka. Meskipun puluhan ribu turis datang setiap tahun terhipnotis oleh keindahan Gunung Kelimutu, namun berkah pariwisata ini hanya bisa dinikmati pemilik losmen, restoran, dan pemodal saja. Mayoritas penduduk cuma menjadi penonton sambil sesekali menawarkan kopi atau teh panas. Mungkin itu yang membuat mereka begitu antusias setiap kali digelar upacara adat. Mereka berharap arwah nenek moyang akan membantu mereka. Mayoritas pemeluk agama Katolik ini memang memiliki ikatan yang kuat dengan arwah leluhur. Salah satu upacara adat yang penting adalah upacara memohon hujan (po'o are/po'o bhoro). Tatkala kemarau amat panjang, bencana kelaparan pun siap mengancam. Lumbung padi desa tak selalu bisa diharapkan. Maka para tetua adat segera berkumpul di rumah adat (sao' ria) untuk menentukan waktu upacara. Bambu berisi beras dan dilumuri darah babi segera dibakar di dalam tungku. Jika bambu meledak dan meninggalkan serpihan yang rapi, maka upacara segera digelar. Jika tidak, pembakaran bambu akan diulang lagi. Ketika upacara dimulai, kepala adat akan mengisi saga, tugu persembahan dengan sesaji berupa bunga tembakau, dan dupa. Begitu dupa terbakar, kepala adat membaca mantra diikuti oleh pemukulan 'dhou dha', alat musik dari kayu. Lalu para gadis segera menari, menantang teriknya mentari di siang bolong. Tarian berhenti ketika hujan mulai turun. Konon, tarian hujan inilah yang membuat tanah Kelimutu tetap subur, dan para arwah kerasan bersemayam di tiga danaunya, karena airnya tak pernah kering.
Saved