Selasa, 15 September 2015

Menikmati pancaran warna ketiga Danau Kelimutu


Belum ke Flores kalau tidak ke Kelimutu. Ungkapan klasik yang menunjukkan sebuah ikon pariwisata yang wajib dikunjungi bila bertandang ke sebuah daerah.
Begitu juga saat saya menyambangi Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada di Pulau Flores, akhir tahun lalu. Kelimutu merupakan lokasi yang wajib dikunjungi, meskipun tak ada dalam jadwal perjalanan resmi saya.
Saya berkesempatan ke Pulau Flores untuk mengikuti kegiatan pemugaran situs Bung Karno di Ende oleh Wapres Boediono menjelang tutup tahun 2010. Karena jadwal penerbangan dari Ende ke Kupang lalu ke Jakarta sangat terbatas, kami tidak bisa langsung kembali ke Ibu Kota begitu seluruh kegiatan selesai. Akhirnya diputuskan untuk mengunjungi Kelimutu sebelum bertolak ke Jakarta.
Saya hanya punya waktu kurang dari setengah hari untuk menikmati pesona danau tiga warna Kelimutu yang pernah diabadikan dalam lembaran uang kertas Rp5.000 terbitan tahun 1992.
Kelimutu merupakan danau vulkanik yang terbentuk dari aktivitas gunung berapi dan merupakan kawah aktif. Tiga danau ini berada di kepundan Gunung Kelimutu yang berada 1.690 meter di atas permukaan laut.
Danau terbentuk di puncak gunung akibat aktivitas vulkanik. Namun, tentunya setiap kawah mempunyai pesona dan keunikan tersendiri.
Yang selalu membuat penasaran para pelancong, Kelimutu mempunyai tiga danau dengan warna berbeda dan selalu berubah, yaitu warna biru, putih dan merah. Dua diantaranya letaknya sangat berdampingan. Satu danau lagi berjarak sekitar 1,5 km. Masyarakat setempat meyakini warna-warni tersebut mempunyai makna tersendiri.
Begitu juga setiap terjadi perubahan warna, selalui dimaknai sendiri oleh penduduk yang masih menganggap daerah Kelimutu sebagai kawasan yang angker dan penuh misteri. Namun, secara ilmiah, warna danau sangat ditentukan oleh kandungan mineral, pengaruh biota jenis lumut dan batu-batuan di dalam kawah tersebut serta pembiasan dari cahaya matahari.
Dari pusat kota Ende, jarak ke Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu sekitar 65 km. Namun, perjalanan darat ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam karena jalur jalan yang berkelok-kelok. Lebar jalan juga hanya cukup untuk satu kendaraan. Namun, kondisi permukaan jalan lumayan bagus, tidak banyak berlubang meskipun tidak mulus seperti di jalanan kota.
Saya menyewa kendaraan, karena itu pilihan terbaik. Jika menggunakan kendaraan umum, bisa menggunakan bus kota jurusan Ende-Maumere yang jumlahnya juga terbatas.
Wisatawan asing atau domestik yang ingin bertualang, umumnya menggunakan opsi ini. Menggunakan kendaraan umum hingga titik persimpangan di Kampung Moni, kemudian berjalan kaki. Sebagian wisawatan juga biasanya berangkat dari Maumere yang berjarak 84 km.
Hal utama yang perlu diperhatikan adalah waktu berkunjung. Menurut warga Ende yang mengantar rombongan kami, disarankan untuk tidak pergi pada siang atau menjelang sore hari karena biasanya kawasan danau diselimuti kabut. Jika sudah begitu, jangan harap bisa menyaksikan keindahan warna danau.
Maka waktu terbaik adalah dini hari. Saya pergi dari pusat kota Ende pukul 04.30 waktu setempat dan tiba pada pukul 06.15. Sebagian wisatawan juga biasanya menginap di Kampung Moni, perkampungan penduduk terakhir yang terletak di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru, sekitar 13 km dari puncak gunung. Ada beberapa penginapan yang bisa disewa dengan tarif terjangkau.
Sepanjang perjalanan Anda akan disuguhi pemandangan hutan berbukit dengan dominasi pohon pinus dan cemara.  Tidak terlalu banyak perkampungan penduduk mendekati lokasi. Terkadang Anda akan dihadang oleh babi hutan yang sengaja dipelihara warga, atau lembu dan sapi yang sedang digembala dipinggir jalan berbukit dan terjal.
Begitu sampai digerbang pintu masuk, Anda diharuskan membayar tiket Rp2.500 per orang. Tarif tiket ini tak pernah naik sejak 1998, yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah. Kemudian perjalanan dilanjutkan beberapa kilometer lagi hingga ke lokasi parkir.
Di lokasi parkir kendaraan, beberapa warga setempat menjual kain tenun ikat lio, dan membuka warung kopi dan mi instan alakadarnya. Keberadaan warung ini sangat membantu bagi pelancong yang pergi dini hari dan belum sempat sarapan. Apalagi sepanjang jalan sangat sulit menemui warung apalagi toko. Kain tenun ikat juga bisa menjadi cendera mata yang menarik karena dijual dengan harga lebih rendah dibandingkan membeli kain ikat di bandara atau di kota.
Dari tempat parkir, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 1 km dengan waktu tempuh 30 menit. Tak menyesal saya menggunakan jaket tebal. Suhu pagi hari waktu itu cukup dingin dan segar namun tak sampai membuat badan menggigil, sangat berbeda dengan suhu di pusat kota Ende yang panas dan membuat badan cepat berkeringat kemudian lengket.
Pertamakali, Anda akan menemui dua danau yang berimpitan. Saat itu kedua danau itu berwarna hijau dan biru muda atau biru langit.  Anda bisa menyaksikan keindahan pancaran warna air hingga bibir danau. Pagar pembatas tetap tak membuat para pelancong untuk tidak nekat menerobos dan mengambil view terbaik untuk berfoto.
Kelimutu berasal dari kata keli yang artinya gunung danmutu yang berarti mendidih. Kelimutu sudah ditetapkan menjadi taman nasional dan konservasi alam pada 1992. Luas ketiga danau itu sekitar 1,05 juta meter persegi dengan volume air 1,29 juta meter kubik. Batas antardanau adalah dinding batu sempit dan mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 meter hingga 150 meter.
Warga setempat meyakini ketiga danau itu merupakan tempat arwah bersemayam yang sudah meninggal. Danau pertama yang kami lihat berawarna biru disebut tiwu ata polo atau tempat arwah orang yang sering melakukan kejahatan. Luasnya sekitar 4 hektare dengan kedalaman 64 meter. Biasanya danau ini berwarna merah.
Danau kedua saat itu berwarna hijau yang dinamai tiwu nua muri ko’o fai atau tempat arwah para pemuda dan pemudi.  Pagi itu, warna danau cerah. Waktu dihabiskan untuk mengambil foto. Beberapa wisatawan juga berasal dari Jakarta. Mereka berasal dari perusahaan BUMN yang juga ikut kegiatan Wapres Beodiono selama di Ende yang juga ingin menyempatkan keunikan danau tiga warna itu. Dua orang wisatawan asing juga terlihat. Mereka bahkan berjalan kaki dari Kampung Moni.
Satu danau lagi yang biasanya berwarna biru di sebelah barat. Loaksinya terpisah. Warga memberi nama tiwu ata mbupu atau tempat arwah para orang tua.

Wisawatan harus menempuh waktu sekitar 30 menit lagi dengan kondisi jalan yang menanjak untuk menuju puncak gunung dan menyaksikan danau ketiga.