Jumat, 12 Februari 2010

PELEPATA SARA LIO (PEPATAH BAHASA LIO)

30 Januari jam 17:44 
Sebagai suku yang paling dominan, tentu orang Lio (Ata Lio) juga mempunyai bahasa untuk percakapan sehari - hari yaitu Sara Lio (Bahasa Lio) selain bahasa Indonesia. Suku Lio mempunyai wilayah persekutuan dalam cakupan yang sangat luas sekali yaitu dari Nanga Ba (Ujung barat perbatasan Kabupaten Ende) sampai Nanga Blo (Sebagian Wilayah administrasi kabupaten Sikka). Sara Lio terdiri dari beberapa macam dialek yang sangat unik. Selain dialek, orang Lio cenderung mengucapkan Sara Lio dengan Intonasi yang beragam pula. Hal ini tentu dikarenakan Suku Lio juga terbagi dalam beberapa wilayah persekutuan yang mana setiap wilayah mempunyai dialeknya sendiri misalnya; Ata Mego, Ata Mbengu, Ata Lise, Ata Mbuli dan Ata Lio Ende dll. Meski demikian, perbedaan ini tidak menjadi penghalang bagi masyrakat Lio untuk berinteraksi karena pada dasarnya Bahasa Lio mempunyai makna yang hampir sama dan juga dikenal sebagai bahasa pemersatu. Bahasa Lio, atau kalau saya lebih suka menyebut sebagai bahasa ibu. Bahasa yang ibu kita ajarkan ketika kita masih belia. Bahasa sehari-hari sebagai sarana interaksi kita kepada orang disekitar tempat tinggal kita. Dalam Sara Lio, kita mengenal istilah 'Pelepata', atau 'Basa Waga'. Ya.. Pelepata/basa waga, yang kalau didefinisikan kedalam bahasa Indonesia Artinya (Peribahasa) 'makna kiasan'. Pelepata biasanya terdiri dari satu kalimat atau lebih, dan tergolong kalimat yang unik untuk orang Lio, karena selain sulit untuk dipahami maknanya pun sangat beragam. Pelepata/basa waga juga mengandung petuah, wasiat atau ungkapan kegembiraan atau menggambarkan filosofi seseorang dan lain sebagainya. Oleh karena itu Pelepata/basa waga, biasanya hanya dipergunakan pada saat seremonial adat dilaksanakan atau pada momen - momen tertentu saja. Bahasa - bahasa 'pelepata' ini juga kerap digunakan oleh para penyair (Ata Sodha) dalam bentuk nyanyian (kidung agung) atau syair pengiring (Oro) dalam ritual adat Gawi seperti yang terdapat dalam kitab - kitab taurat. Makanya tidaklah heran ada beberapa kalangan menilai Adat istiadat dan budaya Lio adalah Agama asli orang Lio itu sendiri.
Berikut ini beberapa petikan pelepata/basa waga;

1. Bhoti kale ana halo, Fai walu raka mbale. Yang berarti; Yatim piatu dan para janda harus dilindungi dan dijamin hak hidupnya oleh adat (pemerintah) supaya mendapatkan kehidupan yg layak.

2. Dari Nia Pase La'e. Yang berarti; Laki - laki harus berdiri di garda terdepan menggantikan generasi terdahulu (ayah/leluhur) dengan maksud untuk melindungi keluarga besar.

3. Ndeto peto, Au Ila. Ndeto Peto pate ndeto, Au Ila Poka Au. Kalimat ini mengandung ungkapan yang menunjukan kebesaran dan kemenangan. Secara harfia di terjemahkan sebagai berikut; 'Ndeto peto Au Ila' adalah nama sebuah Senapan (senjata api warisan leluhur yang diyakini mempunyai daya magis) Disisi lain, kata 'Ndeto dan Au' juga menggambarkan sosok seseorang. Pada hal kata 'Ndeto' itu adalah nama sejenis tumbuhan yang bisa menimbulkan alergi kulit dan 'Au' itu adalah nama sejenis Bambu Aur. Jadi jika di definisikan berarti; 'Ndeto peto pate Ndeto' = Ndeto peto/Senjata (Menggambarkan seseorang sebagai subyek) tersebut akan memotong/menembak 'Ndeto' (seseorang sebagai obyek). Au Ila poka Au = Au Ila/senjata (menggambarkan seseorang sebagai Subyek) tersebut akan memotong/menembak 'Au' (seseorang sebagai Obyek). Kalimat ini dalam bahasa Lio dapat disebut juga 'Bhea'.

4. Tedo tembu Wesa wela, Gaga Bo'o Kewi Ae. Secara harfia diterjemahkan sbb; 'Tedo tembu, wesa wela' = ditanam akan tumbuh, ditabur akan berbenih.
Gaga Bo'o Kewi ae = penghasilan yg melimpa dan mengalir seperti air
Jd artinya; pekerjaan, menanam dan menabur akan menuai hasil yg melimpah seperti air yang mengalir.

5. 'Lake Lika Rapa Pi'a, Lai Tangi Rapa Sai'. Jika diterjemahkan secara harfia sebagai berikut; 'Lake Lika' = merobek tungku. 'Rapa Pi'a' = Berkelahi Dan 'Lai Tangi' = menggeser/mengambil tangga. 'Rapa Sai', = Bersentuhan badan (berkelahi). Yang Menarik, kata Tungku dan tangga disini sebenarnya berkaitan erat dengan Pranata yang ada dalam rumah adat. Sehingga kalimat ini akan bermakna bahwa sesungguhnya kita harus saling menghormati satu sama lain (atau menyangkut batas - batas wilayah kekuasaan) dan harus memahami historia sejarah yang sebenarnya.

6. 'Hungu Dubu, Lima Bita'. Secara harfia artinya; Hungu dubu = Kuku jari yg tumpul. Lima Bita = tangan yg berlumpur. Jadi jika kedua kata ini digabung akan berarti Tangan kita dituntut harus giat dalam bekerja.

7. Tura jaji. Kalimat ini berasal dari 'Tebo Tura, Lo Jaji', yang arti secara harfianya; 'Tebo Tura' = Tubuh/badan yang termuat (terbebani). Sedangkan 'Lo jaji' = Pundak yang memikul perjanjian. Jadi jika digabungkan akan berarti 'setiap kita harus menjunjung tinggi perjanjian. Perjanjian disini maksudnya perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para leluhur.

8. 'Jawa Dupa Ria, Pare wole Bewa'. artinya penghasilan yang melimpah rua.

9. 'Moke Gera Pebi, Uma Langi duri'. Secara harfia kalimat ini menjelaskan; 'Moke Gera Pebi' = Beberapa Tiang dari bambu yang sengaja ditanam untuk menyadap Air Nira. 'Uma Langi Duri'. = Kebun atau Ladang yang berdampingan. Jadi kalimat ini mengajak kita untuk hidup saling berdampingan, saling menyapa dan tanpa ada rasa curiga antara satu dengan yang lain meskipun kita mempunyai kebiasaan yang berbeda.

10. 'To'o Lei po'o Mbana Lei Mbeja, Boka Ngere Hi Bere Ngere Ae'. Artinya; Semua didalam keluarga harus: beranjak, sejalan seperti serumpun bambu, sependeritaan dan mengalir laksana air. maksundya: didalam keluarga harus terbinah kekompakan dan harus meleburkan diri menjadi satu.

Dari semua penjelasan tadi diatas, Penulis menyimpulkan bahwa Adat Lio adalah sendi hidup, Nilai Luhur adalah menjadi penjaganya. Kalau tidak bersendi, runtuhlah hidup dan kalau tidak berpenjaga, binasalah hayat. Sebagai Orang Lio, kita akan merasa terhormat karena 'Sendi hidup' melarang kita untuk berbuat jahat dan Nilai Luhur telah menjadi penjaga kita.

Kata bijak dalam sara Lio,
Ma'e Sewo Bebo, Nitu Ngadho No'o Babo Mamo eo Te'ti Tei Ra Kita.
Ebe, langga do leka fila bewa, nuka leka keli soke ele nesi susa, Jaga paga do no'o jala - jala medu tei nia ana mamo muri bheri.
(Janganlah melupahkan Para Leluhur yang sudah meneteskan darah kepada Kita. Mereka telah melampaui kelamnya jurang dan tingginya gunung meskipun kesulitan menghadang, mereka telah melindungi kita untuk dapat melihat para cucu, cicit dan buyutnya hidup baik adanya).


Sebagai suku yang paling dominan, tentu orang Lio (Ata Lio) juga mempunyai bahasa untuk percakapan sehari - hari yaitu Sara Lio (Bahasa Lio) selain bahasa Indonesia. Suku Lio mempunyai wilayah persekutuan dalam cakupan yang sangat luas sekali yaitu dari Nanga Ba (Ujung barat perbatasan Kabupaten Ende) sampai Nanga Blo (Sebagian Wilayah administrasi kabupaten Sikka). Sara Lio terdiri dari beberapa macam dialek yang sangat unik. Selain dialek, orang Lio cenderung mengucapkan Sara Lio dengan Intonasi yang beragam pula. Hal ini tentu dikarenakan Suku Lio juga terbagi dalam beberapa wilayah persekutuan yang mana setiap wilayah mempunyai dialeknya sendiri misalnya; Ata Mego, Ata Mbengu, Ata Lise, Ata Mbuli dan Ata Lio Ende dll. Meski demikian, perbedaan ini tidak menjadi penghalang bagi masyrakat Lio untuk berinteraksi karena pada dasarnya Bahasa Lio mempunyai makna yang hampir sama dan juga dikenal sebagai bahasa pemersatu. Bahasa Lio, atau kalau saya lebih suka menyebut sebagai bahasa ibu. Bahasa yang ibu kita ajarkan ketika kita masih belia. Bahasa sehari-hari sebagai sarana interaksi kita kepada orang disekitar tempat tinggal kita. Dalam Sara Lio, kita mengenal istilah 'Pelepata', atau 'Basa Waga'. Ya.. Pelepata/basa waga, yang kalau didefinisikan kedalam bahasa Indonesia Artinya (Peribahasa) 'makna kiasan'. Pelepata biasanya terdiri dari satu kalimat atau lebih, dan tergolong kalimat yang unik untuk orang Lio, karena selain sulit untuk dipahami maknanya pun sangat beragam. Pelepata/basa waga juga mengandung petuah, wasiat atau ungkapan kegembiraan atau menggambarkan filosofi seseorang dan lain sebagainya. Oleh karena itu Pelepata/basa waga, biasanya hanya dipergunakan pada saat seremonial adat dilaksanakan atau pada momen - momen tertentu saja. Bahasa - bahasa 'pelepata' ini juga kerap digunakan oleh para penyair (Ata Sodha) dalam bentuk nyanyian (kidung agung) atau syair pengiring (Oro) dalam ritual adat Gawi seperti yang terdapat dalam kitab - kitab taurat. Makanya tidaklah heran ada beberapa kalangan menilai Adat istiadat dan budaya Lio adalah Agama asli orang Lio itu sendiri.
Berikut ini beberapa petikan pelepata/basa waga;

1. Bhoti kale ana halo, Fai walu raka mbale. Yang berarti; Yatim piatu dan para janda harus dilindungi dan dijamin hak hidupnya oleh adat (pemerintah) supaya mendapatkan kehidupan yg layak.

2. Dari Nia Pase La'e. Yang berarti; Laki - laki harus berdiri di garda terdepan menggantikan generasi terdahulu (ayah/leluhur) dengan maksud untuk melindungi keluarga besar.

3. Ndeto peto, Au Ila. Ndeto Peto pate ndeto, Au Ila Poka Au. Kalimat ini mengandung ungkapan yang menunjukan kebesaran dan kemenangan. Secara harfia di terjemahkan sebagai berikut; 'Ndeto peto Au Ila' adalah nama sebuah Senapan (senjata api warisan leluhur yang diyakini mempunyai daya magis) Disisi lain, kata 'Ndeto dan Au' juga menggambarkan sosok seseorang. Pada hal kata 'Ndeto' itu adalah nama sejenis tumbuhan yang bisa menimbulkan alergi kulit dan 'Au' itu adalah nama sejenis Bambu Aur. Jadi jika di definisikan berarti; 'Ndeto peto pate Ndeto' = Ndeto peto/Senjata (Menggambarkan seseorang sebagai subyek) tersebut akan memotong/menembak 'Ndeto' (seseorang sebagai obyek). Au Ila poka Au = Au Ila/senjata (menggambarkan seseorang sebagai Subyek) tersebut akan memotong/menembak 'Au' (seseorang sebagai Obyek). Kalimat ini dalam bahasa Lio dapat disebut juga 'Bhea'.

4. Tedo tembu Wesa wela, Gaga Bo'o Kewi Ae. Secara harfia diterjemahkan sbb; 'Tedo tembu, wesa wela' = ditanam akan tumbuh, ditabur akan berbenih.
Gaga Bo'o Kewi ae = penghasilan yg melimpa dan mengalir seperti air
Jd artinya; pekerjaan, menanam dan menabur akan menuai hasil yg melimpah seperti air yang mengalir.

5. 'Lake Lika Rapa Pi'a, Lai Tangi Rapa Sai'. Jika diterjemahkan secara harfia sebagai berikut; 'Lake Lika' = merobek tungku. 'Rapa Pi'a' = Berkelahi Dan 'Lai Tangi' = menggeser/mengambil tangga. 'Rapa Sai', = Bersentuhan badan (berkelahi). Yang Menarik, kata Tungku dan tangga disini sebenarnya berkaitan erat dengan Pranata yang ada dalam rumah adat. Sehingga kalimat ini akan bermakna bahwa sesungguhnya kita harus saling menghormati satu sama lain (atau menyangkut batas - batas wilayah kekuasaan) dan harus memahami historia sejarah yang sebenarnya.

6. 'Hungu Dubu, Lima Bita'. Secara harfia artinya; Hungu dubu = Kuku jari yg tumpul. Lima Bita = tangan yg berlumpur. Jadi jika kedua kata ini digabung akan berarti Tangan kita dituntut harus giat dalam bekerja.

7. Tura jaji. Kalimat ini berasal dari 'Tebo Tura, Lo Jaji', yang arti secara harfianya; 'Tebo Tura' = Tubuh/badan yang termuat (terbebani). Sedangkan 'Lo jaji' = Pundak yang memikul perjanjian. Jadi jika digabungkan akan berarti 'setiap kita harus menjunjung tinggi perjanjian. Perjanjian disini maksudnya perjanjian yang telah dibuat dan disepakati oleh para leluhur.

8. 'Jawa Dupa Ria, Pare wole Bewa'. artinya penghasilan yang melimpah rua.

9. 'Moke Gera Pebi, Uma Langi duri'. Secara harfia kalimat ini menjelaskan; 'Moke Gera Pebi' = Beberapa Tiang dari bambu yang sengaja ditanam untuk menyadap Air Nira. 'Uma Langi Duri'. = Kebun atau Ladang yang berdampingan. Jadi kalimat ini mengajak kita untuk hidup saling berdampingan, saling menyapa dan tanpa ada rasa curiga antara satu dengan yang lain meskipun kita mempunyai kebiasaan yang berbeda.

10. 'To'o Lei po'o Mbana Lei Mbeja, Boka Ngere Hi Bere Ngere Ae'. Artinya; Semua didalam keluarga harus: beranjak, sejalan seperti serumpun bambu, sependeritaan dan mengalir laksana air. maksundya: didalam keluarga harus terbinah kekompakan dan harus meleburkan diri menjadi satu.

Dari semua penjelasan tadi diatas, Penulis menyimpulkan bahwa Adat Lio adalah sendi hidup, Nilai Luhur adalah menjadi penjaganya. Kalau tidak bersendi, runtuhlah hidup dan kalau tidak berpenjaga, binasalah hayat. Sebagai Orang Lio, kita akan merasa terhormat karena 'Sendi hidup' melarang kita untuk berbuat jahat dan Nilai Luhur telah menjadi penjaga kita.

Kata bijak dalam sara Lio,
Ma'e Sewo Bebo, Nitu Ngadho No'o Babo Mamo eo Te'ti Tei Ra Kita.
Ebe, langga do leka fila bewa, nuka leka keli soke ele nesi susa, Jaga paga do no'o jala - jala medu tei nia ana mamo muri bheri.
(Janganlah melupahkan Para Leluhur yang sudah meneteskan darah kepada Kita. Mereka telah melampaui kelamnya jurang dan tingginya gunung meskipun kesulitan menghadang, mereka telah melindungi kita untuk dapat melihat para cucu, cicit dan buyutnya hidup baik adanya).



Sekian,
Penulis, Marlin Bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Jakarta Indonesia
Sumber Lisan

OKULELE

Marlin Bato Wanes 02 Februari jam 11:15 
Jenis alat musik Okulele ini tergolong salah satu alat musik Flores yang sangat Khas selain suling, gendang, gong, waning dll. Mula - mula alat musik Okulele ini dibawah masuk oleh bangsa portugis di Flores pada abad ke-16 sampai 17 bersamaan dengan alat musik harmonika. Selain itu bersamaan dengan Okulele dan harmonika, masuk pula jenis musik keroncong yang menjadi Musik Khas tanah air. Di Flores, masyarakat juga sering menyebut Okulele dengan nama Cuk atau Juk. Okulele adalah alat musik petik sejenis gitar berukuran kecil, sekitar 20 inci, dan merupakan alat musik asli Hawai ditemukan sekitar tahun 1879. Pada awalnya Okulele hanya berdawai 3 (nilon) dan urutan nadanya adalah G, B dan E; sebagai alat musik utama yang menyuarakan crong - crong, sehingga setelah dipadukan dengan aliran musik khas hawaii maka muncul pula dengan istilah aliran musik keroncong dan merupakan awal tonggak mulainya musik keroncong. Setelah beberapa dekade kemudian okulele berdawai 3 dikembangkan menjadi Okulele berdawai 4 dengan urutan nadanya A, D, Fis, dan B. Jadi ketika alat musik lainnya memainkan tangga nada C, okulele bermain pada tangga nada F (dikenal dengan sebutan in F). Di Flores, memang alat musik ini tidak termasuk sebagai alat musik tradisional, namun seperti yang diketahui, Okulele telah menjadi bagian yang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat setempat karena alat musik ini dapat menghibur setiap orang yang memainkan dan mendengarkan alunannya. Setiap dawai yang dimainkan, akan selalu mewakili jiwa dan setiap nada akan mewakili pikiran maka setiap pikiran itu pula akan selalu mewakili imajinasi, ilusi serta inspirasi. Di beberapa tempat di Flores, Okulele masih sering dijumpai dan menjadi salah satu alat musik terfavorit karena dapat juga menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Secara histories, alat musik ini jarang sekali digunakan pada saat - saat upacara adat. Tapi pada momen - momen tertentu seperti perayaan tahun baru tentu alat musik ini adalah bukti nyata untuk memperkokoh rasa persaudaraan. Pasalnya, pada saat itulah para biduan lokal akan menghibur masyarakat dari rumah yang satu kerumah yang lainnya sambil membawakan lagu - lagu yang bertemahkan tahun baru. Tradisi ini tentu adalah sebuah warisan Portugis yang masih berbekas dalam sanubari kita semua. Kita tidak pernah tahu, apakah tradisi ini akan bertahan ataukah akan berakhir. Satu hal menarik yang patut kita ketahui bersama, Setelah hengkangnya Portugis dari Nusantara, sesungguhnya mereka telah mewariskan beragam tradisi budaya yang masih melekat dan kita manfaatkan hingga kini seperti; Alat musik okulele, harmonika, keroncong atau bahkan ada 17 kosakata bahasa Indonesia yang masih kita pergunakan. Di Jakarta, ada salah satu perkumpulan Orang pribumi keturunan Portugis yang tinggal di wilayah kampung Tugu (Jakarta Utara) hingga kini masih berpegang teguh terhadap kebiasaan - kebiasaan Portugis. Ini terlihat dari cara - cara hidup mereka yang mencerimkan orang Portugis tempo dulu. Bukan itu saja, mereka bahkan masih menggunakan alat musik Okulele, harmonika dll setiap kali merayakan perhelatan tahun baru. Layaknya tradisi orang Portugis di Flores, mereka juga selalu menghibur dari pintu ke pintu setiap masyarakat yang tinggal di wilayah itu. Tentu hal ini sungguh luar biasa menurutku, karena dikota metropolitan ternyata Tradisi ini masih kental dan masih mengalir dalam nadi Ibukota.