Rabu, 05 Januari 2011

  Geru giwa- Giliran Mutu Penghuninya


DOKUMENTASI BALAI TAMAN NASIONAL KELIMUTU, ENDE
Burung garugiwa jantan (Pachycephala nudigula) berkicau meperdengarkan suaranya yang unik di kawasan arboretum Danau Triwarna Kelimutu, Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Burung ini oleh masyarakat setempat dikenal sebagai burung arwah.

Pesona Danau Kelimutu di Kabupaten Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur, dengan keajaiban alamnya yang luar biasa itu, ternyata belum memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakatnya. Kondisi ekonomi warga setempat yang umumnya bermata pencarian sebagai petani itu pas-pasan, bahkan cenderung minus. 
Mereka masih mengandalkan sistem bertani hortikultura, padi ladang, beternak, ataupun berkebun secara tradisional. Mereka belum berhasil mengembangkan ekonomi alternatif melalui pengembangan sektor pariwisata yang terpadu.
Padahal, pariwisata sudah menjadi andalan utama dalam menghasilkan devisa di sejumlah negara. Thailand, Singapura, dan Filipina, misalnya, sangat bergantung pada devisa yang didapatkan dari pariwisata.
Perekonomian Bali pun jauh melesat dibandingkan dengan Nusa Tenggara Barat dan NTT karena dimotori industri pariwisata. Soalnya, pada era global ini, menurut I Wayan Ardika dalam bukunya, Pusaka Budaya dan Pariwisata (2007), muncul kecenderungan masyarakat internasional untuk memahami kebudayaan lain di luar budayanya.
Indonesia juga memiliki potensi wisata budaya paling menarik ketimbang negara lain di Asia Tenggara. Kawasan NTT, khususnya Flores dan Ende, juga memiliki potensi tersebut.
Membaca tren tersebut, pihak pengelola Taman Nasional (TN) Kelimutu dan Pemerintah Kabupaten Ende sesungguhnya sejak tahun 2008 sudah menggulirkan program Pengembangan Kebun Wisata yang Berbasis Lingkungan di Kawasan Taman Nasional Kelimutu, yakni konsep agrowisata yang memadukan wisata alam, pertanian, dan seni budaya.
Taman Nasional Kelimutu juga sudah menganggarkan sekitar Rp 3 miliar untuk program tersebut, yang direncanakan berjalan dalam waktu empat tahun. Tahap awal, kegiatan difokuskan di tiga desa di Kecamatan Kelimutu, yakni Desa Pemo, Koanara, dan Woloara yang berpenduduk sekitar 3.000 jiwa. Tiga desa itu berbatasan langsung atau sebagai desa penyangga Taman Nasional Kelimutu. Namun, sampai saat ini aplikasi program tersebut masih tersendat-sendat oleh berbagai faktor.
”Konsepnya sudah matang, pemetaan pun sudah dilakukan. Namun, ternyata di lapangan masih banyak kendala serius. Kami harus membenahi dan menyiapkan SDM (sumber daya manusia)-nya supaya benar-benar siap,” kata Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Subiantoro di Ende.
Anggaran Rp 3 miliar yang diusulkan tahun 2008 akhirnya baru terealisasi 15 persen (sekitar Rp 300 juta) hingga tahun 2010, di antaranya sekitar Rp 56 juta digunakan untuk pengadaan bibit tanaman semusim (hortikultura) dan tanaman keras guna pengembangan agroforestry seluas 8 hektar di Desa Pemo.

Tidak ada komentar: