Kota Ende, Suara Flores–Keindahan alam dikawasan wisata Kelimutu diKabupaten Ende-Flores pagi itu bagaikan sedang pulas tertidur. Tak ada satu pun kendaraan yang mengusik ketentraman para penghuni belantara, kecuali dua buah unit sepeda motor yang kami kendarai. Bersama kontributor RCTI, kami melalui jalan berbatu, walaupun beberapa meter jalan dibuat dari rabat beton karena medannya cukup menentang, kami menembusi kabut pagi, menuruni lembah menuju keselatan. Setelah sejam dalam perjalanan dari cabang Kawasan wisata danau Kelimutu tampaklah perkampungan penduduk dilereng-lereng gunung tampak pula perkebunan warga yang dikelilingi hutan kopi yang sedap dipandang mata. Dikejauhan tampak pula sebuah kampung besar Woloara. Tujuan kami sebenarnya adalah sebuah kampung disebelah Woloara namanya “Pemo”. Kabarnya disana akan diselenggarakan upacara pesta adat Tolak Bala (Joka Ju) selama lima hari.
Derap langkah sepuluh pria, dengan berpakaian Adat Luka Lesu, Senai (Kain destar dan Selendang) para Mosalaki Pu’u, Mosalaki Ria Bewa, Mosalaki Ulu Eko, Mosalaki Turu Tengu Kana Wara, Mosalaki Tuke Sani Ria Bewa, dan Mosalaki Ine Tana Embu Watu, melaksanakan ritual adat yakni Joka Ju (Tolak Bala) menolak Roh-roh jahat dari kampung “Pemo” agar seluruh masyarakat adat “Pemo” bekerja dengan Hasil berlimpah, upacara pesta adat ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Oktober. Rangkaian upacara tersebut melalui beberapa tahapan seperti mengambil hati Babi dalam keadaan hidup-hidup untuk dilihat (meramal) tentang keadaan atau peristiwa yang akan terjadi dikampung mereka, bahkan peristiwa atau kejadian yang akan dialami bangsa dan Negara kita seperti gejolak politik dan bencana alam, ujar Mosalaki Pu’u (Kepala Adat) Gaspar Gasa kepada wartawan suara Flores dan konstributor RCTI, saat meliputi upacara pesta adat tersebut, kamis 21 Oktober 2010.
Dikatakannya dari hati babi yang diperlihatkan dapat diramalkan bahwa kampung adat Pemo atau masyarakat Pemo dalam bercocok tanam dan bertani akan mendapat rejeki dan memperoleh hasil yang berlimpah dan semua kehidupan dimasyarakat berjalan lancar, sedangkan untuk bangsa dan Negara kita diramalkan akan terjadi gejolak politik yang hebat dan bencana alam besar, karena dari hati babi yang diperlihatkan terdapat luka besar ditengah-tengah hati babi tersebut, ujar Kepala Adat Gaspar Gasa, kepada seluruh komunitas masyarakat Adat Pemo dan Juga kepada wartawan , Kamis, 21 Oktober 2010 lalu di Pemo. Sementara itu, Siprianus Se’a , putra asli Pemo disela-sela upacara Ritual Adat kepada wartawan suara Flores dan konstributor RCTI mengatakan Ramalan yang diramalkan oleh mosalaki (tua adat) biasanya benar-benar terjadi dan sudah terbukti pada tahun-tahun sebelumnya baik ramalan untuk keadaan bangsa dan Negara kita, ujarnya. Maka dari itu untuk mengetahui keadaan atau kejadian yang akan dialami nanti, komunitas masyarakat adat pemo selalu melaksanakan upacara ritual adat setiap tahunnya, sehingga adat harus tetap dijaga dan dilestarikan, ujar Siprianus Se’a.
Ramalan Terbukti
Memang benar dan tidak dapat dipungkiri oleh siapapun ternyata, mosalak (Tua Adat) dari daerah yang sangat termarjinalkan (Kampung Pemo) mampu membuktikan ramalan mereka untuk bangsa dan Negara kita, bahwa apa yang mereka ramalkan pada kamis, 21 Oktober 2010, dihadapan seluruh warga masyarakat adat Pemo dan wartawan, bahwa akan terjadi gejolak politik yang hebat, dan bencana alam besar, benar-benar terjadi dan terbukti pada selasa, 26 Oktober 2010 dengan meletusnya gunung Merapi dan bencana alam di Wasior dan Mentawai, ramalan yang benar-benar diluar dugaan serta akal dan pikiran manusia.
Dunia modern yang menjanjikan kemudahan sering membuat anak manusia terlena, lupa akan tradisi dan budaya tradisionalnya, segala sesuatu sepertinya menjadi sangat mudah karena memang teknologi mempermudah segala hikayat manusia. Tetapi, Pemo bersama pemimpin komunitas masyarakat adat, para mosalaki (tua adat), Kepala Desa Efrinus Jendi Panda, Ketua BPD Xaverius Peme Rada, dan juga komponis adat Bapak Siprianus Se’a, tidak tega membuat adat hilang dari keseharian masyarakat, Joka Ju (Tolak Bala) contohnya. Selain acara-acara dan ritus-ritus adat, Are Wati, Manu Eko, Moke Boti (beras, ayam dan tuak) adalah sarana sakral dalam melestarikan adat. Dalam pesta adat Joka Ju (Tolak Bala), Ana Kalo Fai Walu (komunitas masyarakat adat) sebagai penggarap lahan, wajib mboko satu tu gha tubu, (beras, ayam dan tuak) diantar kerumah adat, kemudian upacara Joka Ju (Tolak Bala) baru dilaksanakan, sehingga harapan mosalaki dan Ana kalo Fai Walu (tua adat bersama komunitas masyarakat adatnya) tentang Tedo Tembu Wesa Wela (tanam tumbuh, hamburpun jadi) dapat tercapai.
Joka Ju (Tolak Bala) kata Siprianus Se’a adalah Apresiasi pertanggungjawaban manusia dalam menggandakan talenta kehidupan yang dimaknai dengan “mboko satu tu gha tubu, wi ana kalo fai walu tedo. Tembu wesa wela…..” yang dapat diartikan, kami mempersembahkan kepadamu Allah dan leluhur kami, apa yang telah kami hasilkan, agar Allah dan leluhur menambahkan kami benih yang akan mendatangkan hasil berlimpah.
Joka Ju (tolak bala) adalah moment konservasi makna sakralitas, spiritualitas dan moralitas dalam diri orang-orang Pemo, sebagaimana termuat dalam tuturan tentang sejarah asal-usul Pemo, dan syair-syair bermakna ajaran yang dilantunkan berulang-ulang dalam gawi (tandak) bersama antara ana kalo fai dan mosalaki (komunitas masyarakat adat dan tua adat) Pemo.
Perjalanan pulang kami sepertinya ditangisi langit. Gerimispun turun perlahan, bagaikan menangisi lunturnya adat dalam kehidupan manusia modern. Pemo hilang dalam kabut tipis dibelakang kami. Tetapi kenangan keakraban penduduknya dengan tradisi dan adat membuat kami berjanji akan kembali. Wajah dan senyum polos warga Pemo tak terusik diawal goresan berita ini. Dibelakang saya, Pa Edy, Kontributor RCTI tampak berseri-seri dan tenggelam dalam nostalgia adat Pemo. Pemo telah membuat kehidupan kami semakin berwarna-warni. Ibarat kain sarung yang kami kenakan saat meliputi upacara pesta adat yang harmonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar