KOMPAS/SAMUEL OKTORA
Sejumlah mosalaki pu-u (tetua adat) memberikan persembahan di dakutatae (batu tempat sesaji) dalam acara adat Pati Ka Ata Mata, yakni memberi makan kepada orang yang sudah meninggal, di kawasan Danau Triwarna Kelimutu, di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Tanaman arngoni yang telah berbuah segar dan masak juga seakan menyambut hangat kehadiran para mosalaki pu’u (tetua adat) hari itu yang memenuhi areal helipad di zona inti kawasan Taman Nasional Kelimutu, Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Sambil menunggu ritual dimulai, para mosalaki pun memanfaatkan waktu dengan melihat-lihat keindahan panorama tiga kawah danau dengan air berbeda warna, tiada duanya di dunia.
Kawasan Taman Nasional Kelimutu secara administratif berada dalam wilayah 5 kecamatan, yakni Kecamatan Wolowaru, Kelimutu, Ndona Timur, Ndona, dan Detusoko.
Para mosalaki juga tak bosan-bosannya menatap rumpun arngoni yang telah masak buahnya, kecil berwarna hitam. Mereka pun begitu hati-hati ketika hendak menyentuhnya karena buah arngoni juga diyakini sebagai makanan para dewa atau arwah leluhur di Danau Kelimutu.
Sekitar pukul 11.00 Wita, ritual baru dimulai. Hari itu untuk pertama kalinya di puncak Danau Kelimutu, dengan ketinggian 1.777 meter di atas permukaan laut, digelar Pati Ka Ata Mata, upacara adat memberi makan bagi arwah leluhur atau orang yang sudah meninggal.
Wisatawan domestik maupun mancanegara pun tumpah ruah di area helipad. Mereka tak ingin ketinggalan mengabadikan peristiwa bersejarah itu. Begitu pula masyarakat sekitar dan juga kalangan media.
Prosesi ritual diawali sembilan mosalaki yang mewakili sembilan suku dengan pakaian tradisional diberi sesaji untuk dibawa ke dakutatae, sebuah batu alam sebagai tugu tempat sesaji. Sesaji yang dipersembahkan berupa nasi, daging hewan kurban (babi), moke (semacam tuak lokal), rokok, sirih pinang, dan kapur.
Sembilan mosalaki pu’u itu secara bersama menuju tugu batu dan bersama-sama pula meletakkan sesaji di tugu tersebut, yang artinya dari sembilan mosalaki itu kedudukannya tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.
”Ritual adat ini diikuti oleh seluruh komunitas adat di kawasan Lio. Sekaligus ritual ini merupakan aset seni budaya daerah dan juga nasional yang patut dilestarikan. Ritual ini juga dapat mempersatukan suku-suku Lio,” kata mosalaki Detusoko, Emanuel K Ndopo.
Wilayah Kabupaten Ende terdiri dari dua suku asli, yakni Ende dan Lio. Kawasan suku Ende dominan di bagian barat ke selatan, sedangkan suku Lio dari Kota Ende ke timur hingga utara.
Makan leluhur
Setelah pemberian makan leluhur yang dilakukan oleh para mosalaki, kemudian para pengunjung, oleh mosalaki, ditawari pula untuk turut menikmati sesaji sebagai tanda bersukaria bersama dengan para leluhur. Tahapan ritual itu lalu dilanjutkan dengan gawi, tari bersama para mosalaki tersebut dengan mengelilingi tugu batu.
”Peristiwa ini suatu kejutan bagi saya. Saya juga sangat beruntung karena saya tidak mengetahui sama sekali akan digelar ritual adat yang pertama kalinya di sini. Semula saya bermaksud berekreasi saja,” kata Philippe Cazaux, wisatawan asal Perancis, yang juga berprofesi sebagai guru di negaranya.
Sejumlah mosalaki mengatakan, Pati Ka Ata Mata yang digelar dimaksudkan untuk menaikkan doa kepada arwah leluhur - selain untuk menolak bala, juga agar wilayah Ende dijauhkan dari bencana serta disuburkan alamnya yang dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Pasalnya, tahun 1996 seorang turis laki-laki asal Belanda tewas di Danau Kelimutu. Tahun 2004 warga Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, bunuh diri di danau tersebut. Pada akhir 2008 juga ditemukan tewas seorang warga Desa Tenda, Kecamatan Wolojita, di danau warna hijau muda atau danau tempat arwah anak muda (Tiwu Nua Muri Koo Fai). Semua jenazah korban tetap tinggal di dalam danau karena sulitnya medan sehingga jenazah tidak dapat dievakuasi.
Dari mitos yang diyakini turun-temurun oleh masyarakat Ende Lio, kawasan puncak Danau Kelimutu merupakan tempat tinggal atau berkumpulnya para arwah orang yang sudah meninggal. Pintu gerbang (pere konde) Danau Kelimutu dijaga oleh Konde Ratu, sang penguasa.
Tiga kawah
Di puncak Gunung Kelimutu terdapat tiga kawah danau, selain Tiwu Nua Muri Koo Fai, adalah Tiwu Ata Polo yang kini berwarna hijau tua (sebelum Desember 2008 masih berwarna cokelat kehitaman), yang diyakini sebagai tempat berkumpul orang jahat. Danau ketiga, Tiwu Ata Mbupu, berwarna tua hijau kehitam-hitaman yang merupakan tempat berkumpulnya arwah orang tua.
Itu sebabnya masyarakat setempat menilai begitu sakral dan keramat areal puncak Gunung Kelimutu. Mereka juga tidak berani berbuat yang aneh- aneh atau sembrono di situ. Letak Danau Kelimutu sekitar 55 kilometer arah timur Kota Ende.
”Kegiatan ini digelar oleh Pemerintah Kabupaten Ende sebagai bentuk pelestarian budaya daerah. Dari upacara adat yang telah berlangsung turun-temurun, pemberian makan kepada leluhur hanya dilakukan di tiap rumah warga, kampung, atau suku. Kini digelar upacara adat di puncak Kelimutu yang melibatkan suku-suku Lio. Selanjutnya, ritual ini akan digelar rutin tiap tahun sekali dan tradisi ini juga menjadi agenda pariwisata Ende,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ende Anna Anny Labina.
Fransiskus Lasa, Staf Ahli Bupati Ende Bidang Kemasyarakatan dan Sumber Daya Manusia, mengemukakan, ritual Pati Ka Ata Mata diharapkan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan untuk meningkatkan pendapatan mereka dari sektor pariwisata.
Setiap suku selesai
Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu Gatot Soebiantoro menyatakan, diharapkan Pati Ka Ata Mata diadakan setelah semua acara adat serupa di setiap suku selesai digelar sehingga upacara adat di Danau Kelimutu itu benar-benar sebagai rangkaian ritual puncak atau akhir.
Sementara itu, ketika melakukan kunjungan kerja ke Ende pada 10-16 Agustus, Direktur Pemberdayaan Masyarakat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Bakri mengharapkan ritual tersebut turut meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama di sekitar Danau Kelimutu. Hal itu perlu difasilitasi secara serius oleh dinas kebudayaan dan pariwisata setempat.
”Mereka harus melakukan komunikasi yang baik dengan para pengusaha biro perjalanan dan wisata serta hotel-hotel sehingga agenda tahunan ritual adat ini bisa turut dipromosikan ke luar. Warga sekitar kawasan juga perlu dibina sehingga mereka benar-benar dapat menerima, menyambut, dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada wisatawan,” kata Bakri.
Dia juga menyinggung keberadaan kebun hortikultura milik warga di sekitar kawasan Danau Kelimutu yang dapat dimanfaatkan sehingga wisatawan mancanegara selain melihat-lihat Danau Kelimutu juga dapat diarahkan untuk menikmati aneka buah dan sayuran milik warga.
”Kesenian setempat juga harus digalakkan, apakah itu seni tari maupun seni musik yang akan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Mengapa kesenian di Jawa atau Bali hingga kini tidak mati? Sebab, kesenian di kawasan itu dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakatnya,” kata Bakri.
Upacara adat yang digelar memang masih banyak terdapat kekurangan, salah satunya ketidaktepatan waktu pelaksanaan. Jadwal semula pukul 08.00, ketika masyarakat maupun wisatawan antusias memadati lokasi pada pagi itu, ternyata ritual baru digelar pukul 11.00.
Yang disayangkan pula, ritual di puncak gunung itu relatif singkat. Semestinya rangkaian upacara adat mulai dari pemotongan hewan kurban, memasak, hingga persiapan sesaji dapat dikemas menjadi satu rangkaian wisata budaya menarik yang dapat diikuti masyarakat luas.
Selain itu, segala atribut yang berhubungan dengan pakaian adat tradisional yang dikenakan mosalaki dalam ritual itu, seperti destar, sarung, dan baju dari kain tenun ikat tradisional, semestinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar dengan menjualnya kepada wisatawan. Pihak Taman Nasional Kelimutu atau Pemkab Ende dapat memfasilitasi dengan menyediakan tempat penjualannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar