Sabtu, 23 Januari 2010

"KISAH PERJALANAN DUA PUTERA, YAKNI; LOGHO SENDA DAN TANI SENDA"

Marlin Bato Wanes 12 Desember 2009 jam 19:15 Balas
Jaman dulu ada seorang tokoh bernama Senda Woda yang merupakan saudara kandung dari Mbete Woda dan Wangge Woda. Beliau sebelumnya hidup bersama anak-anaknya di Kampung asli Nabe Oka. Senda Woda salah satu dari putera Woda Rasi kemudian berpindah tinggal bersama anak-anaknya di kampung Pusu Kecamatan Wolowaru dengan alasan " leka tana keta, watu ngga" Adapun anak-anak Senda Woda sebanyak 7 orang mulai dari yang sulung yakni; 1. Logho Senda saat ini di Jitapanda, 2. Tani Senda, di Watuneso (sebagai Laki Koe Kolu Hebesani) Watuneso Kecamatan Lio Timur.3. Nggedhi Senda, saat ini di Kampung Pusu Kecamatan Wolowaru. 4. Dongo Senda.5 Nggonggo Senda yang keduanya memiliki generasi berada di Mbewo dan Roga Kecamatan Ndona Timur. 6. Lagu Senda, kini generasi ada dan berpusat di Kelimbape Kecamatan Wolowaru dan 7. Luna Senda, perempuan tunggal menikah di Lise Lowobora Wolowaru.
Setelah sekian lama tinggal di Pusu, Tani Senda dan Logho Senda kakak beradik mengembara menuju Fata Moke sebelah kampung Ae Tungu sehingga memunculkan semboyan " Logho Nggoro Lasu Bodo, Tani Gole Fata Moke". Ada yang unik dibalik pengembaraan ini. Keunikan dibuktikan dengan kemanapun mereka pergi, selalu saja 2 ekor kerbau mengikuti mereka hanya dengan melacak jejak kaki. Kerbau betina dan jantan itu diberi nama, "metu mbupu, mosa pera" Dari Fata Moke, kedua bersaudara berpindah lagi ke kampung Wolomari wilayah kekuasaan Sanggu Ratu Rabu atau Sanggu Tani, kini Kecamatan Ndori. Kedua ekor kerbau 'metu mbupu dan mosa pera' pun bersama mereka. Setelah sekian lama tinggal bersama 'ame Sanggu Tani, kerbau 'metu mbupu, mosa pera membuat kesalahan fatal dengan melakukan 'puku muku, jenu tewu ' ame Sanggu. Kejadian ini membuat reaksi luar biasa dari Sanggu Tani dan ingin menembak kerbau-kerbau itu. Setelah beberapa saat kemudian, Tani Senda meminta maaf kepada Sanggu Tani sambil memohon agar kerbau-kerbau tidak ditembak dengan persyaratan dia akan meninggalkan kampung Wolowaru dan berpindah tinggal di Wologeru hingga akhir hayatnya. Sedangkan Logho senda kakaknya langsung menetap di Wolomari bersama Sanggu Tani pun hingga ajal menjemput.

BERSAMBUNG...................

CIRI KHAS MUSIK FLORES

Marlin Bato Wanes 07 Januari jam 20:38 

                                                                                                                                       Hai Dear,
Apakah kamu merasa kesepian dikala berpisah dengan kampung
halaman anda, sanak saudara, handaitaulan serta sahabat-sahabat karib
yang pernah berbagi rasa dengan anda ?
Jika memang demikian, hanya
dengan mendengarkan lagu-lagu favorit serta sekumpulan lagu-lagu daerah
ende lio, bajawa, maum...ere, flotim dan masih banyak lagi koleksi lagu
yang tdk disebutkan. Oleh karena itu anda dipersilahkan mengunjungi
situs dibawah ini.

http://www.4shared.com/account/dir/17619340/7960d0fb/sharing.html?rnd=79

Situs ini sengaja saya buat untuk
para pecinta musik daerah flores dan lain-lain sesuai dengan permintaan
fans club melalui facebook, friendster dan email saya. Saya Merasa
termotivasi dan terinspirasi untuk membuat situs tersebut sebagai bentuk
kecintaan terhadap ciri khas musik flores dan kepedulian atas kurangnya
kreativitas para kawula muda untuk mempublikasikan ke-khas-an musik
flores tersebut yang sebenarnya pernah diakui Max Weber yang dikutip
dari J. Kunst (1942) berikut ini.

“Of musical instruments I did
not see much, although, as a matter of fact, the population of Flores
seemed to me to be more musically talented than the kindred Indonesian
tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and Celebes, where I
never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It was
different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs
at the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well
please the European ear, too. And where is the Florinese who could
paddle without singing his pantuns, complete with soli and refrain sung
in chorus? Among these soloists there were some voices that might, with
better training, have been turned out as good tenor, soprano and bass
voices. But this hardly seems to me to apply to the treble voices of the
genuine Malay people, including the Buginese and Macassarians. It would
seem that we have here to do with a morphological distinction in the
vocal means of expression, which may well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese with tribes living further
east”..

Berikut ini terjemahan selengkapnya kutipan di atas;

“Tentang musik instrumen saya tidak banyak menemukan, tetapi adalah sebuah fakta bahwa penduduk Flores memiliki bakat musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda di Flores. Banyak terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini, terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar. Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur jauh".

Kesaksian menarik juga ditulis Kapten Tasuku Sato dan P Mark Tennien dalam buku I REMEMBER FLORES, penerbit Farrar, Straus and Cudahy, New York, 1957. Kapten Tasuku Sato yang lahir di Taipei pada Oktober 1899, pernah menjabat Komandan Angkatan Laut Jepang di Flores pada 1943. Tasuku Sato menulis;

“Penduduk pribumi Flores memiliki bakat musikal luar
biasa. Mereka dapat mempelajari lagu baru dan langsung melagukannya
dalam sekali dengar.” “Orang-orang Flores mempunyai bakat alam dalam
bidang musik. Mereka dapat mempelajari lagu dengan cepat dan baik
sekali. Mereka juga menirukan lagu-lagu Jepang dengan cepat. Orang-orang Flores juga mudah menangkap lagu-lagu yang mereka dengar dari radio, lalu menirukannya. Mereka mempunyai orkes asli yang terdiri atas bermacam-macam drum. Lagunya hidup dan sedap didengar. Di bawah pengawasan komisi kebudayaan, anak-anak diajarkan melagukan dan memainkan nyanyian-nyanyian Jepang....” Orang Flores, seperti terungkap dalam kutipan di atas, memiliki bakat musikal yang sangat tinggi, khususnya dalam nyanyian koor. Sebagian (kecil) lagu-lagu Flores sudah diakomodasikan dalam liturgi dan sudah termuat dalam buku Madah Bhakti.

Sekian dan terima kasih.........