Rumah Adat.
Proses pengangkatan figur Pius Rasi Wangge menjadi Raja Lio secara keseluruhan yang wilayah otoritasnya mencakup Nanga Blo (sebagian wilayah administrasi Kab. Sikka/Maumere) sampai Nanga Mboa di ujung Barat Kab Ende Flores NTT, terjadi secara aklamasi (Acclamation).
Pada sekitar tahun 1909-1910 pemerintahan Hindia Belanda memasuki wilayah Lio dan menetap dikitaran wilayah Wolowaru. Pius Rasi Wangge, adalah sosok yang biasa dan sederhana layaknya lelaki lainya yang ketika itu tinggal bersama kakaknya Mari Wangge dan Bhoka Logho di wilayah Lise Nggonderia yang sekarang menjadi desa Watuneso kecamatan Lio Timur Kab. Ende Flores NTT. Pius Rasi Wangge hadir ditengah keluarga adalah seorang lelaki dari garis keturunan bangsawan didesa Wolo Lele A (Kec. Lio Timur) yaitu Keluarga Besar Ndori Wangge (Riabewa) yang merupahkan pertaliah darah yang erat dengan Mari Wangge (Keluarga besar Mosalaki Hebesani Watuneso).
Pada sekitar tahun 1910, Pius Rasi Wangge di sekolahkan oleh Bhoka Logho di Sekolah Rakyat (SR) setingkat Sekolah Dasar (SD), jaman Belanda di distrik Lela. Ketika itu pemerintahan kolonial Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan khususnya laki-laki untuk mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) tersebut. Kendati demikian usaha Bhoka Logho untuk menyekolahkan adiknya Pius Rasi Wangge sempat terjadi penolakan oleh Tua Skebe yang menyeleksi siswa baru karena faktor usia Pius Rasi Wangge yang sudah mencapai sekitar 30 tahun. Namun Bhoka Logho tidak kehilangan akal, sehingga Bhoka Logho menyarankan adiknya supaya memanipulasi umur dan rambut serta kumis tebalnya dicukur hingga botak agar terlihat lebih mudah belia untuk mengecoh perhatian Tua Skebe . Beberapa hari kemudian, Bhoka Logho dan adiknya Pius Rasi Wangge berangkat lagi ke Distrik Lela. Sesampainya disana Bhoka Logho membuat pengakuan kepada 'Tua Skebe' bahwa yang akan didaftarkan itu adalah kembaran dari Pius Sendiri. ("Dengan sebuah ungkapan" Tua, Ina Aji kai, eo mere mai Ka'e kai !! Artinya; Pater/Bapa, ini adiknya yang kemarin Kakaknya. Cara itu terbukti ampuh mengecoh Tua Skebe, sehingga akhirnya diterima untuk di sekolahkan di Lela.
Kemudian sekitar tahun 1914, pemerintahan Hindia Belanda mempertimbangkan eksistensi administratif pemerintahan yang mempermudah sistem kerja agar bisa dikontrol dengan menerapkan konsep pemerintahan ala kerajaan Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wihelmina (Wihelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau; Lahir 31 agustus 1880 dan mangkat 28 November 1962). Puteri Orange Nassau adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948 dan Ibu Suri dengan sebutan Puteri sejak tahun 1948-1962. Terkait rencana besar ini, pemerintahan Hindia Belanda mengundang para Mosalaki Lise Tana Telu Kunu Lima dari Enam ( 6 ) aliran mendatangi Wolowaru, central koordinasi kolonial untuk wilayah Lio. Perhelatan pemilihan Raja Lio dilakukan ditempat ini. Seluruh Mosalaki atau perwakilan atas nama Mosalaki datang ke Wolowaru. Sedangkan Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia Mari Wangge hanya diwakili adiknya seorang tokoh bernama Bhoka Logho.
Pada tahapan pemilihan dimulai, Tua Skebe sebagai negosiator dari pemerintah Belanda bertanya kepada para Mosalaki atau perwakilan Mosalaki yang hadir saat itu dengan kalimat dalam bahasa Lio: (Laki Tana Unggu, Kau fonga Raja leka sai? "Laki Tana Unggu penu so", Aku fonga, Raja leka du'a neku). Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini ucapannya; "Pemangkuh adat tertinggi (klan) tanah 'Unggu', Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi Raja ? Laki Tana Unggu menjawab; Kehendak saya, Raja ada pada saya sendiri. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada "Laki Tana Kune Watu Mara (Kunemara), Laki Tana Nggoro dan seterusnya sampai kepada 'Laki' yang ke 5 dijawab dengan jawaban yang sama juga. Dan akhirnya, pertanyaan yang sama juga diajukan oleh Tua Skebe kepada Bhoka Logho, aji ana (Kerabat dekat) sebagai delegasi Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Karena merasa sudah mengenal, Tua Skebe langsung menyapa nama Bhoka Logho.("Boka" !! kau fonga Raja leka sai ?) Artinya; Bhoka !! Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi raja ? Dengan sedikit terdiam untuk sebuah pertimbangan, lalu Bhoka Logho menjawab; "Tua, Raja dau leka ata eo sekolah, no'o eo tuli mbe'o soli basa mbe'o sura ". Artinya; Pater/Bapa!! Seorang Raja itu harus orang yang berpendidikan (sekolah) dan dapat menulis serta membaca surat. Beberepa saat kemudian, Tua Skebe bertanya kembali kepada Bhoka Logho dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya Bhoka Logho menjawab untuk kedua kalinya; Tua, Aku fonga Raja leka aji aku Pius Rasi Wangge eo nebu ina aku pati sekola gheta Lela ( SR ) Kira-kira diterjemahkan seperti ini; Pater/Bapa, Menurut kehendak saya, 'Raja' ada pada adik saya Pius Rasi Wangge yang saat ini saya sekolahkan di Sekolah Rakyat ( SR ) 'Lela' (Di Kab. Sikka). Setelah pendapat logis ini, Tua Skebe melontarkan kembali kepada semua Mosalaki/Delegasi yang hadir ditempat itu.. (Ngere Emba ? gha Bhoka nosi, raja leka aji kai ngai eo tuli no'o basa mbe'o sura). artinya; Bagaimana ? Bhoka mengusulkan, Raja ada pada adiknya karena bisa menulis dan membaca surat. Setelah mendengar pandangan yang logis itu, akhirnya seluruh Mosalaki/Delegasi yang hadir disitu menjawab; Molo dowa, ngai kai gare do ngere gharu, kami di sama bu ngere kai gharu. Artinya; Baiklah, Karena Dia sudah mengemukakan pendapat seperti itu, kami pun sama seperti Dia. Pada akhirnya, semua sepakat dan pemerintahan Kolonial lalu menjadikan keputusan Bhoka Logho itu, sebagai bahan pertimbangan dan acuan keputusan serta penetapan final nama Pius Rasi Wangge seraya meminta Bhoka Logho agar secepatnya menjemput adiknya Pius Rasi Wangge dari (SR) Sekolah Rakyat Lela Maumere yang sedang duduk di bangku kelas 4 ( empat ) karena pada waktu itu Pius Rasi Wangge dibesarkan didesa Watuneso oleh Mari Wangge, Bhoka Logho atau ditengah keluarga Mosalaki Hebesani Lise Nggonderia.
Pada sekitar tahun 1909-1910 pemerintahan Hindia Belanda memasuki wilayah Lio dan menetap dikitaran wilayah Wolowaru. Pius Rasi Wangge, adalah sosok yang biasa dan sederhana layaknya lelaki lainya yang ketika itu tinggal bersama kakaknya Mari Wangge dan Bhoka Logho di wilayah Lise Nggonderia yang sekarang menjadi desa Watuneso kecamatan Lio Timur Kab. Ende Flores NTT. Pius Rasi Wangge hadir ditengah keluarga adalah seorang lelaki dari garis keturunan bangsawan didesa Wolo Lele A (Kec. Lio Timur) yaitu Keluarga Besar Ndori Wangge (Riabewa) yang merupahkan pertaliah darah yang erat dengan Mari Wangge (Keluarga besar Mosalaki Hebesani Watuneso).
Pada sekitar tahun 1910, Pius Rasi Wangge di sekolahkan oleh Bhoka Logho di Sekolah Rakyat (SR) setingkat Sekolah Dasar (SD), jaman Belanda di distrik Lela. Ketika itu pemerintahan kolonial Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan khususnya laki-laki untuk mendapatkan pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) tersebut. Kendati demikian usaha Bhoka Logho untuk menyekolahkan adiknya Pius Rasi Wangge sempat terjadi penolakan oleh Tua Skebe yang menyeleksi siswa baru karena faktor usia Pius Rasi Wangge yang sudah mencapai sekitar 30 tahun. Namun Bhoka Logho tidak kehilangan akal, sehingga Bhoka Logho menyarankan adiknya supaya memanipulasi umur dan rambut serta kumis tebalnya dicukur hingga botak agar terlihat lebih mudah belia untuk mengecoh perhatian Tua Skebe . Beberapa hari kemudian, Bhoka Logho dan adiknya Pius Rasi Wangge berangkat lagi ke Distrik Lela. Sesampainya disana Bhoka Logho membuat pengakuan kepada 'Tua Skebe' bahwa yang akan didaftarkan itu adalah kembaran dari Pius Sendiri. ("Dengan sebuah ungkapan" Tua, Ina Aji kai, eo mere mai Ka'e kai !! Artinya; Pater/Bapa, ini adiknya yang kemarin Kakaknya. Cara itu terbukti ampuh mengecoh Tua Skebe, sehingga akhirnya diterima untuk di sekolahkan di Lela.
Kemudian sekitar tahun 1914, pemerintahan Hindia Belanda mempertimbangkan eksistensi administratif pemerintahan yang mempermudah sistem kerja agar bisa dikontrol dengan menerapkan konsep pemerintahan ala kerajaan Belanda dibawah kepemimpinan Ratu Wihelmina (Wihelmina Helena Pauline Marie van Orange Nassau; Lahir 31 agustus 1880 dan mangkat 28 November 1962). Puteri Orange Nassau adalah Ratu Belanda sejak 1890 - 1948 dan Ibu Suri dengan sebutan Puteri sejak tahun 1948-1962. Terkait rencana besar ini, pemerintahan Hindia Belanda mengundang para Mosalaki Lise Tana Telu Kunu Lima dari Enam ( 6 ) aliran mendatangi Wolowaru, central koordinasi kolonial untuk wilayah Lio. Perhelatan pemilihan Raja Lio dilakukan ditempat ini. Seluruh Mosalaki atau perwakilan atas nama Mosalaki datang ke Wolowaru. Sedangkan Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia Mari Wangge hanya diwakili adiknya seorang tokoh bernama Bhoka Logho.
Pada tahapan pemilihan dimulai, Tua Skebe sebagai negosiator dari pemerintah Belanda bertanya kepada para Mosalaki atau perwakilan Mosalaki yang hadir saat itu dengan kalimat dalam bahasa Lio: (Laki Tana Unggu, Kau fonga Raja leka sai? "Laki Tana Unggu penu so", Aku fonga, Raja leka du'a neku). Kalau diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kira-kira seperti ini ucapannya; "Pemangkuh adat tertinggi (klan) tanah 'Unggu', Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi Raja ? Laki Tana Unggu menjawab; Kehendak saya, Raja ada pada saya sendiri. Pertanyaan yang sama juga dilontarkan kepada "Laki Tana Kune Watu Mara (Kunemara), Laki Tana Nggoro dan seterusnya sampai kepada 'Laki' yang ke 5 dijawab dengan jawaban yang sama juga. Dan akhirnya, pertanyaan yang sama juga diajukan oleh Tua Skebe kepada Bhoka Logho, aji ana (Kerabat dekat) sebagai delegasi Laki Koe Kolu Hebesani Lise Nggonderia. Karena merasa sudah mengenal, Tua Skebe langsung menyapa nama Bhoka Logho.("Boka" !! kau fonga Raja leka sai ?) Artinya; Bhoka !! Menurut kehendak anda, Siapa yang akan jadi raja ? Dengan sedikit terdiam untuk sebuah pertimbangan, lalu Bhoka Logho menjawab; "Tua, Raja dau leka ata eo sekolah, no'o eo tuli mbe'o soli basa mbe'o sura ". Artinya; Pater/Bapa!! Seorang Raja itu harus orang yang berpendidikan (sekolah) dan dapat menulis serta membaca surat. Beberepa saat kemudian, Tua Skebe bertanya kembali kepada Bhoka Logho dengan pertanyaan yang sama. Akhirnya Bhoka Logho menjawab untuk kedua kalinya; Tua, Aku fonga Raja leka aji aku Pius Rasi Wangge eo nebu ina aku pati sekola gheta Lela ( SR ) Kira-kira diterjemahkan seperti ini; Pater/Bapa, Menurut kehendak saya, 'Raja' ada pada adik saya Pius Rasi Wangge yang saat ini saya sekolahkan di Sekolah Rakyat ( SR ) 'Lela' (Di Kab. Sikka). Setelah pendapat logis ini, Tua Skebe melontarkan kembali kepada semua Mosalaki/Delegasi yang hadir ditempat itu.. (Ngere Emba ? gha Bhoka nosi, raja leka aji kai ngai eo tuli no'o basa mbe'o sura). artinya; Bagaimana ? Bhoka mengusulkan, Raja ada pada adiknya karena bisa menulis dan membaca surat. Setelah mendengar pandangan yang logis itu, akhirnya seluruh Mosalaki/Delegasi yang hadir disitu menjawab; Molo dowa, ngai kai gare do ngere gharu, kami di sama bu ngere kai gharu. Artinya; Baiklah, Karena Dia sudah mengemukakan pendapat seperti itu, kami pun sama seperti Dia. Pada akhirnya, semua sepakat dan pemerintahan Kolonial lalu menjadikan keputusan Bhoka Logho itu, sebagai bahan pertimbangan dan acuan keputusan serta penetapan final nama Pius Rasi Wangge seraya meminta Bhoka Logho agar secepatnya menjemput adiknya Pius Rasi Wangge dari (SR) Sekolah Rakyat Lela Maumere yang sedang duduk di bangku kelas 4 ( empat ) karena pada waktu itu Pius Rasi Wangge dibesarkan didesa Watuneso oleh Mari Wangge, Bhoka Logho atau ditengah keluarga Mosalaki Hebesani Lise Nggonderia.
Di (sao ria tenda bewa) rumah adat WoloLele B (Kec. Wolowaru), pemerintahan Hindia Belanda mempersiapkan acara pengukuhan (Inauguration). Dengan disaksikan oleh para Mosalaki dan Delegasi masyarakat adat "Lise Tana Telu Kunu Lima" akhirnya Raja Lio dikukuhkan (Inauguration) secara resmi oleh pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1914 sekaligus memberikan legitimasi kekuasaan administratif dibawah pemerintahan kerajaan sehingga kekuasaan Raja Lio Pius Rasi Wangge hanya dalam batasan kekuasaan atas wilayah administratif pemerintahan Hindia Belanda saja. Sistem Pemerintahan Kerajaan Lio ini sangat sebanding dengan sitem pemerintahan Hindia Belanda yang pada waktu itu bahkan hingga kini menganut "Monarki Konstitusional", yang mana kekuasaan raja bersifat terbatas dan secara simbolik saja karena ada peran lain yang mengatur wilayah kedaulatan dan kekuasaan Raja. Raja Lio, Pius Rasi Wangge oleh Belanda diberih wewenang untuk mengatur wilayah administratif dari Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa ujung barat Kab. Ende dengan tugas yang teramat berat yaitu menahklukan serta menyatukan seluruh Mosalaki - mosalaki yang mendiami wilayah itu karena pada masa itu masih sangat rentan dan sesekali timbul konflik horisontal yang berkepanjangan antara penguasa-penguasa tanah ulayat setempat. Selain itu Raja Pius Rasi Wangge juga ditugaskan menarik upeti (Pajak) untuk pemerintah Belanda. Raja Lio ini berkuasa sejak tahun 1914 hingga 1947. Kemudian beliau di beritakan wafat di Kupang, ditembak mati oleh tentara Belanda karena berkolaborasi dengan pemerintah Jepang. Sementara itu dari versi sejarah yang berbeda, Raja Pius Rasi Wangge diberitakan diculik oleh tentara Nipon ke Jepang dan tinggal disana sampai akhir hayatnya.
Beberapa waktu yang lalu juga, ada berita mengenai kemunculan sosok "Sugishima Takashi" yang mengklaim diri sebagai keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge dan melakukan penelitian di Wololele A sebagai garis keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge. Kendati demikian, pengklaiman tersebut tentu harus dibuktikan secara medis melalui 'tes DNA' agar tidak terjadi kesimpangsiuran dikemudian hari.
Catatan; Masih banyak misteri tentang Kerajaan Lio yang harus diungkap agar masyarakat Lio, Nasional bahkan Internasional layak tahu yang sesungguhnya. Hal-hal yang masih misteri itu antara lain,
Seperti;
1. Benda - benda peninggalan Raja Pius Rasi Wangge.
2. Keberadaan Jasad (Makam) Beliau.
3. Surat Keputusan Pengangkatan Raja Lio oleh pemerintahan Belanda (Arsip Museum Nasional Belanda).
4. Jejak-jejak (Ideologis) masa pemerintahan Raja Lio.
Beberapa waktu lalu, penulis pernah membaca di sebuah domain mengenai batas kedaulatan antara Raja Lio dan Raja Sikka. Seperti tertulis diatas, Kerajaan Lio (Pius Rasi Wangge) disebutkan berkuasa dalam batas wilayah yaitu dari Nanga Blo sampai Nanga Mboa sementara penulis menemukan tulisan yang menyebutkan Raja Sikka (Don Thomas) berkuasa pada wilayah Kekuasaannya yang meliputi wilayah Larantuka sampai Mole Kelisamba (sekarang wilayah Lio) hingga ke Wilayah Manggarai. Akan tetapi jika dicermati dari historia sejarah dan fakta sejarah yang masih terlihat hingga kini, penulis bertanya-tanya;
1. Mengapa Orang Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa hingga kini menggunakan Bahasa Lio ?
2. Mengapa, pola berpakaian, tata cara bahkan struktur adat orang Nanga Blo mencerminkan adat Lio ?
Mungkin ini tugas bersama yang cukup rumit untuk menggali lebih mendalam tentang sejarah-sejarah yang diukir oleh para pendahulu yang sudah tiada.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan atau menyinggung perasaan siapa pun yang membacanya melainkan hanya semata-mata sebagai dasar pengetahuan bersama dan menjadi bahan acuan untuk menyingkap fakta sejarah yang belum terkuak agar lebih sinkron antara yang satu dengan yang lainnya. Ingat !! Bung Karno pernah berkata; Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH).
Beberapa waktu yang lalu juga, ada berita mengenai kemunculan sosok "Sugishima Takashi" yang mengklaim diri sebagai keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge dan melakukan penelitian di Wololele A sebagai garis keturunan langsung dari Raja Pius Rasi Wangge. Kendati demikian, pengklaiman tersebut tentu harus dibuktikan secara medis melalui 'tes DNA' agar tidak terjadi kesimpangsiuran dikemudian hari.
Catatan; Masih banyak misteri tentang Kerajaan Lio yang harus diungkap agar masyarakat Lio, Nasional bahkan Internasional layak tahu yang sesungguhnya. Hal-hal yang masih misteri itu antara lain,
Seperti;
1. Benda - benda peninggalan Raja Pius Rasi Wangge.
2. Keberadaan Jasad (Makam) Beliau.
3. Surat Keputusan Pengangkatan Raja Lio oleh pemerintahan Belanda (Arsip Museum Nasional Belanda).
4. Jejak-jejak (Ideologis) masa pemerintahan Raja Lio.
Beberapa waktu lalu, penulis pernah membaca di sebuah domain mengenai batas kedaulatan antara Raja Lio dan Raja Sikka. Seperti tertulis diatas, Kerajaan Lio (Pius Rasi Wangge) disebutkan berkuasa dalam batas wilayah yaitu dari Nanga Blo sampai Nanga Mboa sementara penulis menemukan tulisan yang menyebutkan Raja Sikka (Don Thomas) berkuasa pada wilayah Kekuasaannya yang meliputi wilayah Larantuka sampai Mole Kelisamba (sekarang wilayah Lio) hingga ke Wilayah Manggarai. Akan tetapi jika dicermati dari historia sejarah dan fakta sejarah yang masih terlihat hingga kini, penulis bertanya-tanya;
1. Mengapa Orang Nanga Blo (Kab. Sikka) sampai Nanga Mboa hingga kini menggunakan Bahasa Lio ?
2. Mengapa, pola berpakaian, tata cara bahkan struktur adat orang Nanga Blo mencerminkan adat Lio ?
Mungkin ini tugas bersama yang cukup rumit untuk menggali lebih mendalam tentang sejarah-sejarah yang diukir oleh para pendahulu yang sudah tiada.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyudutkan atau menyinggung perasaan siapa pun yang membacanya melainkan hanya semata-mata sebagai dasar pengetahuan bersama dan menjadi bahan acuan untuk menyingkap fakta sejarah yang belum terkuak agar lebih sinkron antara yang satu dengan yang lainnya. Ingat !! Bung Karno pernah berkata; Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah (JAS MERAH).
Sekian !!
Oleh; Marlin Bato
Mahasiswa Univ. Bung Karno
Fak. Hukum
Jakarta Indonesia
Sumber Lisan; Keluarga Besar Mosalaki Hebesani Watuneso
Jhony Logho-Mosalaki
Paulus Logho Gatu-Kerabat
Wenslaus Tani-Kerabat
Kornelis Wiriyawan Gatu. S.Sos-Kerabat